Tasawuf Belitan Iblis - H Hartono Ahmad Jaiz - jbookmaker by: http://jowo.jw.lt KATA PENGANTAR Alhamdulilaahi Rabbil `aalamien. Segala puji bagi Allah yang telah menurunkan syari`at-Nya kepada Nabi Muhammad saw untuk ummatnya dengan sempurna. Akan beruntunglah orang-orang beriman yang mentaati Allah dan Rasul-Nya dengan tepat, dan akan rugilah orang-orang yang menyelisihi Allah dan Rasul-Nya, baik itu mengingkari, meragukan, menambahi, mengurangi, mengganti, menyelewengkan, maupun memalsukan. Shalawat dan salam semoga tetap atas Nabi Muhammad saw pembawa risalah kenabian yang terakhir yang membawa Islam dengan sempurna. Juga semoga tetap untuk para keluarga beliau, para sahabatnya, tabi'in, tabi'it tabi'in dan para pengikutnya yang setia dengan baik sampai akhir zaman. Amma ba'du. Allah SWT telah menyatakan tantangan keras terha­dap orang-orang yang membuat aturan-aturan bikinan yang tidak diizinkan oleh Allah SWT. "Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mengisyaratkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah? Sekiranya tak ada ketetapan yang menentukan (dari Allah), tentulah mereka telah dibinasakan. Dan sesungguhnya orang-orang yang dhalim itu akan memperoleh adzab yang amat pedih." (QS As-Syura:21). Mengada-adakan syari'at yang tidak disyari'atkan oleh Allah itulah pokok permasalahan yang dikerjakan oleh orang-orang musyrik. Hanya saja perilaku musyrikin ini tidak terbatas pada kalangan orang musyrik, namun justru merambat ke mana-mana, sampai pada ummat Islam, bahkan tidak mustahil menjangkiti sebagian orang yang menyiarkan Islam, bahkan sebagian orang yang disebut kiai, ajengan, atau ulama. Syari'at bikinan itu kadang justru digencarkan dengan aneka sarana, didukung, didanai, dan dipertahankan mati-matian. Sekadar contoh, memperingati orang mati dengan upacara pesta dan bacaan-bacaan tertentu pada waktu-waktu tertentu yakni hari ke 3, 7, 40, 100, setahun (haul), 1000 dan seterusnya; jelas tidak disyari'at­kan oleh Allah SWT. Bahkan ada penegasan dari sahabat bahwa kumpul-kumpul (atau dengan makan-makan) setelah dikuburnya mayat itu termasuk niyahah (meratap). 'An Jarir bin Abdillah Al-Bajili qoola: "Kunnaa nu'iddul ijtimaa'a ilaa ahlil mayyiti, wa shonii'atit tho'aami ba'da dafnihi minan niyaahah." Artinya: Diriwayatkan dari Jarir bin Abdillah Al-Bajili, ia berkata: "Kami biasa menganggap kumpul-kumpul ke keluarga mayit, dan membuat-buat makanan setelah dikuburnya mayit itu termasuk niyahah/meratap." (Musnad Al-Imam Ahmad nomor 6848) Sedang meratap (menangis dengan menyobek kantong-kantong baju, memukul-mukul pipi dan semacamnya) itu termasuk adat jahiliyah yang dilarang dalam Islam. Namun, betapa gigihnya pembelaan sebagian orang terhadap syari'at bikinan yang terlarang itu. Pembelaan pun kadang dicari-carikan dalih dengan mengait-ngaitkan pada syari'at yang benar. Akibatnya, syari'at bikinan itu seakan menjadi syari'at betulan yang wajib dilaksanakan dan pelakunya dianggap akan mendapatkan pahala. Secara agama maupun secara teori dunia, pandangan mereka yang mempertahankan atau sekadar membiarkan syari'at bikinan masuk pada syari'at betulan itu telah menyalahi kodrat. Betapa jelasnya kerusakan yang ditimbulkan oleh syari'at bikinan terhadap syari'at betulan. Agar mudah difahami, syari'at bikinan dimisalkan tumor, sedang syari'at betulan dimisalkan tubuh asli. (Permisalan ini hanya untuk memudahkan pemahaman, dan tidak bermakusd meremehkan syari'at). Tumor ataupun daging lebih yang tumbuh di tubuh adalah bukan bagian dari tubuh. Dia adalah tambahan (bikinan kuman). Ketika anggota tubuh menjadi besar akibat tumbuhnya tumor itu otomatis tubuh terganggu. Kalau tumor itu ganas maka akan menga­kibatkan aneka macam gangguan, bahkan mematikan. Kalau toh tidak ganas, maka tetap akan mengganggu. Maka pemikiran yang benar pasti akan mengatakan, tumor itu wajib dioperasi, dibuang seakar-akarnya. Dan akan disebut tidak waras bila orang berteori bahwa tumor itu wajib dipelihara, dengan alasan karena ada hubungannya dengan pembuluh darah dan organ tubuh, maka menguatkan tubuh. Atau berdalih, dengan besarnya tumor maka akan membesarkan tubuh, dan menguatkan tubuh. Pantaskah alasan semacam ini dikemukakan? Jawabnya, sama sekali tidak pantas. Orang yang mengatakan bahwa Islam lebih tampak syi`arnya, lebih pas dengan budaya setempat, dan lebih merasuk ke masyarakat dengan adanya bid`ah yang mereka sebut hasanah (padahal sebenarnya syari`at bikinan dan dilarang Allah); itu lebih buruk ketimbang orang yang berpen­dapat bahwa tumor itu akan menguatkan tubuh dan memperindah tubuh. Meskipun permasalahan ini telah jelas, namun tidak mesti apa yang jelas itu ditempuh orang. Justru jalan yang gelap, becek, berbahaya dan bau, sering menjadi jalan dan ruang gerak bagi tikus-tikus got, kecoa, ular, cacing, lalat dan binatang jorok lainnya. Itulah kenyataan. Demikian pula, syari'at yang jelas telah disampaikan oleh Nabi Muhammad saw dalam Al-Quran dan Sunnah Rasul, dan dijelaskan oleh para sahabat, tabi'ien, dan tabi'it tabi'in (generasi pertama, kedua, dan ketiga pada awal Islam yang dikenal dengan as-salafus shalih), kita tinggal mengikutinya, namun jalan yang terang itu justru tak dilalui oleh sebagian orang. Mereka pilih jalan-jalan tikus dan kecoa yang bau, becek, gelap, dan sempit serta pengap. Segala penyimpangan yang tak sesuai dengan syari'at yang benar adalah jalan gelap. Dan arahnya ke nereka. Sedang syari'at Allah adalah jalan terang, bersih, dan lurus, yang tujuannya adalah surga. "Dan bahwa (yang Kami perintahkan) ini adalah jalan-Ku yang lurus, maka ikutilah dia, dan janganlah kamu mengikuti jalan-jalan (yang lain) karena jalan-jalan itu mencerai-beraikan kamu dari jalan-Nya. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu bertaqwa." (al-An`am: 153). Dan firman Allah SWT dalam Kitab-Nya: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia, dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah; dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah sangat keras hukuman-Nya." (Al-Hasyr: 7). "...Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (An-Nur:63). Nabi Muhammad saw bersabda: "Kamu semua harus berpegang teguh pada sunnahku (setelah Al-Quran) dan sunnah khulafa' rasyidin yang mendapat petunjuk Allah sesudahku. Berpeganglah dengan sunnah itu dan gigitlah dengan gerahammu sekuat-kuatnya, serta jauhilah perkara yang diada-adakan (dalam agama), karena setiap perkara yang diada-adakan itu adalah bid'ah, dan setiap bid'ah itu sesat." (HR Abu Dawud dan Tirmidzi) “Barangsiapa mengada-adakan (sesuatu hal baru) dalam urusan (agama) kami, yang bukan merupakan ajarannya, maka akan ditolak." (Muttafaq `alaih). Penjelasan dari Al-Quran dan Sunnah Rasul telah jelas dan tegas. Namun syetan-syetan beserta wadyabalanya senantiasa mencari-cari jalan lain untuk menambah-nambahi syari'at dengan dalih mendekatkan diri kepada Allah SWT. Mereka mula-mula memaknakan Al-Quran dan As-Sunnah dengan makna yang ta`wili (makna yang jauh), padahal seharusnya makna hakiki (makna sebenarnya yang dekat). Lalu menggunakan ro`yu (pendapat pikiran manusia), kemud­ian mengikuti perasaan nafsu dengan dalih firasat dari Allah. Bukan hanya sampai di situ kerusakannya, namun Allah SWT Yang Maha Agung, yang bersemayam di atas `Arsy pun dipaksa oleh nafsu mereka (orang sufi) untuk diaku merasuk ke dalam diri si sufi. Betapa jauhnya kesesatan mereka, namun betapa tampak manisnya mulut mereka, karena bisa bersatu padu dengan keyakinan batil dan musyrik yang bisa mengelabui, seakan hal itu adalah taqorrub atau pendekatan diri kepada Allah SWT dengan sedekat-dekatnya. Syetan pun membuat istilah-istilah dan aneka rangkaiannya menjadi tampak indah. Hingga lafal kemusyrikan yang mereka sebut dengan "wihdatul wujud" bisa terkesan pas dan indah oleh orang-orang sesat dengan istilah "manunggaling kawula Gusti", yaitu menyatunya diri manusia dengan Tuhan, alias Tuhan menyatu dengan diri manusia yang menganggap dirinya telah sampai derajat suci. Hingga, seolah kemusyrikan itu justru satu ajaran yang paling tinggi dalam mendekatkan diri pada Allah. Maha Benar Allah yang telah berfirman: "Dan Kami tetapkan bagi mereka teman-teman yang menjadikan mereka memandang bagus apa yang di hadapan dan di belakang mereka..." (Fusshilat/ 41:25). "Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran Tuhan Yang Maha Pemurah (Al-Quran), Kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan­nya), maka syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyer­tainya. Dan sesungguhnya Syetan-syetan itu benar-benar mengha­langi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk." (Az-Zukhruf/ 43:36-37). Kesesatan berupa syari'at bikinan yang telah dipandang bagus oleh pengikut-pengikut syetan itupun kemudian dipasarkan dengan aneka sarana canggih. Belakangan siaran televisi yang dianggap sarana canggih dan menyerap banyak penonton telah dimanfaatkan pula untuk menyebarkan kesesatan jenis tasawuf itu. Hingga menja­di tontonan dan dianggap sebagai tuntunan yang menarik dan dipandang bagus. Tasawuf yang pantas dicurigai sebagai virus bikinan para filosof Yunani kuno pun dijajakan dengan kata-kata yang mendayu-dayu hingga seolah merupakan ajaran Islam yang wajib diikuti. Orang-orang yang hatinya serakah pun tahu betul momentum atau kesempatan ini, yaitu mumpung banyak orang yang sedang terkena krisis kepercayan diri karena lemahnya iman, sedang kantong mereka berisi duit banyak, maka dibuatkanlah satu jenis bisnis untuk menggaet mereka. Dibuatlah kajian paket-paket tasawuf untuk mengeruk duit mereka dan menyesatkannya dengan kesesatan yang diatasnamakan Islam. Orang-orang yang tidak bertanggung jawab itu telah menjadi penerus-penerus generasi pembikin keruhnya Islam atas nama penga­mal Islam demi mendekatkan diri pada Allah SWT. Dari sisi ini, upaya dan amaliyah mereka itu sendiri telah mengotori kemurnian Islam, membingungkan Muslimin, dan mencari nafkah dengan mengoto­ri Islam dan membuat keblingernya ummat, hingga ummat rugi dua kali, rugi dunia berupa terkeruknya sebagian harta, dan rugi akherat karena disesatkan jalannya. Baiklah. Kalau mereka benar-benar tujuannya fii sabiilillaah, kenapa pilih menjajakan paket tasawuf? Bukankah bisa dijajakan alias dida`wahkan ajaran Islam dari Al-Quran dan As-Sunnah? Toh di sini tidak dilarang untuk menda`wahkan itu. Bagaimanapun, tingkah polah mereka, baik yang aktif menjajakan tasawuf maupun pembela, pengamal, dan orang-orang yang cenderung atau sekadar membiarkannya boleh berjalan; tetap kami ajukan sebuah gugatan dengan buku kecil ini, yang kami beri judul Mendudukkan Tasawwuf, --Gus Dur Wali? Pembahasan kami awali dengan "Bukti-bukti ketatnya penjagaan aqidah", lalu tentang "Bid'ah dan jenis-jenisnya." Kedua pembaha­san ini untuk memberikan pemahaman, bagaimana seharusnya kita bersikap dalam ber-Islam, sehingga akan menghantarkan pembaca, bagaimana cara menyikapi tasawwuf. Pembahasan tasawwuf diawali dengan "Penamaan Shufi", disusul dengan "Sejarah dan Fitnah Tasawwuf", diteruskan dengan "Sorotan terhadap Tasawwuf", yang di dalamnya disoroti pula tentang "Gus Dur Wali". Untuk mengenal lebih jauh tentang shufi, pembahasan dilanjutkan dengan "Simbol-simbol Shufi", lantas pembahasan tentang betapa menyelewengnya kepercayaan shufi, dengan judul "Keper­cayaan Tentang Nur Muhammad atau Hakekat Muhammad dan Wihdatul Wujud", dan vonis para ulama terhadap dedengkot shufi falsafi dengan judul "Ibnu Arabi Dihukumi Kafir". Pembaca diberi penjelasan mengenai "Perbedaan Pokok Antara Islam dan Tasawwuf", kemudian dijelaskan tentang "Lemahnya Alasan Shufi dan Para Pendukungnya". Masalah-masalah lain seperti Kasyf, Tarekat, dan kelemahan-kelemahan Imam Al-Ghazali berkaitan dengan tasawwufnya dibahas pula. Buku ini dilengkapi dengan lampiran yang cukup jelas tentang posisi tasawwuf yang sebenarnya tidak menguntungkan bagi Islam, dan adanya shalawat-shalawat bikinan yang mengandung makna tidak sesuai dengan ajaran Islam. Pembaca yang budiman, gugatan melalui buku ini bukan lantaran iri terhadap kemajuan dan larisnya jajanan mereka berupa paket-paket yang digandrungi oleh sebagian orang, namun dari keadaan yang memang seharusnya digugat. Kenapa? Karena, Islam itu sendiri adalah milik Allah, dari Allah, disampaikan kepada Nabi Muhammad Saw untuk seluruh manusia. Siapa yang mengikuti Islam dengan baik, tentu memperjuangkan dan mempertahankan Islam dari segala gangguan. Sedang tasawuf yang tidak murni dari Islam dan bahkan namanya itu sendiri tidak ada dalam Al-Quran maupun Hadits, itu telah dijadikan komoditi atau jajanan yang diatasnamakan Islam. Maka pantas sekali pembikinnya, pedagangnya, maupun barang dagan­gannya itu semua diperkarakan atau dipersoalkan. Hanya saja, buku kecil ini muatannya terlalu sedikit untuk membabat itu semua. Namun kami yakin, bukan lantaran banyak atau sedikitnya. Kebenaran yang disampaikan tanpa dikotori, insya Allah akan menumbangkan atau mengikis kebatilan yang banyak, walau hanya dari segi maknawi, belum tentu terwujud dalam kenyataan. Karena, realita atau kenyataan di dunia ini bisa dikuasai oleh kebatilan, sekalipun kebatilan itu sendiri sebenarnya lemah. Dengan banyaknya kebatilan maka seolah dia kuat, bahkan seolah benar. Inilah yang amat berbahaya, dan inilah yang harus dilawan dengan kebenaran. Maka buku kecil ini dalam rangka mewujudkan perlawanan terhadap kebatilan itu, tanpa harus terbebani, apakah kebatilan itu akan runtuh atau bahkan membesar. Ibarat ada kebakaran, kami membawa segelas air untuk memadam­kan kebakaran itu. Di sini jelas air segelas itu tidak mungkin untuk memadamkan kebakaran yang besar. Tetapi segelas air itu hanya sebagai petunjuk bahwa airlah sarana untuk memadamkan kebakaran. Kalau setiap orang mengguyurkan air segelas-segelas ke tempat yang kebakaran, maka insya Allah akan terpadamkan. Demikianlah harapan kami, mudah-mudahan buku kecil ini berman­faat. Amien. Dan kami yakin, tulisan singkat ini mengandung banyak kesalahan dan kekurangan, maka semoga Allah mengampuni dan menunjuki jalan yang benar. Dan tegur sapa dari para pembaca budiman sangat kami nantikan. Tidak lupa, ucapan terimakasih kami sampaikan kepada sahabat-sahabat yang memberikan bantuan, di antaranya para ustadz yang memberikan bimbingan dan ilmunya, bahkan mencarikan referensi atau kitab-kitab rujukan dengan mengkhususkan waktunya disertai dorongan untuk terwujudnya tulisan ini, semuanya itu tidak kecil maknanya bagi kami. Mudah-mudahan Allah membalas mereka dengan balasan yang sebaik-baiknya. Amien. Demikian pula kami sampaikan terimakasih kepada Penerbit Darul Falah Jakarta yang berkenan menerbitkan buku ini, di samping beberapa buku kami sebelumnya. Mudah-mudahan semua itu mendapatkan ridha dari Allah SWT dan bermanfaat. Amien. Wassalam, Jakarta, 27 Rajab 1420H / 6 November 1999M H Hartono Ahmad Jaiz Membentengi Aqidah dari Aneka Serangan Aneka macam serangan terhadap aqidah ditujukan kepada dua pokok utama yang menjadi landasan Islam, yaitu dua kalimah syahadat. Pokok utama yang pertama adalah tauhidullah, mengesakan Allah. Yaitu bahwa Allah itulah Tuhan, Maha Pencipta, Maha Esa, Yang disembah dengan mengesakannya. Tiada sekutu baginya dalam hal sifatNya dan perbuatanNya. Dia lah yang memiliki sifat Maha Sempurna, Maha Indah, Maha Agung, dan tidak sebaliknya. Pokok yang kedua adalah mengesakan jalan padaNya. Tidak menetapkan hukum pada urusan manusia dengan selain (hukum)Nya. Dan tidak mendekatkan diri kepadaNya kecuali dengan apa yang disyari’atkanNya. Itulah makna Tiada Tuhan selain Allah, Muhammad Rasulullah. Maka “Laa ilaaha Illallaah” adalah pokok pertama, sedang “Muhammadur Rasuulullah” adalahn pokok kedua. Sungguh Rassulullah SAW telah ditentang dalam hal dua pokok ini. a. Orang-orang musyrikin Arab berkata: “Mengapa ia menjadikan tuhan-tuhan itu Tuhan Yang Satu saja? Sesungguhnya ini benar-benar suatu hal yang sangat mengherankan.” (Shaad/ 38:5). Dan orang-orang musyrikin bicara tentang tuhan-tuhan mereka: “Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya..” (Az-Zumar/ 39:3). Musyrikin berkata pula: “ Mereka itu adalah pemberi syafa’at kepada kami di sisi Allah.” (Yunus/ 10: 18). Allah SWT telah membantah mereka, katakanlah wahai Muhammad: “Sekiranya ada di langit dan di bumi tuhan-tuhan selain Allah, tentulah keduanya itu telah rusak binasa.” (Al- Anbiyaa`/ 21:22). “Katakanlah: “Hanya kepunyaan Allah syafa`at itu semuanya.” (Az-Zumar/ 39:44). Tentang pokok yang kedua, Allah SWT berfirman menghancurkan aturan-aturan mereka yang batil dalam hal halal dan haram serta mendekatkan diri pada Allah: “Apakah mereka mempunyai sembahan-sembahan selain Allah yang mensyari’atkan untuk mereka agama yang tidak diizinkan Allah?” (As-Syuura/ 42:21). b dan c. Adapun orang-orangYahudi dan Nasrani maka masing-masing kelompok itu mengaku bahwa jalan merekalah yang benar; sesembahan mereka lah yang benar, sedang surga itu hanya khusus untuk mereka saja, tidak untuk orang lain. Allah SWT telah membantah mereka: “Katakanlah: “Sesungguhnya petunjuk Allah itulah petunjuk (yang benar)”. (Al-Baqarah/ 2:120). “Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi..” (Ali `Imran/ 3:31). Al-Quran seluruhnya adalah keterangan jihad Rasulullah SAW terhadap kelompok-kelompok yang tiga itu (musyrikin, Yahudi, dan Nasrani) dalam hal dua pokok (tauhidullah dan tauhidut thariqah/ Tiada Tuhan selain Allah, dan Muuhammad utusan Allah) ini. Orang-orang yang memurnikan agamanya hanya untuk Allah, mereka telah beriman kepada Rasulullah. Mereka mencintai Rasul dan mendahulukan ajaran beliau dalam segala hal. Mereka mencintai dan mengikuti beliau dengan jiwa dan raga mereka. Mereka mengorbankan perjuangan dalam mengikuti dan mentaati beliau. Dan mereka melaksanakannya itu dengan sebaik-baiknya sehingga Allah SWT memuji mereka dengan ayat-ayat yang banyak di dalam Al-Quran. Di antaranya firman Allah SWT: “Muhammad itu adalah utusan Allah dan orang-orang yang bersama dengan dia adalah keras terhadap orang-orang kafir, tetapi berkasih sayang sesama mereka; kamu lihat mereka ruku’ dan sujud mencari karunia -Allah dan keridha`anNya, tanda-tanda mereka tampak pada muka mereka dari bekas sujud.” (Al-Fath/ 48:29). Allah SWT ridha terhadap mereka, sedang mereka pun meridhai-Nya, mengetahui-Nya sebenar-benar ma’rifat (pengetahuan), dan menjalankan agama-Nya sebaik-baik pelaksanaan. Rasulullah SAW pun memuji mereka (para sahabatnya), beliau bersabda: “Sebaik-baik manusia itu adalah generasiku, kemudian orang-orang yang berikutnya, kemudian orang-orang yang berikutnya.” (HR As-Syaikhaani dan lainnya dari Ibnu Mas’ud, dan lainnya dari selain Ibnu Mas’ud). Dan Nabi SAW bersaksi mengenai pribadi-pribadi di antara mereka akan masuk surga dan punya keutamaan. Di antaranya adalah Abu Bakar Siddiq ra yang beliau sabdakan: “Aku ditimbang dengan ummat maka aku lebih berat, dan Abu Bakar ditimbang dengan ummat-tanpa adanya aku di dalam ummat itu-maka ia lebih berat, dan Umar ditimbang dengan ummat-tanpa adanya aku dan Abu Bakar di dalam ummat itu-maka ia lebih berat.” (Hadits Riwayat Ahmad 5/44 dan 50, Abu Daud 4634, At-Tirmidzi 2389-Tuhfatul Ahwadzi dan dishahihkannya). Semuanya itu dari Abi Bakrah bahwa seorang sahabat bermimpi bahwa ada timbangan yang menjulur dari langit, Nabi SAW ditimbang dengan Abu Bakar, maka lebih berat Nabi SAW. Kemudian Abu Bakar ditimbang dengan Umar, maka lebih berat Abu Bakar, kemudian Umar ditimbang dengan Utsman maka lebih berat Umar, kemudian timbangan itu diangkat. Hadits ini telah dikuatkan oleh guru kami (almarhum) Al-Bani dalam takhrij Al-Misykat 3/233 dengan dua jalan. Dan Nabi bersabda: “Seandainya ada nabi setelahku maka pasti dia adalah Umar.” (HR Ahmad 4/154, At-Tirmidzi 2/293 menghasankannya, Al-Hakim 3/85 menshahihkannya, dan selain mereka). Nabi SAW berkata kepada Bilal: “Aku telah mendengar detak-detak dua sandalmu di hadapanku di surga.” (HR Al-Bukhari 3/276 di Fathul Bari, Ahmad 2/333 dan 439 dari Abi Hurairah). Bukti kegigihan Rasul dalam menjaga Tauhid Di samping yang demikian itu Rasulullah SAW sungguh bersemangat selama hidupnya sebagai Rasul untuk mengabadikan dua pokok tauhid itu: Laa ilaaha illallaah, Muhammadur Rasuulullaah. Agar keduanya tetap bersih lagi jernih, maka beliau sama sekali tidak membolehkkan pengotoran dua pokok tauhid ini., walaupun terhadap orang yang paling dicintai dan paling terkesan baginya. Bukti-buktinya; a. Beliau pada suatu hari melihat di tangan Umar bin Khathab ra ada selembar kertas (waraqah) dari Taurat, dan Umar telah mengagumi apa yang ada di dalamnya, maka Rasulullah SAW marah dengan kemarahan yang keras, dan beliau berkata: “Apa (apaan) ini! Sedangkan aku ada di belakang kalian. Sungguh telah aku bawakan dia (pengganti Taurat) dengan keadaan putih lagi suci... Demi Allah seandainya Musa hidup (sekarang ini) pasti dia tidak ada kelonggarannya kecuali dia harus mengikutiku.” (Sebagaimana diriwayatkan Imam Ahmad dalam Musnadnya 3/387, dan Al-Baihaqi dalam Syu’bul Iman, dan Ad-Darimi 1/115-116 dengan lebih sempurna. Hadits ini menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq yang menulis makalah ini, berderajat Hasan, karena punya banyak jalan menurut Al-Lalkai dan Al-Harwi dan lainnya). Dalam Hadits itu terdapat pengertian sebagai berikut: Pertama: Rasulullah SAW heran adanya orang yang mulai mencari petunjuk kepada selain Al-Quran dan As-Sunnah sedangkan beliau masih hidup. Termasuk tuntutan iman kepada Al-Quran dan As-Sunnah adalah meyakini bahwa petunjuk itu adanya hanyalah pada keduanya (Al-Quran dan As-Sunnah) itu. Kedua: Rasulullah SAW telah membawa agama yang suci murni, tidak dikaburkan oleh pembuat kekaburan berupa perubahan, penggantian, atau penyelewengan. Sedang para sahabat menerima agama Islam itu dengan wungkul (utuh) dan murni. Maka bagaimana mereka akan berpaling darinya dan mencari petunjuk kepada hal-hal yang menyerupai penyelewengan, penggantian, dan penambahan serta pengurangan. Ketiga: Bahwa Nabi Musa as sendiri yang dituruni Kitab Taurat seandainya dia masih hidup pasti dia wajib mengikuti Rasul saw, dan meninggalkan syari’at yang telah dia sampaikan kepada manusia. Hadits ini adalah pokok mengenai penjelasan manhaj (pola) Al-Quran dan As-Sunnah. Tidak boleh seorangpun mencari petunjuk -untuk mengetahui bagaimana cara mendekatkan diri pada Allah dan memperbaiki diri- kepada ajaran yang tidak dibawa oleh Rasulullah saw, hatta walaupun dulunya termasuk syari’at yang diturunkan atas salah satu nabi yang dahulu. b. Dalil yang kedua bahwa Rasulullah saw mendengar khathib yang berkhutbah di hadapan beliau, di antaranya ia berkata: “ Barangsiapa taat pada Allah dan rasulNya maka sungguh ia telah mendaopat ppetunjuk, dan barangsiapa bermaksiat kepada keduanya (waman ya’shihimaa) maka sungguh dia telah sesat.” Maka Rasulullah saw berkata padanya: “Seburuk-buruk khathib kaum adalah kamu. Katakanlah: Barangsiapa bermaksiat pada Allah dan rasulNya maka sungguh dia telah sesat.” (HR Muslim 6/159-di Syarah An-Nawawi, dan Ahmad 4/256 dan 379). Khatib ini telah memotong lafal “Rasulullah saw” (tidak diucapkan tetapi diganti dengan dhamir/ kata ganti dan digandengkan dengan Allah SWT). Maka beliau mencelanya di depan orang banyak, karena khatib itu mengumpulkan antara Allah dan rasulNya dalam satu kataganti “waman ya’shihimaa” lalu Rasul saw menyuruhnya untuk mengulangi penyebutan nama yang jelas bagi Allah dan bagi rasulNya, sehingga tidak akan dikira walau dari jauh bahwa kedudukan Rasul seperti kedudukan Allah swt. Semangat Rasul saw ini adalah dalil atas wajibnya menjaga ketauhidan Allah Ta’ala dengan penjagaan yang sempurna, dan kewajiban membedakan dengan sempurna antara hal yang wajib untuk Allah SWTdan yang wajib untuk RasulNya saw. c. Dalil ketiga: Bahwa Utsman bin Madh`un ra, seorang sahabat pilihan, ketika wafat, sedang Rasul saw hadir di sisinya dan mendengar seorang sahabat besar perempuan, Ummu Al-`Ala`, berkata: “Kesaksianku atasmu Abu As-Saib (Utsman bin Madh`un), bahwa Allah sungguh telah memuliakanmu.” Maka Rasul saw membantahnya dengan berkata: “Tahukah kamu bahwa Allah sungguh telah memuliakannya?” Ini adalah peringatan yang besar dari Rasul saw kepada sahabat wanita ini karena dia telah menetapkan hukum dengan hukum yang menyangkut kegaiban. Ini tidak boleh, karena tidak ada yang menjangkau hal gaib kecuali Allah SWT. Tetapi Shahabiyah (sahabat wanita) ini membalas dengan berkata: “Subhanallah, ya Rasulallah!! Siapa (lagi) kah yang akan Allah muliakan kalau Dia tidak memuliakannya?” Artinya, jika Utsman bin Madh`un ra tidak termasuk orang yang dimuliakan Allah swt, maka siapa lagi yang masih tersisa pada kita yang akan dimuliakan Allah SWT. Ini jawaban yang sangat mengena dan signifikan/ cukup bermakna. Tetapi Rasul saw menolaknya dengan ucapan yang lebih mengena dari itu, di mana beliau bersabda: “Demi Allah, saya ini benar-benar utusan Allah, (tetapi) saya tidak tahu apa yang Dia perbuat padaku esok.” Ini adalah puncak perkara. Rasul sendiri yang dia itu orang yang dirahmati dan disalami oleh Allah , beliau wajib berhati-hati dan mengharap rahmat Allah. Dan disinilah Ummu Al`Ala` sampai pada hakekat syara` yang besar, maka dia berkata: “Demi Allah, setelah ini saya tidak akan menganggap suci terhadap seorangpun salama-lamanya.” (Diiwayatkan Al-Bukhari 3/385, 6/223 dan 224, 8/266 dari Fathul Bari, dan Ahmad 6/436 dari Ummi Al`Ala` Al-Anshariyah binahwihi). Pokok yang ini ditetapkan dalam syari’at pada ayat-ayat dan hadits-hadits yang banyak. Di antaranya firman Allah SWT: “Apakah kamu tidak memperhatikan orang yang menganggap dirinya bersih. Sebenarnya Allah membersihkan siapa yang dikehendakiNya dan mereka tidak dianiaya sedikitpun. Perhatikanlah, betapakah mereka mengada-adakan dusta terhadap Allah? Dan cukuplah perbuatan itu menjadi dosa yang nyata (bagi mereka).” (An-Nisaa`/ 4:49-50). “(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barangsiapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan dia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah.” (An-Nisaa’/ 123). d. Dalil keempat: Bahwa seorang lelaki datang kepada Rasul saw dan berkata: “Apa yang Allah kehendaki dan engkau kehendaki.” Maka Rasul saw bersabda: “Apakah kamu menjadikan aku sebagai tandingan bagi Allah? Katakanlah: “Apa yang Allah kehendaki sendiri.” (HR Ahmad 1/214,224,283,347, Al-Bukhari dalam Adabul Mufrad 783 dan selain keduanya.) Nabi saw telah menjadikan kehendak itu bagi Allah sendiri, sehingga mengajarkannya kepada mukminin bahwa tiada kemauan seorangpun yang bersama kemauan Allah SWT. e. Dalil kelima: Ada sebagian sahabat ra lewat di tengah perjalanan mereka (ketika) keluar ke Hawazin setelah Fathu Makkah ada satu pohon yang orang-orang musyrikin mengalungkan pedang-pedangnya di atas nya, dengan mempercayai bahwa orang yang mengerjakan itu akan mendapatkan kemenangan dalam pertempuran dengan musuh. Lalu para sahabat berkata: Ya Rasulullah, buatkan untuk kami gantungan seperti gantungan milik mereka itu, artinya pohon yang mereka gantungi senjata mereka. Maka Rasul saw menjawab mereka: “Demi Allah Yang diriku ada di tanganNya, kamu sekalian telah berkata seperti Bani Israil berkata kepada Musa: “Buatkanlah tuhan untuk kami sebagaimana (mereka telah membuat) tuhan-tuhan untuk mereka.” (HR Ahmad dalam Musnadnya 5/218) dan At-Tirmidzi dalam Sunannya 6/407 dan 408-Tuhfatul Ahwadzi, dan ia katakan Hadits hasan shahih.) Nabi saw menjelaskan bahwa itu termasuk perbuatan orang-orang musyrikin, dan menyerupai mereka dalam hal ini adalah syirik kepada Allah Ta’ala (juga). Karena meminta berkah dan pertolongan kepada selain Allah SWT adalah menyekutukanNya. Dalil-dalil tersebut di atas itu semua sungguh merupakan kejelasan bahwa Rasul saw sama sekali tidak membolehkan pengotoran pokok yang paling pokok dalam Islam, yaitu tauhidullah (mengesakan Allah) swt dan mengatakan atas nama Allah tanpa ilmu, dan mencari petunjuk (hidayah) kepada selain (Kitab)Nya SWT, dan (Sunnah) RasulNya saw. Rasulullah saw telah menutup pintu perdukunan, peramalan, dan pengaku-ngaku berilmu gaib. Dan beliau saw mengabarkan bahwa orang yang mengaku-ngaku demikian itu kafir. Dan orang yang membenarkan peramal atau dukun maka sungguh ia telah kafir terhadap wahyu yang diturunkan atas Muhammad saw. Dan beliau ditanya tentang para peramal, beliau jawab: “Mereka itu bukan apa-apa.” Demikianlah, karena tidak adanya harga mereka (peramal) itu dan beliau menghinakan mereka. Lalu para sahabatnya ra berkata padanya: Tetapi mereka (para dukun) itu mengabarkan pada kami kadang-kadang dengan satu perkara, lalu terjadi seperti apa yang mereka katakan. Maka Rasul saw mengabarkan kepada mereka (sahabat) bahwa syetan-syetan menaiki satu sama lain dan sampai ke awan dan mendengar malaikat yang berbicara mengenai perkara dari Allah Ta’ala, maka syetan-syetan itu mempelajari perkara itu dari mereka (para malaikat), lalu Allah melemparkan nyala api atas mereka (syetan-syetan), maka nyala api itu kadang-kadang mengenai mereka lalu membakar mereka, dan kadang--kadang mereka menyampaikan kata-kata itu kepada syetan yang ada di bawah mereka sebelum adanya nyala api itu, maka syetan itu berdusta dengan kata-kata itu tadi seratus kedustaan. Oleh karena itu wali-wali syetan (para dukun dll) dari manusia itu benarnya satu kali, tetapi mereka berbohongnya banyak. (HR Muslim dalam Shohihnya 14/225-Syarah An-Nawawi, dengan lafal otentiknya, dan Al-Bukhari dari Abi Hurairah, dan Ahmad dan lainnya.). Dan ketika para sahabat ragu-ragu mengenai Ibnu Shoyyad orang Yahudi yang tinggal di Madinah, dan mereka menyangka dia itu dajjal (pembohong) yang telah diceritakan oleh Rasul saw, dan Rasul bertandang bersama jama’ah mengunjungi Ibnu Syoyad di rumahnya. Rasul Saw berkata padanya dengan minta dikhabari: “Sungguh aku menyembunyikan suatu barang untukmu...” Rasul saw telah menyembunyikan Surat Ad-Dukhan pada diri beliau, lalu Rasul bertanya padanya mengenai apa yang ada pada diri beliau. Maka musuh Allah itu menjawab: “Dia adalah Ad-Dukh” dan dia (dukun Yahudi itu) tidak mampu untuk menyempurnakan kata (Ad-Dukhon, hanya Ad-Dukh). Lalu Rasul SAW berkata padanya: “Piciklah kamu, maka kamu tidak akan melampaui kemampuanmu”. Artinya kamu tidak akan melamapui keadaanmu sebagai dukun yang berhubungan dengan jin. Oleh karena itu Rasul saw bertanya padanya: “Bagaimana kamu bisa tahu?” Dia menjawab: “Datang kepadaku kadang-kadang benar dan kadang bohong.” Artinya khabar-khabar dari syetan datang padanya kadang benar, dan kadang bohong. Lalu Rasulullah bersabda: “Laqod Lubbisa `alaih”. Sungguh telah dicampur aduk (antara kebenaran dan kebohongan) atasnya. (Diriwayatkan semacam ini secara panjang oleh Al-Bukhari 3/462, 6/512, 13/180-dari Fathul Bari). Dalam hadits ini ada dalil bahwa syetan bisa mengintai apa yang ada pada orang mu’min kemudian syetan mengabarkannya kepada manusia yang jadi wali syetan (seperti dukun dll), dan kita diperintahkan untuk tidak membenarkan hal yang ghaib kecuali yang datang dari jalan Allah dan dari jalan Rasulullah saw saja. Seluruh dalil/ bukti yang telah kami sebutkan dan selainnya yang tidak terhitung banyaknya sesungguhnya hanya untuk menetapkan segi aqidah imaniyah dalam da’wah Rasul saw. Dan itu adalah penjelasan bahwa kepercayaan dan keimanan terhadap yang ghaib itu sumbernya adalah Allah SWT. Tidak boleh sama sekali seorang Muslim mengambil jalan lain untuk perkara yang ghaib. Dan barangsiapa mengerjakan yang demikian itu (mengambil jalan selain jalan Allah) maka sungguh ia telah keluar dari iman kepada Allah Ta’ala. (Dipetik dari Al-Fikrus Shuufi, Abdur Rahman Abdul Khaliq, Maktabah Darul Fiha` Dimasyq, cetakan pertama, 1994/ 1414H, halm 24-34). Pengertian Bid’ah dan Jenis-jenisnya Pengertian Bid’ah Bid’ah menurut bahasa adalah sesuatu yang diadakan tanpa ada contoh sebelumnya.(1) Ini bisa dilihat dalam firman Allah: “Allah-lah Pencipta langit dan bumi”.(QS Al Baqarah 117). Maksudnya, Allah yang menciptakan langit dan bumi, tanpa didahului suatu contoh apapun. Bid’ah menurut syara’, sebagaimana penjelasan Ibnu Taimiyah Rahimahullah: Bid’ah adalah sesuatu yang menyelisihi atau menyimpang dari Al-Qur’an atau As-Sunnah dan ijma’ salaful ummah, baik i’tiqadat (sesuatu yang harus diyakini) maupun ibadah (sesuatu yang harus diamalkan).(2) Imam Syatibi dalam kitab “Al-I’tisham” menjelaskan bahwa bid’ah adalah mengadakan cara agama yang dibikin-bikin, yang diadakan (oleh manusia), yang menyerupai syariah. Dan yang dimaksud dengan perilaku tersebut adalah berlebih-lebihan dalam beribadah kepada Allah Ta’ala.(3) Bid’ah itu ada dua: menyangkut keduniaan dan menyangkut agama. Bid’ah (penciptaan) yang mengenai keduniaan itu boleh, selama tidak bertentangan dengan Islam. Misalnya mengadakan pembangunan, menciptakan teknologi baru dsb. Adapun bid’ah yang menyangkut agama itu haram, tidak dibolehkan. Karena, agama itu harus berdasarkan wahyu dari Allah SWT. Manusia tidak berhak membuat syari’at (peraturan agama). Itu hanya hak Allah SWT. Maka membuat bid’ah dalam agama itu melanggar hak Allah SWT. Hingga Nabi Muhammad SAW menegaskan: “Wa iyyaakum wa muhdatsaatil umuuri fainna kulla muhdatsatin bid’atun wa kulla bid’atin dholaalah.” “Dan jauhilah olehmu hal-hal (ciptaan) yang baru (dalam agama). Maka sesungguhnya setiap hal (ciptaan) baru (dalam agama) itu adalah bid’ah, dan setiap bid’ah adalah sesat.” (HR Abu daud dan At-Tirmidzi, dia berkata Hadits hasan shahih). Rasulullah SAW bersabda: Artinya: “Barangsiapa mengada-adakan pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan darinya, maka itu adalah tertolak”.(HR Bukhari dan Muslim). Dan pada riwayat lain: Artinya: “Barangsiapa melakukan amalan, bukan atas perintah kami, maka amalan itu tertolak”.(HR Muslim).(4) Macam-macam Bid’ah Bid’ah dalam agama ada dua macam, yaitu: Pertama, Bid’ah Qauliyah I’tiqadiyah (Bid’ah ucapan atau perkataan yang bersifat keyakinan), seperti perkataan-perkataan Jahmiyah dan Mu’tazilah dan Rafidhah dan seluruh kelompok yang sesat aqidahnya.(5) Dan kedua, Bid’ah pada ibada-ibadah seperti beribadah karena Allah dengan cara-cara yang tidak disyariatkan.(5) Dan macam-macam bid’ah pada ibadah yang bersifat amalan, ada beberapa macam, yaitu: Pertama, Bid’ah berupa ibadah yang tidak pernah ada asalnya dalam Islam, yaitu membuat-buat atau mengada-adakan amalan ibadah yang tidak ada dasarnya pada syara’. Seperti mengada-adakan shalat bikinan yang memang tidak disyariatkan, atau puasa bikinan yang memang tidak ada tuntunannya, atau hari raya (A’yad) yang memang tidak dituntunkan /tidak disyariatkan. Misalnya, mengadakan perayaan maulid dan yang semacamnya. Kedua, Bid’ah berupa menambahkan sesuatu atas ibadah yang sudah ada asalnya dalam syari’at Islam. Misalnya, menambah raka’at jadi lima pada shalat Dhuhur atau pada shalat Ashar. Ketiga, Bid’ah berupa mengerjakan ibadah yang telah disyari’atkan tetapi dengan cara yang tidak ada dasarnya dari syari’at Islam. Misalnya melakukan dzikir-dzikir yang disyariatkan tetapi dengan dibikin cara: bersama-sama dan disertai rebana, dan dibikin cara: dengan suara yang keras. Dan misalnya pula, memaksakan diri dalam beribadah , sampai keluar dari batas sunnah Rasulullah SAW. Keempat, Bid’ah berupa mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk mengerjakan ibadah yang disyari’atkan, padahal tidak ada pengkhususan dari syari’at Islam. Misalnya mengkhususkan hari dan malam nshfu Sya’ban dengan puasa dan shalat malam. Padahal shiyam dan qiyam disyariatkan tetapi mengkhususkan pada waktu-waktu tertentu, diperlukan dalil.(5) Bid’ah hakikiyah dan idhafiyah Imam Syatibi membagi bid’ah menjadi dua, ditinjau dari segi adanya dalil yang dijadikan sandaran dalam beramal atau tidak adanya dalil. Pertama, bid’ah hakikiyah, dan kedua bid’ah idhafiyyah.(6) Pertama, bid’ah hakikiyah adalah suatu bid’ah yang sama sekali tidak didasarkan pada suatu pengertian dalil dari Al Qur’an dan As Sunnah, bahkan lebih bersifat melawan atau menyelisihi ketentuan dalil yang ada. Tegasnya, dalil yang dijadikan dasar atau sandaran dalam melakukan amalan bid’ah tersebut tidak ada. Contoh bid’ah hakikiyah diantaranya : a. Mengerjakan hal-hal yang menyiksa diri, tanpa ada dalil yang memerintahkannya. Diriwayatkan dari Abdullah bin Abas, ia berkata: Ketika Nabi Muhammad SAW sedang berkhutbah, tiba-tiba ada seseorang berdiri, maka Rasulullah bertanya tentang dia, lalu mereka (para pendengar khutbah) menjawab: “Abu Israil, dia telah bernadhar untuk tetap berdiri, tidak duduk ,dan tidak berteduh; tidak berbicara, dan berpuasa.” Maka Rasulullah bersabda: “Kamu sekalian perintahkan kepadanya, hendaklah dia berbicara, berteduh dan duduk, dan supaya menyempurnakan puasanya”.(7) b. Adanya pemotongan kepala kerbau yang kemudian ditanam pada lubang galian tanah, sebagai tumbal. c. Melakukan pecah telur bagi penganten yang sedang dipertemukan, karena adanya kepercayaan tertentu, sebagaimana yang dilakukan di tengah-tengah masyarakat. d. Melakukan terobosan di bawah keranda (mayat) bagi ahli waris, sewaktu mayat sudah siap akan diberangkatkan ke pemakaman. e. Mengadakan peringatan kematian, misalnya tiga hari, empat puluh hari, seratus hari, haul/ temu tahun, seribu hari dan seterusnya, yang itu semua tidak ada dalilnya, bahkan bertentangan dengan dalil, dan menirukan adat orang musyrik. f. Minta do’a pada isi kubur. Ini bertentangan dengan dalil yang tidak pernah membolehkan mayat dijadikan sarana untuk berdo’a. Disamping itu masaih ada berbagai acara lain yang termasuk bid’ah, karena sama sekali tidak ada dalam Islam. Kedua, Bid’ah Idhafiyyah adalah suatu bid’ah yang pada hakekatnya didasarkan pada dalil Al Qur’an atau As Sunnah, tetapi cara melakukan amalan yang diamalkan dengan dalil yang dimaksud, tidak didapatkan di dalam ajaran Islam. Contoh bid’ah idhafiyyah adalah : a. Sebagai pernyataan taubat atas segala dosa, disebutlah kalimat “La ilaha illa Allah” dengan cara geleng-geleng kepala seperti melakukan tarian. Dalam hal taubat itu, gendang dan perlengkapannya dibunyikan. Bentuk semacam ini dilakukan oleh seseorang dengan seriusnya untuk beberapa lama sampai orang tersebut jatuh pingsan. Di saat itu taubat baru dihentikan, karena dianggap orang tersebut telah diterima taubatnya. b. Di beberapa masjid atau surau, setelah selesai seorang muadzin adzan, diadakanlah apa yang disebut “puji-pujian”. Dalam pujian-pujian tersebut banyak dibacakan shalawat Nabi, di samping berbagai bacaan lain, baik yang diambil dari Al Qur’an maupun syair-syair. Hal tersebut dilagukan dengan suara keras, selain sebagai pengertian ibadah juga untuk menanti kedatangan imam. Yang demikian itu banyak dijumpai, sementara tuntunan dari Rasulullah yang demikian tidak ada. c. Contoh adanya penentuan dan penertiban beberapa bacaan yang dilakukan dalam selamatan atas kematian seseorang atau lainnya pada pengertian yang bisa disebut dengan “tahlilan”. Penentuan yang dimaksud dalam hal ini, selain dari penentuan waktu, seperti pada hari ke 7, ke 40, ke 100, ke 1000 dst, juga penentuan bacaan. Baik jumlah bilangannya, juga penentuan penertibannya. Namun keterangan Al Qur’an dan As Sunnah bahwa hal itu untuk amalan sebagaimana dilakukan itu tidak didapatkan. Begitulah yang dimaksud dengan bid’ah idhafiyyah beserta beberapa contohnya. Hukum Bid’ah pada agama dengan segala macamnya (8) Semua bid’ah pada agama, hukumnya haram dan sesat. karena sabda Rasulullah SAW: “Hendaklah kalian menjauhi perkara-perkara yang diada-adakan, maka sesungguhnya tiap-tiap yang diada-adakan itu bid’ah dan setiap bid’ah itu adalah sesat”.(HR Abu Dawud dan At-Tirmidzi). Dan sabda Nabi SAW: Artinya: “Barangsiapa yang mengada-adakan pada perkara kami ini, sesuatu yang bukan perkara dari kami, maka itu adalah tertolak”. Dan dalam riwayat lain: “Barangsiapa yang mengamalkan amalan bukan atas perkara kami, maka yang demikian itu tertolak”. Hadits itu menunjukkan bahwa tiap-tiap sesuatu yang diada-adakan pada agama, maka itu adalah bid’ah dan tiap-tiap bid’ah adalah sesat dan tertolak. Dan makna yang demikian, sesungguhnya bid’ah pada ibadah dan i’tiqad , yang itu semua sudah jelas diharamkannya. Akan tetapi pengharamannya bertingkat-tingkat, sesuai dengan macam bid’ahnya. Dianataranya ada yang hukumnya kufur dengan jelas, seperti: thowaf (keliling) pada kubur dalam bertaqarrub (mendekatkan diri pada Allah), atau mempersembahkan sembelihan dan nadhar untuk kubur. Dan di antaranya termasuk sarana wasail syirik. Seperti membangun bangunan di atas kubur, serta shalat dan berdoa di kuburan. Dan di antaranya ada yang fisqu i’tiqadi (keluar dari ketaatan secara keyakinan), seperti bid’ah khawarij (aliran ekstrim dalam memahami agama, sehingga dosa besar dianggap kafir dsb), qadariyah (menolak qadha dan qadar Allah dalam setiap usaha manusia) dan murji’ah (aliran yang mengkemudiankan, yaitu mengkemudiankan amal daripada iman, yang dipentingkan adalah iman, sedang yang lainnya adalah soal kedua. Amal menurut mereka bukan bagian esensi dari iman, walau tetap diperlukan) pada perkataan-perkataan mereka pada i’tiqadinya yang menyimpang terhadap dalil-dalil syar’i. Dan di antara bid’ah yang termasuk maksiat seperti bid’ah siyam (puasa) dalam keadaan berdiri pada panas matahari, dan kebiri dengan maksud memutus syahwat jima’ (bersetubuh).(9) Demikianlah pengertian bid’ah, jenis-jenis dan hukumnya. Semua itu wajib dihindari, agar kita terbebas dari kesesatan. (10). Catatan: 1. Tanbih Ulil Abshar Ila kamaliddin wa maa fil bida’ minal Akhthor, Dr Shalih bin Sa’id As-Suhaimi, hal 84. 2. Majmu’ Al-fatawa li Ibn Taimiyyah (18/346). 4. Al-Bid’ah, ta’rifuha, ahwa`uha, ahkamuha, Syaikh Shalih bin fauzan, hal 5. 5. Tanbih Ulil Abshar ila kamaliddin wamaa fil bida` minal akhthar, Dr Shalih bin Sa`d As Suhaimi, hal 100. 6. Ibid hal 93 7. Shahih al-Bukhari ma’al Fath (11/586), Musnad Al-Imam Ahmad (4/168). 8. Al-Bid’ah, ta`rifuha, ahwa`uha, Syaikh Shalih bin Fauzan, hal 7. 9. Lihat Al-I`tisham, As-Syatibi (2/37). 10. Tulisan ini dimodifikasi dari tulisan tangan seorang da’i yang tak menyebutkan namanya, namun isinya bisa dipertanggung jawabkan dan insya Allah bermanfaat. PENAMAAN SHUFI Penamaan shufi tidak ditemukan secara pasti, dari kata apa asalnya. Ada perbedaan-perbedaan pendapat mengenai asal kata shufi ataupun tasawuf. Ibnu Taimiyah menyebutkan sebagian perbe­daan-perbedaan yang ada sebagai berikut. Dikatakan bahwa lafal shufi itu dinisbatkan (disandarkan) kepada ahli shofah (penghuni lorong dekat masjid Nabi). Ini tidak benar, karena kalau demikian maka pasti disebut shofiy. Ada pula yang berpendapat, shufi itu dinisbatkan kepada shof depan di hadapan Allah. Ini pun salah, karena namanya jadi shofiy juga. Konon ada yang menisbatkan shufi kepada Shufah bin Basyar bin Thanjah, satu kabilah dari Bangsa Arab, mereka bertetangga dengan Makkah dari zaman dahulu kala. Dinisbatkanlah orang-orang ahli ibadah (nassak) kepada mereka. Ini, walaupun sesuai untuk penisbatan dari segi lafal yaitu tepat jadi "shufi" namanya, namun penisbatan ini lemah juga. Karena mereka itu tidak terkenal dan tidak populer bagi kebanyakan ahli ibadah. Dan seandainya ahli ibadah itu dinisbatkan kepada mereka maka pastilah penisba­tan ini sudah ada pada zaman sahabat dan tabi'in serta para pengikut mereka yang pertama. Dan lagi pada umumnya orang-orang yang berbicara mengenai nama shufi itu tidak mengetahui kabilah ini, dan tidak suka kalau dinisbatkan kepada kabilah yang ada di zaman jahiliyah dan tidak ada di zaman Islam. Dan dikatakan --ini terkenal-- bahwa shufi itu dinisbatkan kepada pakaian as-shuf/ bulu domba/ wool. (Majmu' Al-Fatawa oleh Ibnu Taimiyah 11/6 dan lihat 10/510 -20/150, As-Sufiyah `Aqidah wa Ahdaf oleh Laila binti `Abdillah, Darul Wathan, Riyadh, cet I, hal 1410H, hal 10-11). Asal kata shufi dari pakaian shuf (bulu domba) ini dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, karena kenyataan yang ada pada masa Ibnu Taimiyah adalah mereka memakai pakaian kasar (bulu domba), seba­gai pengakuan untuk zuhud (menahan diri dengan tidak cinta dunia), dan menampakkan kesederhanaan dan kemelaratan hidup di samping menahan diri dari berhubungan dan minta-minta pada orang, dan mencegah diri dari air dingin dan makan daging. Demikian pula mereka meninggalkan nikah. Sehingga perbuatan mereka tidak sesuai dengan zuhud (tidak serakah) yang disyari'atkan. Nabi SAW telah mengingkari orang yang ingin mendekatkan diri kepada Allah dengan mencegah diri dari makan daging atau nikah. seperti Hadits yang telah datang dalam kitab Shahihain (Bukhari dan Muslim) dari Anas bin Malik, ia berkata: "Ada satu kelompok sahabat yang datang ke rumah Nabi saw untuk menanyakan kepada isteri-isteri beliau tentang ibadah beliau. Setelah mereka diberitahu keadaan ibadah beliau, seolah-olah mereka menganggap ibadah itu masih terlalu sedikit. Kemudian mereka berkata-kata satu sama lain, lalu mereka bertanya, di mana posisi kita dibandingkan dengan Rasulullah saw padahal Allah telah mengampuni dosa beliau, baik yang terdahulu maupun yang akan datang? Lalu salah seorang dari mereka berkata: "Saya akan puasa sepanjang tahun dan tidak akan berbuka." Yang kedua menga­takan: "Saya akan bangun (shalat) malam dan tidak tidur." Yang ketiga berkata: "Saya akan menjauhi wanita dan tidak akan kawin selama-lamanya." Lalu Rasulullah saw datang kepada mereka seraya bersabda: "Kamukah yang telah berkata begini dan begitu tadi? Ketahui­lah, demi Allah, akulah orang yang paling takut kepada Allah di antara kalian dan yang paling bertaqwa kepada-Nya, tetapi aku berpuasa dan berbuka, shalat dan tidur, dan kawin dengan perem­puan. Maka barangsiap yang membenci sunnahku bukanlah ia dari golonganku." (HR Bukhari dan lainnya). Ibnu Taimiyah dalam menguatkan shuf (bulu domba) sebagai sebab penamaan shufi adalah karena mereka terkenal dengan pakaian shuf (bulu). Itu hanyalah menyebutkan gejala mereka pada masa itu dan sebelumnya, yaitu pakaian shuf untuk menampakkan zuhud. Tetapi ada pendapat lain tentang penamaan itu menunjukkan sebagian pemikiran mereka, yaitu pemikiran yang kembali kepada pemikiran-pemikiran kuno seperti yang disebutkan oleh Al-Biruni Abu Ar-Rahyan yang menisbatkan tasawuf kepada kata "Sofia" Yunani yaitu hikmah (filsafat), mengingat karena saling dekatnya pendapat-pendapat antara pendapat orang-orang shufi dengan para filosof Yunani kuno. (al- Tasawuf al mansya' wal mashadir, oleh Ihsan Ilahi Dhahir, hal 33-34). Tasawuf itu adalah kasus yang lebih berbahaya ketimbang seka­dar pakaian kasar, bahkan merupakan pemikiran-pemikiran buatan para filosof yang masuk ikut campur dalam Islam padahal sebenar­nya jauh dari Islam, tetapi disampuli dengan cover yang menimbul­kan pengelabuan bahwa tasawuf itu termasuk dalam Islam. (As-Shufiyyah `aqidah wa ahdaf, hal 12). SEJARAH DAN FITNAH TASAWWUF Orang-orang sufi pada periode-periode pertama menetapkan untuk merujuk (kembali) kepada Al-Quran dan As-Sunnah, namun kemudian Iblis memperdayai mereka karena ilmu mereka yang sedikit sekali. Ibnul Jauzi (wafat 597H) yang terkenal dengan bukunya Talbis Iblis menyebutkan contoh, Al-Junaid (tokoh sufi) berkata, "Madzhab kami ini terikat dengan dasar, yaitu Al-Kitab dan As-Sunnah." Dia (Al-Junaid) juga berkata, "Kami tidak mengambil tasawuf dari perkataan orang ini dan itu, tetapi dari rasa lapar, mening­galkan dunia, meninggalkan kebiasan sehari-hari dan hal-hal yang dianggap baik. Sebab tasawuf itu berasal dari kesucian mu'amalah (pergaulan) dengan Allah dan dasarnya adalah memisahkan diri dari dunia." Komentar Ibnul Jauzi, jika seperti ini yang dikatakan para syeikh mereka, maka dari syeikh-syeikh yang lain muncul banyak kesalahan dan penyimpangan, karena mereka menjauhkan diri dari ilmu. Jika memang begitu keadaannya, lanjut Ibnul Jauzi, maka mereka harus disanggah, karena tidak perlu ada sikap manis muka dalam menegakkan kebenaran. Jika tidak benar, maka kita tetap harus waspada terhadap perkataan yang keluar dari golongan mereka. Dicontohkan suatu kasus, Imam Ahmad bin Hanbal (780-855M) pernah berkata tentang diri Sary As-Saqathy, "Dia seorang syeikh yang dikenal karena suka menjamu makanan." Kemudian ada yang mengabarinya bahwa dia berkata, bahwa tatkala Allah menciptakan huruf-huruf, maka huruf ba' sujud kepada-Nya. Maka seketika itu pula Imam Ahmad berkata: "Jauhilah dia!" (Ibnul Jauzi, Talbis Iblis, Darul Fikri, 1368H, hal 168-169). Kapan awal munculnya tasawuf Tentang kapan awal munculnya tasawuf, Ibnul Jauzi mengemuka­kan, yang pasti, istilah sufi muncul sebelum tahun 200H. Ketika pertama kali muncul, banyak orang yang membicarakannya dengan berbagai ungkapan. Alhasil, tasawuf dalam pandangan mereka meru­pakan latihan jiwa dan usaha mencegah tabiat dari akhlak-akhlak yang hina lalu membawanya ke akhlak yang baik, hingga mendatangkan pujian di dunia dan pahala di akherat. Begitulah yang terjadi pada diri orang-orang yang pertama kali memunculkannya. Lalu datang talbis Iblis (tipuan mencampur adukkan yang haq dengan yang batil hingga yang batil dianggap haq) terhadap mereka (orang sufi) dalam berbagai hal. Lalu Iblis memperdayai orang-orang setelah itu daripada pengikut mereka. Setiapkali lewat satu kurun waktu, maka ketamakan Iblis untuk memperdayai mereka semakin menjadi-jadi. Begitu seterusnya hingga mereka yang datang belakangan telah berada dalam talbis Iblis. Talbis Iblis yang pertama kali terhadap mereka adalah mengha­langi mereka mencari ilmu. Ia menampakkan kepada mereka bahwa maksud ilmu adalah amal. Ketika pelita ilmu yang ada di dekat mereka dipadamkan, mereka pun menjadi linglung dalam kegelapan. Di antara mereka ada yang diperdaya Iblis, bahwa maksud yang harus digapai adalah meninggalkan dunia secara total. Mereka pun menolak hal-hal yang mendatangkan kemaslahatan bagi badan, mereka menyerupakan harta dengan kalajengking, mereka berlebih-lebihan dalam membebani diri, bahkan di antara mereka ada yang sama sekali tidak mau menelentangkan badannya, terlebih lagi tidur. Sebenarnya tujuan mereka itu bagus. Hanya saja mereka meniti jalan yang tidak benar dan diantara mereka ada yang karena minim­nya ilmu, lalu berbuat berdasarkan hadits-hadits maudhu` (palsu), sementara dia tidak mengetahuinya. Syari'at dianggap ilmu lahir hingga aqidahnya rusak Kemudian datang suatu golongan yang lebih banyak berbicara tentang rasa lapar, kemiskinan, bisikan-bisikan hati dan hal-hal yang melintas di dalam sanubari, lalu mereka membukukan hal-hal itu, seperti yang dilakukan Al-Harits Al-Muhasibi (meninggal 857M). Ada pula golongan lain yang mengikuti jalan tasawuf, menyendiri dengan ciri-ciri tertentu, seperti mengenakan pakaian tambal-tambalan, suka mendengarkan syair-syair, memukul rebana, tepuk tangan dan sangat berlebih-lebihan dalam masalah thaharahdan kebersihan. Masalah ini semakin lama semakin menjadi-jadi, karena para syaikh menciptakan topik-topik tertentu, berkata menurut pandangannya dan sepakat untuk menjauhkan diri dari ulama. Memang mereka masih tetap menggeluti ilmu, tetapi mereka menamakannya ilmu batin, dan mereka menyebut ilmu syari'at seba­gai ilmu dhahir. Karena rasa lapar yang mendera perut, mereka pun membuat khayalan-khayalan yang musykil, mereka menganggap rasa lapar itu sebagai suatu kenikmatan dan kebenaran. Mereka memba­yangkan sosok yang bagus rupanya, yang menjadi teman tidur mere­ka. Mereka itu berada di antara kufur dan bid'ah. Kemudian muncul beberapa golongan lain yang mempunyai jalan sendiri-sendiri, dan akhirnya aqidah mereka jadi rusak. Di antara mereka ada yang berpendapat tentang adanya inkarnasi/hulul (penitisan) yaitu Allah menyusup ke dalam diri makhluk dan ada yang menyatakan Allah menyatu dengan makhluk/ ittihad. Iblis senantiasa menjerat mereka dengan berbagai macam bid'ah, sehingga mereka membuat sunnah tersendiri bagi mereka. (ibid, hal 164). Perintis tasawuf tak diketahui pasti Abdur Rahman Abdul Khaliq, dalam bukunya Al-Fikrus Shufi fi Dhauil Kitab was Sunnah menegaskan, tidak diketahui secara tepat siapa yang pertama kali menjadi sufi di kalangan ummat Islam. Imam Syafi'i ketika memasuki kota Mesir mengatakan, "Kami ting­galkan kota Baghdad sementara di sana kaum zindiq (menyeleweng; aliran yang tidak percaya kepada Tuhan, berasal dari Persia; orang yang menyelundup ke dalam Islam, berpura-pura --menurut Leksikon Islam, 2, hal 778) telah mengadakan sesuatu yang baru yang mereka namakan assama' (nyanyian). Kaum zindiq yang dimaksud Imam Syafi'i adalah orang-orang sufi. Dan assama' yang dimaksudkan adalah nyanyian-nyanyian yang mereka dendangkan. Sebagaimana dimaklumi, Imam Syafi'i masuk Mesir tahun 199H. Perkataan Imam Syafi'i ini mengisyaratkan bahwa masalah nyanyian merupakan masalah baru. Sedangkan kaum zindiq tampaknya sudah dikenal sebelum itu. Alasannya, Imam Syafi'i sering berbicara tentang mereka di antaranya beliau mengatakan: "Seandainya seseorang menjadi sufi pada pagi hari, maka siang sebelum dhuhur ia menjadi orang yang dungu." Dia (Imam Syafi'i) juga pernah berkata: "Tidaklah seseorang menekuni tasawuf selama 40 hari, lalu akal­nya (masih bisa) kembali normal selamanya." (Lihat Talbis Iblis, hal 371). Semua ini, menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, menunjukkan bahwa sebelum berakhirnya abad kedua Hijriyah terdapat satu kelompok yang di kalangan ulama Islam dikenal dengan sebutan Zanadiqoh (kaum zindiq), dan terkadang dengan sebutan mutashawwi­fah (kaum sufi). Imam Ahmad (780-855M) hidup sezaman dengan Imam Syafi'i (767-820M), dan pada mulanya berguru kepada Imam Syafi'i. Perkataan Imam Ahmad tentang keharusan menjauhi orang-orang tertentu yang berada dalam lingkaran tasawuf, banyak dikutip orang. Di antara­nya ketika seseorang datang kepadanya sambil meminta fatwa ten­tang perkataan Al-Harits Al-Muhasibi (tokoh sufi, meninggal 857M). Lalu Imam Ahmad bin Hanbal berkata: "Aku nasihatkan kepadamu, janganlah duduk bersama mereka (duduk dalam majlis Al-Harits Al-Muhasibi)". Imam Ahmad memberi nasihat seperti itu karena beliau telah melihat majlis Al-Harits Al-Muhasibi. Dalam majlis itu para peserta duduk dan menangis --menurut mereka-- untuk mengoreksi diri. Mereka berbicara atas dasar bisikan hati yang jahat. (Perlu kita cermati, kini ada kalangan-kalangan muda yang mengadakan daurah/penataran atau halaqah /pengajian, lalu mengadakan muhasabatun nafsi/ mengoreksi diri, atau mengadakan apa yang mereka sebut renungan, dan mereka menangis tersedu-sedu, bahkan ada yang meraung-raung. Apakah perbuatan mereka itu ada dalam sunnah Rasulullah saw? Ataukah memang mengikuti kaum sufi itu?). Abad III H Sufi mulai berani, semua tokohnya dari Parsi Tampaknya, Imam Ahmad bin Hanbal radhiyallahu`anhu mengucapkan perkataan tersebut pada awal abad ketiga Hijriyah. Namun sebelum abad ketiga berakhir, tasawuf telah muncul dalam hakikat yang sebenarnya, kemudian tersebar luas di tengah-tengah umat, dan kaum sufi telah berani mengatakan sesuatu yang sebelumnya mereka sembunyikan. Jika kita meneliti gerakan sufisme sejak awal perkembangannya hingga kemunculan secara terang-terangan, kita akan mengetahui­ bahwa seluruh tokoh pemikiran sufi pada abad ketiga dan keempat Hijriyah berasal dari Parsi (kini namanya Iran, dulu pusat agama Majusi, kemusyrikan yang menyembah api, kemudian menjadi pusat Agama Syi'ah), tidak ada yang berasal dari Arab. Sesungguhnya tasawuf mencapai puncaknya, dari segi aqidah dan hukum, pada akhir abad ketiga Hijriyah, yaitu tatakla Husain bin Manshur Al-Hallaj berani menyatakan keyakinannya di depan pengua­sa, yakni dia menyatakan bahwa Allah menyatu dengan dirinya, sehingga para ulama yang semasa dengannya menyatakan bahwa dia telah kafir dan harus dibunuh. Pada tahun 309H/ 922M ekskusi (hukuman bunuh) terhadap Husain bin Manshur Al-Hallaj dilaksanakan. Meskipun demikian, sufisme tetap menyebar di negeri Parsi, bahkan kemudian berkembang di Irak. Abad keempat mulai muncul thariqat/ tarekat Tersebarnya sufisme didukung oleh Abu Sa`id Al-Muhani. Ia mendirikan tempat-tempat penginapan yang dikelola secara khusus yang selanjutnya ia ubah menjadi markas sufisme. Cara penyebaran sufisme seperti itu diikuti oleh para tokoh Sufi lainnya sehingga pada pertengahan abad keempat Hijriyah berkembanglah cikal bakal thariqat/ tarekat sufiyah, kemudian secara cepat tersebar di Irak, Mesir, dan Maghrib (Maroko). Pada abad keenam Hijriyah muncul beberapa tokoh tasawuf, mas­ing-masing mengaku bahwa dirinya keturunan Rasulullah SAW, kemud­ian mendirikan tempat thariqat sufiyah dengan pengikutnya yang tertentu. Di Irak muncul thariqat sufiyah Ar-Rifa`i (Rifa'iyah); di Mesir muncul Al-Badawi, yang tidak diketahui siapa ibunya, siapa bapaknya, dan siapa keluarganya; demikian juga Asy-Syadzali (Syadzaliyah/ Syadziliyah) yang muncul di Mesir. Dari thariqat-thariqat tersebut muncul banyak cabang thariqat sufiyah. Abad ke-6,7, & 8 puncak fitnah shufi Pada abad keenam, ketujuh, dan kedelapan Hijriyah fitnah sufisme mencapai puncaknya. Kaum Sufi mendirikan kelompok-kelompok khusus, kemudian di berbagai tempat dibangun kubah-kubah di atas kuburan. Semua itu terjadi setelah tegaknya Daulah Fathi­miyah (kebatinan) di Mesir, dan setelah perluasan kekuasaan ke wilayah-wilayah dunia Islam. Lalu, kuburan-kuburan palsu muncul, seperti kuburan Husain bin Ali radliyallahu `anhuma di Mesir, dan kuburan Sayyidah Zainab. Setelah itu, mereka mengadakan peringatan maulid Nabi, mereka melakukan bid`ah-bid`ah dan khufarat-khufarat. Pada akhirnya mereka meng-ilahkan (menuhankan) Al-Hakim Bi-Amrillah Al-Fathimi Al-Abidi. Propaganda yang dilakukan oleh Daulah Fathimiyah tersebut berawal dari Maghrib (Maroko), mereka menggatikan kekuasaan Abbasiyah yang Sunni. Daulah Fathimiyah berhasil menggerakkan kelompok Sufi untuk memerangi dunia Islam. Pasukan-pasukan kebat­inan tersebut kemudian menjadi penyebab utama berkuasanya pasukan salib (Kristen Eropa) di wilayah-wilayah Islam. Pada abad kesembilan, kesepuluh, dan kesebelas Hijriyah, telah muncul berpuluh-puluh thariqat sufiyah, kemudian aqidah dan syari`at Sufi tersebar di tengah-tengah umat. Keadaan yang merata berlanjut sampai masa kebangkitan Islam baru. Ibnu Taimiyyah dan murid-muridnya memerangi shufi Sesungguhnya kebangkitan Islam sudah mulai tampak pada akhir abad ketujuh dan awal abad kedelapan Hijriyah, yaitu tatkala Imam Mujahid Ahmad bin Abdul-Hakim Ibnu Taimiyyah (1263-1328M) meme­rangi seluruh aqidah yang menyimpang melalui pena dan lisannya, di antara yang diperangi adalah aqidah kaum Sufi. Setelah itu, perjuangan beliau dilanjutkan oleh murid-muridnya, seperti Ibnul-Qayyim (Damaskus 1292-1350M), Ibnu-Katsir (wafat 774H), Al-Hafizh Adz-Dzahabi, dan Ibnu Abdil-Hadi. Meskipun mendapat serangan, tasawuf, dan aqidah-aqidah batil terus mengakar, hingga berhasil menguasai umat. Namun, pada abad kedua belas hijriyah Allah mempersiapkan Imam Muhammad bin Abdul-Wahhab untuk umat Islam. Ia mempelajari buku-buku Syaikh Ibnu Taimiyyah, kemudian bangkit memberantas dan memerangi kebatilan. Dengan sebab upaya beliau, Allah merealisasikan kemunculan ke­bangkitan Islam baru. Da`wah Muhammad bin Abdul-Wahhab disambut oleh orang-orang mukhlis di seluruh penjuru dunia Islam. Namun, daulah sufisme tetap memiliki kekuatan di berbagai wilayah dunia Islam, dan simbol-simbol tasawuf masih tetap ada. Simbol-simbol tasawuf yang dimaksudkan adalah kuburan-kuburan, syaikh-syaikh atau guru-guru sesat, dan aqidah-aqidah yang rusak dan batil (lihat: Al-Fikrush-Shufi fi Dhau`il-Kitab was Sunnah,oleh Abdur-Rahman Abdul-Khaliq, halaman 49-53, dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah `Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan Riyad, I, 1410H, hal 13-17). SOROTAN TERHADAP TASAWWUF -- Gus Dur Wali ? -- Beberapa komentar tentang tasawwuf akan menjelaskan bahwa sebenarnya tasawwuf itu berasal dari luar Islam. Berikut ini komentar para ulama dan ilmuwan yang menyoroti tasawwuf. Syaikh Ihsan Ilahi Dhahir rahimahullah menulis: "Ketika kita memperhatikan dengan teliti tentang ajaran sufi yang pertama dan terakhir, serta pendapat-pendapat yang dikutip dan diakui oleh mereka di dalam kitab-kitab sufi, baik yang lama maupun yang baru, maka kita akan melihat dengan jelas perbedaan yang jauh antara sufi dengan Al-Quran dan As-Sunnah. Begitu juga kita tidak melihat adanya bibit-bibit sufi di dalam perjalanan hidup Nabi saw dan para sahabat beliau, yang mereka itu adalah (sebaik-baik) pilihan Allah dari kalangan makhluk-Nya. Tetapi kita bisa melihat bahwa sufi diambil dari percikan kependetaan Nasrani, Brahmana (Hindu), Yahudi, dan kezuhudan Agama Budha." (Ihsan Ilahi Dhahir, At-Tashawwuf al-Mansya' wal Mashadir hal 27, seperti dikutip Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, Haqiqatut Tashawwuf / diterjemahkan menjadi Hakikat Tasawuf, Pustaka As-Salaf, Cet I, 1998/ 1419H, hal 19). Komentar ilmuwan lainnya hampir sama. "Jelas bahwa tasawwuf memiliki pengaruh dari kehidupan para pendeta Nasrani, mereka suka memakai pakaian dari bulu domba dan berdiam di biara-biara. Dan ini banyak sekali. Islam memutuskan kebiasaan ini ketika Islam membebaskan setiap negeri dengan tauhid." (Dr Shobir Tho'imah, Ash-Shufiyyah Mu'taqadan wa Masla­kan, Riyadh, Cet I, 1985M/ 1405H, hal 25, ibid hal 19). Lebih jelas lagi, komentar berikut ini: "Sesungguhnya tasaw­wuf itu adalah tipuan/ makar paling hina dan tercela. Syetan telah membuatnya untuk menipu para hamba Allah dan memerangi Allah 'Azza wa Jalla dan Rasul-Nya. Sesungguhnya tasawwuf adalah topeng kaum Majusi agar ia terlihat sebagai orang yang Rabbani (taat pada Tuhan), bahkan juga topeng semua musuh agama ini (Islam). Bila diteliti ke dalam akan ditemui di dalamnya (ajaran kaum sufi, ed) ada Brahmaisme, Budhisme, Zaratuisme, Platoisme, Yahudisme, Nasranisme, dan Paganisme/ Berhalaisme." (Syaikh Abdur Rahim Al-Wakil rahimahullah, Mashra'ut Tashawwuf, hal 19, ibid hal 19). Syaikh Al-Fauzan menyimpulkan: "Jelaslah bahwa sufi adalah ajaran (dari) luar yang menyusup ke dalam Islam. Hal itu tampak dari kebiasaan-kebiasaan yang dinisbatkan kepadanya. Sufi adalah suatu ajaran yang asing (aneh) di dalam Islam dan jauh dari petunjuk Allah 'Azza wa Jalla. Yang dimaksud dengan kalangan sufi yang belakangan adalah mereka yang sudah banyak berisi dengan kebohongan. Adapun sufi yang dahulu, mereka masih berada di dalam keadaan netral, seperti Al-Fudhail bin 'Iyadh, Al-Junaid, Ibrahim bin Adham dan lain-lain." (Syaikh Dr Shalih bin Fauzan Al-Fauzan, terjemah Hakikat Tasawwuf, hal 20). Ucapan-ucapan Orang Shufi Sangat Tidak Layak Ibnul Jauzi (w 597H) dalam Kitabnya, Talbis Iblis mencontohkan betapa ekstrimnya bualan orang sufi, hingga melewati batas dan menentang Allah SWT. Karena orang-orang sufi jauh dari ilmu, ungkap Ibnul Jauzi, maka perhatian mereka tertuju kepada amal, lalu mereka sepakat menunjukkan kelemahlembutan yang menyerupai karamah, lalu mereka mengeluarkan berbagai macam bualan. Diriwayatkan, Abu Yazid Al-Busthamy (tokoh sufi) berkata, "Aku ingin andaikata saja hari Kiamat sudah tiba, sehingga aku bisa memancangkan kemah di Neraka Jahannam." "Mengapa begitu wahai Abu Yazid?" tanya seseorang. Dia menjawab, "Sebab aku tahu bahwa jika Jahannam melihatku, maka apinya akan padam, sehingga aku bisa menolong orang lain." Abu Musa As-Syibli berkata, saya mendengar Abu Yazid berkata: "Apabila telah ada hari Kiamat dan Dia memasukkan ahli surga ke surga dan ahli neraka ke neraka, maka mintakanlah padaNya untuk memasukkanku ke neraka. Lalu ditanyakan padanya (Abu Yazid), kenapa? Dia berkata: "Sehingga para makhluk tahu bahwa kebaikan­-Nya dan kelemahlembutanNya di dalam neraka menyertai para wali­-Nya." Komentar Ibnul Jauzi: "Benar-benar perkataan yang sangat menji­jikkan, karena dia telah menghinakan apa yang diagungkan Allah, yaitu perintah-Nya kepada Neraka. Padahal Allah juga telah pan­jang lebar menjelaskan masalah Neraka ini, seperti firman-Nya: ”Maka peliharalah diri kalian dari api neraka, yang bahan bakarnya manusia dan batu." (Al-Baqarah: 24). “Apabila Neraka itu melihat mereka dari tempat yang jauh, mereka mendengar kegeramannya dan suara nyalanya." (QS Al-Furqan/25:12). Dari Abu Hurairah ra, dia berkata, "Rasulullah saw bersabda: "Sesungguhnya neraka kalian ini, yang dinyalakan dengan Bani Adam, merupakan satu bagian dari tujuh puluh bagian dari panas Jahannam." Para sahabat berkata, "Demi Allah, itu benar-benar sudah cukup wahai Rasulullah." Beliau bersabda, "Jahannam itu dilebihkan enam puluh tujuh bagian, yang semuanya seperti itu panasnya." (Diriwayatkan Al-Bukhari dan Muslim). Dari Ibnu Mas'ud, dari Nabi saw, beliau bersabda: Yu'taa bijahannama yaumaidzin lahaa sab'uuna alfa zimaamin ma'a kulli zimaamin sab'uuna alfa malakin yajurruunahaa." "Jahannam didatangkan pada hari itu ia memiliki tujuh puluh ribu belenggu, serta setiap belenggu dijaga 70.000 malaikat yang menyeretnya." (HR Muslim). (Talbis Iblis, hal 341-342). Dari Al-Junaid bin Muhammad, dia berkata, "Kemarin ada seseorang yang ingin bertemu denganku, yang berasal dari Bustham. Dia bercerita tentang Abu Yazid Al-Busthami yang pernah berkata, "Ya Allah, seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu bahwa Engkau akan mengadzab seseorang dari hamba-Mu dengan api neraka, maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku." Komentar Ibnul Jauzi, "Dari semua pernyataannya ini bisa dilihat secara jelas bagaimana keburukan perangainya. Terutama bualannya yang terakhir, sangat nyata kesalahannya, yang bisa dilihat dari tiga segi: 1. Tentang perkataannya, "Seandainya sudah ada dalam pengetahuan-Mu", kita sudah tahu bahwa Allah pasti akan mengadzab makhluk dengan api neraka, dan Allah telah menyebutkan sebagian nama-nama makhluk itu, seperti Fir'aun dan Abu Lahab. Maka bagaimana mungkin dikatakan "Seandainya", jika sudah ada kepastian dan keputusan? 2. Tentang perkataannya, "Maka agungkanlah penciptaanku, agar dengan keberadaanku Engkau tidak mengadzab selainku", berarti dia juga berbelas kasihan terhadap orang-orang kafir. Masih mendingan jika dia berkata, "Agar aku dapat membela orang-orang Mukmin." Yang pasti, bualannya itu merupakan kelancangan terhadap rahmat Allah. 3. Dia tidak tahu ketetapan Allah terhadap api neraka atau terlalu merasa yakin terhadap kesabaran dirinya. Padahal kedua-duanya tidak ada dalam dirinya. (Talbis Iblis, hal 246, terjema­hannya --Perangkap Syetan-- Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cet I, hal 288). Ibnul Jauzi mencontohkan bualan sufi lain lagi sebagai beri­kut: Ibnu Aqil pernah menuturkan dari Asy-Syibli (tokoh sufi), bahwa dia berkata, sesungguhnya Allah telah berfirman: "Dan kelak Rabbmu memberikan karunia-Nya kepadamu, lalu (hati) kamu menjadi puas." (Ad-Dhuha: 5). Demi Allah, Muhammad saw tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya." Kemudian dia (Asy-Syibli) berkata, "Sesungguhnya Muhammad memintakan syafa'at bagi ummatnya, lalu aku memintakan syafa'at setelah beliau, bagi orang-orang yang ada di dalam neraka, se­hingga di sana tidak menyisa seorangpun." Ibnu Aqil berkata, "Anggapan Asy-Syibli yang pertama tentang Rasulullah saw (tidak ridha karena di dalam neraka ada seorang dari ummatnya) adalah dusta, karena beliau ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang yang jahat. Dalam hubungannya dengan khamr (minuman keras) saja beliau sudah melaknat sepuluh orang. Maka bagaimana mungkin ada anggapan bahwa beliau tidak ridha terhadap adzab yang dijatuhkan kepada orang-orang dzalim? Tentu saja ini anggapan yang salah dan menunjukkan kebodohan (tokoh sufi tersebut) terhadap syari'at. Bualannya (Asy-Syibli-tokoh sufi) bahwa dia bisa memintakan syafa'at bagi semua orang, yang berarti melampaui Rasulullah saw, jelas merupakan kekafiran. Sebab selagi orang memastikan dirinya termasuk penghuni surga, maka dia justru menjadi penghuni neraka. Lalu bagaimana mungkin dia membual dan memberikan kesaksian atas dirinya, bahwa kedudukannya lebih tinggi daripada kedududukan Nabi dan bahkan melebihi kapasitas seorang Nabi yang memintakan syafa'at? Ibnu Aqil berkata, yang mungkin aku punyai untuk melibas para ahli bid'ah adalah mulutku dan hatiku. Seandainya kemampuanku meluas ke dalam pedang pastilah aku aliri bumi dengan darah orang. (Talbis Iblis, hal 248, terjemahannya hal 290). Diriwayatkan dari Abul Abbas bin Atha', dia berkata, "Aku membaca Al-Quran, namun tidak kutemukan keterangan di dalamnya bahwa Allah menyebutkan seorang hamba, memujinya dan menimpakan cobaan kepadanya. Maka aku memohon kepada Allah agar Dia menimpakan cobaan kepadaku. Tak seberapa lama setelah itu, aku kehilangan duapuluh orang anggota keluarga, semuanya meninggal dunia." Bahkan, menurut kisahnya, hartanya juga ludes, tak seorangpun keluarganya yang masih hidup dan dia menjadi gila. Ketika dia sudah sembuh, yang pertama kali dia ucapkan adalah: "Benar apa yang kukatakan. Rupanya Engkau (Allah) telah menimpakan cobaan kepadaku secara semena-mena. Aku harus menanggung kehendakMu. Namun sangat mencengangkan, karena aku masih bisa bersabar." Ibnul Jauzi berkomentar, "Karena kebodohanlah yang mendorong Abul Abbas (orang sufi) memohon cobaan atas dirinya. Berarti dia merasa hebat dan kuat. Yang seperti ini merupakan tindakan yang amat buruk. Apa yang dia katakan terhadap Allah sama sekali tidak layak." Abul Hasan Ali bin Ibrahim Al-Hushri (orang sufi) berkata: "Sejak lama aku tidak berlindung dari syetan jika aku hendak membaca Al-Quran. Karena siapakah syetan yang berani mendekati firman Allah?" Komentar Ibnul Jauzi, "Tentu saja perkataannya ini bertentangan dengan firman Allah yang memerintahkan: "Apabila kamu membaca Al-Quran, hendaklah kamu meminta perlindun­gan kepada Allah dari syetan yang terkutuk." (An-Nahl: ayat 98)." (Talbis Iblis, hal 249, terjemahannya, hal 290). Demikianlah sebagian dari bualan orang sufi yang diriwayatkan dan dikomentarai oleh Ibnul Jauzi, yang pada teks aslinya diri­wayatkan dengan nama-nama periwayatnya sebagaimana yang biasa diterapkan dalam periwayatan hadits yang disebut sanad. Problema di masyarakat, nyleneh pun dianggap saleh Kata-kata orang sufi itu secara sekilas menunjukkan kekhusyu­'an, keikhlasan, ketawadhu'an; namun hakekatnya justru merupakan bualan yang sangat jauh dari ajaran Islam, bahkan menentang ayat-ayat Allah SWT. Di sinilah salah satu bentuk kerancuan sufisme yang menjauhkan Islam dari pemahaman yang benar, namun sekaligus menjerat orang untuk tercebur dalam kesesatannya tanpa terasa, bahkan menganggap bahwa mereka telah masuk pada tahapan kesalehan. Celakanya, label kesalehan itupun disandangkan kepada orang sufi, sehingga orang sufi diidentikkan dengan orang saleh, lantas tahap lebih atasnya lagi adalah wali, yang kadang tingkahnya aneh-aneh, atau nyleneh, atau bahkan sangat melanggar syari'at pun tetap mereka anggap saleh. Karena wali telah mereka anggap di luar jangkauan orang awam, hingga keanehannya itu justru menandakan kewaliannya, menurut mereka. Kesesatan telah mereka warisi dari generasi ke generasi, hingga kadang-kadang menyeret orang intelek, yang akibatnya akan lebih menyeret banyak orang lagi. Contoh nyata, seorang profesor bernama Dawam Rahardjo mengatakan bahwa Gus Dur (Abdurrahman Wahid) adalah wali dan sangat brilliant sekali. Ungkapan Profesor Dawam Rahardjo itu bukan hanya diucapkan di kalangan terbatas, namun disiarkan secara nasional, karena disiarkan oleh televisi swasta yang mewawancarainya, yakni ANteve, Selasa pagi 26 Oktober 1999M/ 16 Rajab 1420H. Dalam wawancara itu, Profesor Dawam Ra­hardjo selaku mantan atasan Gus Dur, menurut pewawancara ANteve, ditanya atau dimintai komentar-komentarnya dengan adanya Gus Dur terpilih sebagai presiden Indonesia yang ke-empat, pekan lalu (20/10 1999), yang kemudian siang itu (26/10 1999) akan ada pengumuman tentang susunan kabinet dari Presiden Gus Dur. Kenapa ungkapan Prof Dawam Rahardjo --bahwa Gus Dur itu wali-- di sini dipersoalkan? Ini sekadar contoh soal, bahwa orang yang berbicara tentang Al-Quran dengan sangat ngawur seperti Gus Dur, ternyata dinyata­kan secara terang-terangan oleh seorang profesor, sebagai wali dan sangat brilliant sekali. Apa alasan Profesor Dawam rahardjo menggelari Gus Dur sebagai wali? Di antaranya Profesor Dawam Rahardjo beralasan, Gus Dur belajar Bahasa Inggeris cepat sekali, dan pidatonya dengan bahasa Inggeris bagus sekali. Apa kaitannya antara bagusnya pidato bahasa Inggeris seseorang denga kewalian? Hanya profesor Dawamlah yang mungkin bisa menjawab. Mestinya, kewalian yang disandangkannya itu lebih pantas dikaitkan dengan bagaimana orang yang digelari wali itu dalam memahami dan mengamalkan Al-Quran. Coba kita simak, satu bukti nyata sebagai berikut: Abdurrahman Wahid alias Gus Dur Ketua Umum PBNU (Pengurus Besar Nahdlatul Ulama) menulis artikel berjudul Antara Asas Islam dan Asas Pancasila di koran Media Indonesia, Rabu 17 Maret 1999, halaman 6. Di antaranya Abdurrahman Wahid menulis: "Bahkan, Allah memerintahkan manusia untuk beragam agama, "Bagimu agamamu dan bagiku agamaku" (lakum dienukum wa liya dien). Bahkan, dalam hal perbedaan agama, kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan. "Bagi kami amal perbuatan kami bagi kamu amal perbuatan kamu." (Walanaa a'maalunaa walakum a'maalukum)." Demikian petikan tulisan Abdurrahman Wahid/ Gus Dur. Tulisan itu mari kita cermati, apakah memang Gus Dur pantas digelari wali dari segi kealimannya tentang ayat-ayat Al-Quran. Tentang lakum dienukum wa liya dien, (bagimu agamamu, dan bagiku agamaku); apakah benar itu suruhan Allah untuk beragam agama? Kalau cara memahaminya begitu, seperti pemahaman Gus Dur itu, maka berarti orang-orang kafir pun akan masuk surga, karena mengikuti perintah Allah untuk beragam agama. Kemudian Gus Dur juga menyamarkan ayat 139 Surat Al-Baqarah, "Wa lanaa a'maalunaa wa lakum a'maalukum (bagi kami amal perbuatan kami, dan bagi kamu amal perbuatan kamu) dengan semaunya, dengan ungkapan: "Kita diperintahkan berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam hal perbuatan." Benarkah surat Al-Baqarah ayat 139 itu merupakan perintah agar berbeda keyakinan, tetapi boleh bersama-sama dalam perbuatan? Kita simak Tafsir Ibnu Katsir: "Lanaa a'maalunaa wa lakum a'maalukum" (Bagi kami amalan kami dan bagi kamu amalan kamu" artinya kami berlepas diri dari kamu sekalian (barooun minkum) dan dari apa yang kalian sembah, sedang kalian lepas-diri dari kami. Sebagaimana Allah berfirman dalam ayat yang lain --QS Yunus/ 10:41-- (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid I, halaman 235), sebagaimana firman Allah Ta'ala --QS Al-Kafirun/ 109: 1-6). Juga QS Al-Mumtahanah/ 60:4: "Sesungguhnya kami berlepas-diri dari kamu dan dari apa yang kamu sembah selain Allah, kami ingkari (kekafiran)mu dan telah nyata antara kami dan kamu permusuhan dan kebencian buat selama-lamanya sampai kamu beriman kepada Allah saja." (QS Al-Mumtahanah/ 60:4) (Tafsir Ibnu Katsir, Jilid 2, halaman 509). Betapa jelasnya keterangan Ibnu Katsir, mufassir yang diakui Dunia Islam itu dalam masalah ini, dan betapa jauhnya penyamaran yang dilakukan Abdurrahman Wahid yang pernah jadi juri Festival Film Indonesia itu. (Lihat: Hartono Ahmad Jaiz, Bahaya Pemikiran Gus Dur, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, cetakan kelima, Mei 1999, halaman 41-44). Pantaskah seorang Profesor Dawam Rahardjo menjuluki Gus Dur yang telah menafsiri Al-Quran dengan ro'yu (pendapat) yang sangat melenceng --ditimbang dengan tafsir yang diakui Dunia Islam-- itu sebagai wali yang brilliant (sangat cerdas) sekali? Untuk mengatakan bahwa seseorang itu brilliant sekali atau cerdas sekali, bila yang mengatakan itu seorang profesor, sebenarnya sudah layak dipercaya. Tetapi, berhubung perkataan sang profesor yang menggelari Gus Dur sebagai wali itu terbukti hanya kata-kata tak bermakna, maka kini perlu dibuktikan pula, benarkah Gus Dur itu brilliant sekali seperti yang dikatakan Profesor Dawam Rahardjo? Dalam kasus yang berkaitan dengan kondisi dan situasi saat sang profesor itu diwawancarai (26/10 1999), tersebar berita bahwa Gus Dur pada awal pemerintahannya, sebagai presiden Indone­sia, ia mengatakan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel. Sedang untuk hubungan diplomatik, belum dibuka hubungan. Dalam kondisi ekonomi dan keamanan yang masih sangat belum mantap, istilahnya masih krisis, ditambah hubungan antar agama di Indonesia sendiri terjadi bunuh-bunuhan antara Muslimin dan orang Kristen ataupun Katolik seperti di Ambon dan Maluku Tenggara, bahkan di Jakarta seperti kasus Ketapang Jakarta Pusat, masih merupakan dengan Israel. Semua orang tahu, Israel itu musuh orang Islam sedunia, karena Israel masih mengangkangi Masjidil Aqsha, tempat suci ke-tiga bagi ummat Islam sedunia. Juga Israel adalah pembantai yang amat sadis terhadap ummat Islam, baik di dalam masjid sedang shalat maupun di luar, penjajah yang sangat licik, dan pencaplok wila­yah-wilayah Palestina. Dalam hal berdagang atau berhubungan dengan masyarakat Islam, Israel itu sangat curang sambil meme­rangi Islam. Kita simak bukti dari pengamatan seorang yang cukup terpercaya dalam kasus ini sebagai berikut: Dr Hidayat Noer Wahid pengamat Timur Tengah mencontohkan ting­kah Yahudi Israel. Dengan dibukanya kedutaan Israel di Mesir, ternyata Yahudi bisa menekan hingga mampu menghapus ayat-ayat Al-Quran yang mengecam Yahudi di pelajaran sekolah. Menghapus peta Palestina, hingga adanya hanya Israel. Yahudi mendukung penggala­kan turisme, namun turis Yahudi yang datang (ke Mesir) hanya gembel, hingga tak menambah pendapatan bagi Mesir. Malahan 52 orang Yahudi yang ketahuan masuk ke Mesir memakai paspor Belanda terbukti semuanya mengidap AIDS. Dari segi pertanian, Israel menjual pupuk ke Mesir, namun tahu-tahu akibatnya tanah jadi tandus. Itu di samping sampo Israel yang bikin botak rambut, dan tanaman yang didatangkan dari Israel menyebarkan hama. (H Hartono Ahmad Jaiz, Bila Hak Muslimin Dirampas, Pustaka Al-Kautsar Jakarta, 1994, halaman 99-100). Untuk memberi gambaran latar belakang, bagaimana sikap ummat Islam Indonesia berhadapan dengan orang-orang tertentu yang pro Zionis Israel, kita simak kasus film propaganda Yahudi --Zionis Israel-- berjudul Schindler's List tahun 1994 yang ditolak keras oleh para tokoh Islam, namun ada orang-orang tertentu yang membe­la film Zionis Yahudi Israel itu, sebagai berikut: Contoh kecil, dalam kasus pro kontra tentang film propaganda Yahudi, Schindler's List, tercatat nama-nama pembela film Zionis itu. Setidaknya, yang telah menyuara setuju untuk diedarkan adalah Abdurrahman Wahid (Gus Dur), Umar Khayam (dua budayawan ini diwawancarai ANteve di rumah sakit, Abdurrahman Wahid dioper­asi matanya namun sempat menyuarakan persetujuan) dan Profesor Dawam Rahardjo yang dimuat Republika. Mereka itu dinilai oleh KH Hasan Basri (Ketua Umum MUI --Majelis Ulama Indonesia) sebagai orang-orang yang berpikiran bebas, sampai pendapat yang aneh-aneh sekalipun. (Ibid, 1994, hal 96-97). Pembaca bisa menilai, seberapa brilliant-nya Gus Dur yang kini mempresideni penduduk Indonesia yang berjumlah 210 jutaan jiwa yang hampir 90% Muslim ini. Apakah pupuk Israel yang bikin tandus tanah, sampo Israel yang bikin botak kepala, dan tanaman-tanaman yang diekspor dari Israel dengan menyebarkan hama, serta turis-turis gembel dari Israel yang semuanya ternyata mengidap penyakit paling berbahaya dan tak bisa disembuhkan yakni AIDS itu merupakan barang-barang dagangan yang sangat diperlukan oleh 210 juta penduduk Indonesia yang mayoritas Muslim ini? Belum lagi upaya menghapus ayat-ayat Al-Quran dari kurikulum sekolah yang Zionis tekankan. Brilliant sekalikah orang yang awal-awal kebija­kannya justru tidak punya pertimbangan pasar sama sekali itu? Dari sisi lain, mari kita cermati sosok Gus Dur yang dia itu presiden, kiai, dan orang terkenal secara internasional. Dalam hal memandang Israel yang menjajah dan mencaplok tanah-tanah Palestina, Gus Dur selaku presiden mesti merujuk pada undang-undang dasar dan perundangan serta peraturan yang dipakai di Indonesia. Di antaranya ditegaskan dalam Mukaddimah Undang-undang Dasar 1945 bahwa "segala bentuk penjajahan harus dihapuskan." Orang yang faham betul tentang kepenjajahan Israel terhadap Palestina dan tentang sikap Indonesia seharusnya, di antaranya adalah Menteri Luar Negeri Ali Al-Atas yang lalu. Bisa kita simak sikapnya sebagai penanggung jawab politik luar negeri sampai menjelang kepemimpinan Gus Dur, sebagai berikut: Dalam acara dengar pendapat dengan Komisi I DPR RI, 5 Juli 1999, Menlu Ali Al-Atas menegaskan, Indonesia menolak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, negara Israel merupakan negara kolonial, sehingga pembukaan hubungan diplomatik dengan Israel merupakan pelanggaran terhadap konstitusi (UUD 1945). (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Harian Republika, Jakarta, Jum'at 29 Oktober 1999M/ 19 Rajab 1420H, halaman 6). Lantas, bagaimana seharusnya sebagai figur kiai atau tokoh Islam. Kita simak ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits yang sangat banyak mengecam Yahudi Bani Israel karena tingkahnya yang jahat, curang, paling loba sedunia, sombong, berkhianat, berbuat makar dan sebagainya. Dan kita lihat sejarah Nabi Muhammad SAW, bagaimana Nabi SAW memperlakukan Yahudi Bani Israel. Nabi SAW mau berjanji damai dengan Yahudi, hingga ada ikatan janji antara Yahudi dan Muslimin. Namun kemudian orang-orang Yahudi berkhia­nat, bahkan tetap memusuhi Muslimin, maka Nabi SAW mengadakan pengusiran terhadap Yahudi Bani Qainuqa' (setelah perang Badr 2 H), pengusiran Yahudi Bani Nadhir setelah perang Uhud 3 H. Selanjutnya, pengkhianatan dan permusuhan yang paling parah dilakukan oleh Yahudi Bani Quraidhah, maka seluruh lelaki dewasa Yahudi Bani Quraidhah selain anak-anak dan perempuan dihukum bunuh semua/ potong leher, akibat ganasnya pengkhianatan terhadap Muslimin dan penyerangan terhadap Muslimin secara khianat. Keber­angkatan untuk menyerbu Bani Quraidah (th 5 H) itu sendiri langsung dibangkitkan dan dikomandoi oleh Malaikat Jibril dengan barisan malaikat, ketika Nabi SAW baru saja meletakkan senjata dari Madinah. Peristiwa itu setelah perang Khandaq. Ada peristiwa terkenal dalam keberangkatan untuk menyerbu Bani Quraidhah yang kemudian Muslimin mengepungnya sampai 15 hari, hingga Yahudi khianat itu menyerah. Dalam perjalanan, Malaikat Jibril berjalan dalam sebuah prosesi para malaikat, sementara Rasulullah Saw membuntuti di belakangnya beserta orang-orang Muhajirin dan Anshar. Saat itu beliau bersabda kepada para saha­bat: "Laa yusholliyanna ahadukumul 'ashro illaa fii Banii Quraidhata" "Janganlah sekali-kali seseorang di antara kalian shalat ashar kecuali di Bani Quraidhah." (HR Al-Bukhari /946 dari Ibnu Umar, Muslim, Ibnu Hibban, Al-Baihaqi, shahih). Seketika itu pula mereka memenuhi perintah beliau dan bangkit menuju Bani Quraidhah. Mereka masuk waktu ashar ketika masih di perjalanan. Sebagian ada yang berkata, "Kami tidak akan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah seperti yang diper­intahkan kepada kita." Sehingga mereka mengerjakan shalat ashar itu setelah shalat isya'. Sementara yang lain ada yang berkata, "Yang beliau maksudkan dari kita bukan itu tetapi agar kita segera keluar, karena itu mereka melakukan shalat ashar di tengah perjalanan, tetapi beliau tidak menegur satupun di antara dua golongan ini. Para fuqaha' saling berbeda pendapat antara dua golongan ini. Golongan pertama berkata, mereka yang mengakhirkannya adalah yang benar. Sekiranya kami bersama mereka, tentu kami akan mengakhir­kannya seperti yang mereka lakukan dan kami tidak akan mengerja­kan shalat ashar kecuali setelah tiba di Bani Quraidhah, karena patuh kepada perintah beliau dan meninggalkan ta'wil yang berten­tangan dengan dhahir. Golongan lain berkata, "Mereka yang shalat ashar pada waktunya di tengah jalan dan yang lebih dahulu pergi adalah orang-orang yang mendapatkan fadhilah. Mereka bersegera melaksanakan perintah beliau dan segera mencari keridhaan Allah dengan shalat pada waktunya, kemudian mereka bersegera menghadapi musuh. Jadi, mereka mendapatkan fadhilah jihad, fadhilah shalat pada waktunya, dan memahami apa yang dimaksudkan dari perintah tersebut." (Ibnu Qoyyim Al-Jauziyah, Zaadul Ma'aad, jilid III, halaman 118-120). Setelah pengepungan terhadap benteng Bani Quraidhah berlang­sung 15 hari, dan Nabi SAW menawarkan 3 syarat namun tidak ada yang dimaui oleh Bani Quraidhah, kemudian kaum Yahudi Bani Qu­raidhah yang sangat jahat permusuhannya terhadap Islam ini meny­erah. Ekskusi pun dilakukan, diserahkan Rasulullah SAW kepada Sa'd bin Mu'adz, yaitu hukuman bunuh/ dipenggal lehernya bagi setiap laki-laki Bani Quraidhah, sedangkan anak-anak dan wanita dijadikan tawanan, dan harta benda mereka dibagi. Lalu nabi SAW bersabda kepada Sa'd, "Engkau telah memutuskan tentang diri mereka dengan hukum Allah dari atas langit yang tujuh." (Zaadul Ma'aad, jilid III, halaman 122). Sebelum eksekusi, ada beberapa orang di antara mereka yang masuk Islam, sedangkan Amr bin Sa'd, salah seorang pemimpin Bani Quraidhah melarikan diri dan tidak diketahui ke mana perginya. Sebelumnya ia tidak mau bergabung dengan mereka untuk melanggar perjanjian. Rasulullah SAW memerintahkan untuk membunuh setiap lelaki (dewasa) yang pisau cukur telah ditarik atas (kumis)nya, adapun yang belum tumbuh (kumis), maka dimasukkan ke golongan anak-anak (tidak dibunuh). Lalu digalilah parit-parit untuk mereka di pasar Madinah, dan dipenggallah leher-leher mereka, jumlahnya antara 700 sampai 900 orang. Tidak ada seorang perem­puan pun yang dibunuh kecuali satu wanita yang dipenggal leher­nya, karena dia pernah melemparkan batu penggilingan ke kepala Suwaid bin Ash-Shamit hingga meninggal dunia. Mereka digiring ke parit-parit serombongan-serombongan... (Zaadul Ma'aad, halaman 123). Perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Qainuqa' terjadi setelah perang Badr, perang (pengusiran terhadap Yahudi) Bani Nadhir setelah perang Uhud, dan perang (pembunuhan seluruh lelaki dewasa Yahudi pengkhianat) Bani Quraidhah setelah perang Khandaq. Permusuhan Yahudi terhadap ummat Islam dari awal sangat kerasnya, hingga Nabi SAW langsung dikomandoi oleh malaikat Jibril dalam keberangkatannya menuju ke Bani Quraidhah. Hadits tentang perang terhadap orang-orang Yahudi Bani Quraid­hah dan penawanan para wanita serta anak-anak mereka, diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab Al-Maghazi (Fathul Bari, 7/475 no. 4122) dan Muslim dalam bab Hukum orang yang memerangi dan mengingkari janji, dari Aisyah, (nomor 1154 Mukhtashar Al-Mundziri), dikeluarkan pula oleh Ibnul Qoyyim Al-Jauziyah dalam Zaadul Ma'aad (3/ 129). Dalam masa sekarang pun, menghadapi Israel yang menjajah, membantai, dan mencaplok tanah-tanah Palestina, dan menguasai Masjidil Aqsha tempat suci yang ketiga setelah Makkah dan Madinah bagi Muslimin sedunia itu telah difatwakan oleh para ulama secara internasional. Bahkan pemerintah Indonesia sendiri ikut pula memfatwakan masalah Israel dalam kaitannya dengan Palestina itu. Kita simak bukti berikut: Profesor Ibrahim Hosen (kini Ketua Komisi Fatwa MUI --Majelis Ulama Indonesia) selaku wakil menteri agama Indonesia menandatan­gani Fatwa Ulama Internasional tentang haramnya mengakui dan berdamai dengan Yahudi Israel. Tandatangan utusan Indonesia itu terpampang paling jelas dalam dokumen yang dibukukan dengan judul Fatwa 'Ulama' Al-Muslimin bitahriimit Tanaazuli 'an ayyi juz'in min Falasthien yang diterbitkan oleh Jam'iyyah Al-Ishlah Al-Ijtima'iyyah, Kuwait 1410H/ 1990M. Fatwa haramnya berdamai dengan Yahudi dan larangan mengakui Yahudi Israel itu disepakati oleh ulama pada Konferensi Negara-negara Islam di Pakistan 1968. Alasan haramnya berdamai dengan Israel, menurut fatwa ini, karena Yahudi Israel itu merampas dan menyerang, maka berdamai dengan perampas itu dilarang syari'at Islam. Sebab berarti menga­kui bolehnya perampas itu merampas, dan mengakui hasil rampasan­nya itu milik perampas. Maka tidak boleh orang Muslim berdamai dengan Yahudi yang melanggar hak itu. Dan hal itu akan memungkin­kan tetapnya mereka menjadi negara di bumi Muslimin yang disucikan. Bahkan wajib atas Muslimin semuanya untuk berjuang memboikot kekuatan mereka demi membebaskan negeri-negeri Palestina dan Arab dan menyelamatkan Masjidil Aqsha serta tempat-temat suci Islam lainnya dari tangan perampas. Seluruh Muslimin wajib berjihad untuk mengembalikan negeri-negeri itu dari perampas."(Fatwa Ulama' Al-Muslimin..., hal 71, dan copian teks aslinya di halaman 73) (Lihat Harian Pelita, Jakarta, Selasa 21 Februari 1995/ 21 Ramadhan 1415H, halaman 5). Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya dikeluarkan oleh Muktamar Ulama Palestina yang pertama, Januari 1935, mengharamkan penjua­lan tanah Palestina kepada Israel, karena sama dengan memperlan­car pengusiran ummat Islam oleh Israel. Maka penjual tanah itu dihukumi tidak boleh dishalati dan dikubur di pekuburan Muslimin, dan selama hidupnya wajib diboikot. (Al-Quds, 20 Syawal 1353H/ 26 Desember 1935M, tertanda Muhammad Amin Al-Husaini, Mufti Al-Quds dan Ketua Majlis Tinggi Islam, disertai 7 mufti lainnya dan hampir seratusan hakim agama). Fatwa-fatwa lainnya, di antaranya fatwa Ulama Najd, fatwa Syeikh Rasyid Ridha, fatwa Lajnah Fatwa al-Azhar 1956 tentang haramnya berdamai dengan Israel dan wajib berjihad. Dan Fatwa Syeikh Al-Azhar Hasan Ma'mun, intinya: "Bertemanan dan saling mengadakan hubungan perjanjian yang diadakan orang-orang Muslimin dengan negara-negara lain yang non Islam itu boleh dari segi syari'ah apabila untuk kemaslahatan kaum Muslimin. Adapun kalau hal itu untuk mendukung negara yang memusuhi negeri Islam seperti Yahudi yang memusuhi Palestina, maka itu menguatkan bagi musuh, mengakibatkan berlanjutnya dalam permusuhan terhadapnya (negeri Islam), dan barangkali (melanjut­kan) dalam memperluas di dalam (wilayah)nya pula. Maka yang demikian itu tidak boleh secara syari'at (Islam)." (Hasan Ma'mun, Syeikh Universitas Al-Azhar, Mufti Diyar Mesir, Fatwa 'Ulama' Muslimin, hal 63-66). Segi yang lain, Gus Dur sebagai tokoh yang hubungannya dengan internasional, tentunya perlu mempertimbangkan data dan fakta. Seperti yang ditulis Adian Husaini, ditegaskan: "Dengan Kasat mata, Israel memang masih menjadi negara penjajah, karena menca­plok wilayah Palestina dan masih belum memenuhi resolusi PBB (Perserikatan Bangsa-Bangsa) 242 dan 338 yang memerintahkan Israel keluar dari wilayah Pendudukan tahun 1967. Karena itulah, maka Indonesia tidak membuka hubungan diplomatik dengan Israel. (Republika, 29/10 1999). Semuanya itu sebenarnya sudah jelas, seharusnya bagaimana sikap yang harus diambil. Namun jauh-jauh hari sebelum jadi presiden, Gus Dur ketika diadakan dialog di TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) 24 Mei 1999, Gus Dur selaku deklarator PKB (Partai Kebangkitan Bangsa) dan Ketua Tanfidziyah (eksekutif) Jami'iyah NU (Nahdlatul Ulama --satu organisasi Islam yang sering disebut tradisional) menegaskan, Indonesia perlu membuka hubungan diplomatik dengan Israel. Alasannya, Indonesia mengakui Uni Soviet (Rusia) dan RRC sebagai negara. Padahal, kedua negara itu menganut atheisme. "Israel itu masih mengakui Tuhan, Anda tidak mau mengakui. Siapa yang bodoh," kata Gus Dur bersemangat, ketika itu. (Adian Husaini, Menimbang Hubungan Dagang RI-Israel, Republika, 29/10 1999, hal 6). Ungkapan Gus Dur yang --kalau tak salah-- telah dua kali disi­arkan TPI (karena siarannya diulang lagi waktu itu) dan dikutip Adian ini ketika Gus Dur jabarkan sekarang dengan akan membuka hubungan ekonomi dengan Israel, dalam bahasa ndeso (desa)nya namanya ucapan gebyah uyah (menyama ratakan, semua garam itu asin). Bahasa kotanya mungkin menggeneralisir dan rancu, bahasa mantiq (logika)nya mungkin menarik natijah/ konklusi/kesimpulan dengan qodhiyah/ unsur yang kurang syarat, hingga sekilas seperti benar, padahal salah dan rancu. Bahasa ushul fiqhnya, ia akan menarik garis dengan cara qiyas aulawi (ini yang begini saja boleh apalagi itu yang begitu maka lebih boleh lagi) namun qiyas/ perbandingan (analogi)nya itu kurang syarat alias qiyas ma'al fariq alias qiyas batil. Kenapa? Karena, hubungan antar manusia atau antar negara itu bukan sekadar: apakah yang akan dihubungi itu mempercayai Tuhan atau tidak. Tetapi ada kaitan-kaitan lainnya. Yang jelas-jelas anti Tuhan pun, kalau itu tidak memusuhi Islam, maka ummat Islam boleh berhubungan secara manusiawi seperti berdagang dan sebagainya, dan perlu adil, namun dilarang mengangkat mereka sebagai teman akrab, apalagi pemimpin. Bahkan kalau mereka yang kafir itu tunduk dalam kekuasan Islam, isitilahnya kafir dzimmi, maka dilindungi. Sampai Nabi SAW bersabda: Man aadzaa dzimmiyyan faqod aadzaani wa man aadzaanii faqod aadzallaah. (Rowahut Thobroni). Barangsiapa mengganggu/menyakiti dzimmi (non Muslim yang tunduk pada kekuasaan Islam) maka sungguh ia mengganggu saya (Muhammad), dan siapa mengganggu saya maka sungguh ia mengganggu Allah." (Diriwayatkan oleh at-Thabrani). Sebaliknya, kalau orang yang kafir atau atheis itu memusuhi Islam, maka namanya kafir harbi, yaitu orang kafir dan musuh Islam. Itu hitungannya bukan karena sakadar kekafirannya terhadap Tuhan, namun karena memusuhi itu. Perlu diketahui, orang muslim sendiri, bahkan sahabat Nabi SAW, yang pada dasarnya sebagai orang beriman dan memang ta'at, namun suatu ketika wajib diboikot oleh ummat Islam. Terkenal dalam ayat Al-Quran, al-hadits, dan sejarah Islam tentang kasus Ka'ab bin Malik, Hilal bin Umayyah, dan Murarah bin Rabi' yang diboikot oleh Nabi SAW beserta seluruh sahabat, termasuk keluar­ganya pun tak boleh melayaninya; gara-gara Ka'ab bin Malik dkk ini tidak ikut perang jihad (saat itu Perang Tabuk) padahal dalam keadaan segar bugar tanpa halangan. 50 hari mereka itu diboikot hingga menangis tiap hari, terasa bumi ini sesak, karena salamnya pun tidak boleh dijawab oleh ummat Islam. Setelah tobat dan penderitaannya memuncak dan berlangsung 50 hari, barulah Allah SWT membolehkan tegur sapa dan bergaul kepada Ka'ab dkk itu. (Lihat tafsir QS At-Taubah ayat 118.) Jadi, persoalan pokok boleh tidaknya berhubungan antar manu­sia, antar bangsa, atau antar negara, itu bukan sekadar memperca­yai Tuhan atau tidaknya. Memang tentang kepercayaan atau keyaki­nannya itu menjadi salah satu unsur yang diperhitungkan, tetapi tidak langsung hantam kromo atau menggebyah uyah seperti yang dikatakan Gus Dur itu. Setelah jelas bahwa logika Gus Dur itu jauh dari kebenaran, lalu dalam kenyataan, masih pula ia jauh lagi dalam hal perencanaan teknisnya. Yaitu, untuk membuka hubungan diplomatik dengan Israel, kini belum, tetapi untuk hubungan ekonomi, ya dibukalah. Kilah yang keluar dari mulutnya, di antaranya, karena tidak semua Yahudi Israel itu jahat. Dicontohkan, dia sendiri mendirikan lembaga Shimon Peres, dan punya teman-teman orang Yahudi, yang dia anggap baik-baik. Kilah Gus Dur itu sangat naif. Bisa diambil contoh, di dalam Islam, khamr (minuman keras) dan judi itu ada manfaatnya, tetapi mudharatnya/dosa besarnya lebih besar dibanding manfaatnya. (lihat QS Al-Baqarah: 219). Maka hukum finalnya, khamr dan judi itu haram, keji, dan termasuk perbuatan syetan, wajib dijauhi (lihat QS Al-Maa'idah/ 5:90-91). Bahkan Nabi SAW melaknat 10 orang yang berhubungan dengan khamr. La'anan Nabiyyu SAW fil khomri 'asyarotan: 'Aashirohaa wa mu'tashirohaa wa syaaribahaa wa haamilahaa wal mahmuulata ilaihi wa saaqiyahaa wa baai'ahaa wa aakila tsamanihaa wal musytariya lahaa wal musytaroota lahaa. "Rasulullah Saw melaknat tentang khamr, sepuluh golongan: 1 yang memerasnya, 2 yang minta diperaskannya, 3 yang meminumnya, 4 yang membawanya, 5 yangminta diantarinya, 6 yang menuangkannya, 7 yang menjualnya, 8 yangmakan harganya, 9 yang membelinya, dan 10 yang minta dibelikannya." (HR At-Tirmidzi dan Ibnu Majah). Bahkan lagi, orang yang menjual buah anggur kepada pihak yang sudah diketahui membuat khamr pun dilarang. Man habasal 'inaba ayyaamal qithoofi hattaa yabii'ahu min Yahuu­diyyin aw nashrooniyyin aw mimman yattakhidzuhu khomron faqod takhohhaman naaro 'alaa bashiirotin. "Barangsiapa menahan buah anggurnya pada musim-musim memetik­nya, kemudian dijual kepada seorang Yahudi atau Nasrani atau kepada tukang membuat arak, maka sungguh jelas dia akan masuk neraka." (HR At-Thabarani dalam Al-Awsath). (Itu Gus Dur bisa dipastikan telah faham). Lantas, bagaimana kalau Gus Dur membuka hubungan dagang antar Indonesia dengan Israel itu akan mengayakan Israel, yang dengan kekayaannya itu akan lebih gila lagi dalam menggencet Palestina khususnya, dan ummat Islam sedunia pada umumnya? Bukankah hal itu lebih buruk ketimbang sekadar menjual buah anggur kepada produser khamr? Bukankah itu berarti mempersenjatai musuh Islam untuk memerangi Islam? Kita bandingkan dengan kehidupan sehari-hari saja, biar agak mudah persoalannya. Kita ambil misal, seorang "anak gaul" (perilakunya bebas) telah dilarang oleh orang tuanya, "jangan sampai kamu kawin dengan gadis "Pojokan" (rumahnya di pojokan, misalnya) itu. Karena dia itu anak perampas tanah-tanah orang Islam, pembu­nuh, penipu, perampas masjid ummat Islam, masih mengidap AIDS lagi. Dan dia itu terlibat dalam semua kasus itu." Lalu si "anak gaul" ini tetap bersikap cengengesan, dan tetap akan mengadakan hubungan dengan gadis "Pojokan" tersebut. Ketika orang tuanya marah-marah, maka si "anak gaul" ini bilang: "Kan saya hanya bertemanan, Pak. Kalau untuk kawin sih, belum. Ini hanya bertemanan, masa' nggak boleh? Apakah kalau orang serumah itu menjadi perampok, tidak ada yang tidak merampok? Bayi-bayinya kan belum merampok? Jadi kita berhubungan dengan para perampok seisi rumah itu karena di sana masih ada bayi-bayi yang belum jadi perampok. Dan pula kita bergaul dengan perampok itu agar mereka tidak merampok kita, setelah kita nasehati." Sebagai orang tua yang baik, tentu wajib mengambil sikap terhadap anaknya yang sikapnya cengengesan dan ngotot untuk bergaul dengan perampok itu. Sebaliknya, kalau orang tua itu diam saja, atau bahkan mengiyakan, itu justru perlu dipertanyakan. Mungkin si orang tua ini sendiri memang tidak lurus, mungkin takut terhadap keganasan anaknya kalau mengamuk, atau mungkin punya utang (harta atau budi) dengan si perampok tersebut, dll. Walhasil, dari berbagai segi, tokoh terutama Presiden Abdur­rahman wahid dan Menteri Luar Negeri Dr Alwi Shihab yang ingin menyelenggarakan hubungan ekonomi dengan Israel itu terbukti sangat dangkal cara berfikir ataupun menimbang suatu persoalan. (Tentang dangkalnya pendapat Dr Alwi Shihab di samping ungkapan­ nya mengaburkan ajaran Islam dan menyakiti ummat Islam, bisa dibaca dalam buku Di Bawah Bayang-bayang Soekarno Soeharto, Tragedi Politik Islam Indonesia dari Orde Lama hingga Orde Baru, Darul Falah Jakarta, 1999, halaman 150-155). Maka batallah julukan wali, brilliant sekali dsb.nya itu, kalau tidak mau menyebut sebagai sebaliknya. Hanya saja, karena bagaimanapun beliau itu adalah orang yang berpengaruh, apalagi telah menjadi presiden, maka seorang dari kelompok yang sangat keras sikapnya terhadap Israel yaitu Mas Mutammimul Ula SH, setelah jadi anggota DPR, Meskipun demikian, masih agak mendingan sedikit ketimbang Pak Zarkasih Noer dari PPP (Partai Persatuan Pembangunan) yang sama-sama diwawancarai pagi itu, yang memang siang harinya kemudian Zarkasih Noer termasuk yang diumumkan sebagai menteri (tentu pagi itu ia sudah tahu bahwa dirinya akan diumumkan jadi menteri), yakni menteri koperasi, dalam jajaran kabinet yang disebut "Kabinet Persatuan Nasional". Zaman Presiden Habibi kabinet itu disebut "Kabinet Reformasi", sedang zaman Soeharto disebut "Kabinet Pembangunan", yang terakhir kabinet masa Soeharto itu hanya berumur 70 hari karena Soehartonya didemo para mahasiswa berhari-hari hingga turun dari jabatan kepresidenan yang ia istilahkan lengser keprabon, dan diserahkan kepada wakilnya, BJ Habibie. Masalah kurang kerasnya Mas Tamim dalam menggenjot gagasan Gus Dur tentang mau mengadakan hubungan dagang/ ekonomi dengan Israel ini sangat beda dengan seniornya dalam pergaulan seperti H Ahmad Sumargono. Sekalipun juga jadi anggota DPR namun Bang Gogon (Sumargono) dari awal tampak masih agak lantang dalam kasus akan adanya hubungan ekonomi dengan Israel itu. (Maaf Mas Tamim, ini sekadar ngitik-itik/ mengkilik-kilik, tapi boleh juga dipikirkan). Dan kemudian alhamdulillah, setelah agak ramai penolakan dan protes terhadap kemauan keras Gus Dur itu, khabarnya Mas Tamim bangkit pula menentang ketidakbijakan Presiden Gus Dur dan Menteri Luar Negeri Alwi Shihab tersebut. Kembali kepada persoalan awal, ada profesor yang menggelari tokoh dengan gelar wali dan dipuji karena dianggap brilliant sekali, itu pantas sekali dipertanyakan dan diragukan ungkapannya itu. Kalau profesornya saja seperti itu cara berfikirnya, dan orang yang digelari wali yang sangat brilliant saja seperti itu cara berfikir dan kebijaksanaannya, bisa kita bayangkan, bagaimana orang awamnya yang model mereka. Makanya tak mengherankan bila ajaran shufi yang sangat jauh dari Islam pun dengan mudah menyebar dan dipegangi oleh orang awam secara turun temurun, bahkan menjangkiti orang-orang yang disebut atau menyebut dirinya sebagai intelektual Muslim. Hal yang sangat dimaklumi adanya, sekaligus sebagai keadaan yang sangat perlu dihadapi dengan hikmah dan mau'idhah hasanah. Barangkali ada yang langsung bergumam dengan mengatakan, tulisan ini sendiri tidak menempuh jalan dengan hikmah dan mau'idhah hasanah, buktinya langsung menunjuk nama Profesor Dawam Rahardjo dan Gus Dur. Maaf, mereka berdua itu telah menyampaikan pendapat-pendapat tersebut di media massa umum, bahkan kemungkinan sekali jangkauannya lebih luas dari buku ini, yakni koran harian umum, dan televisi swasta yang menjangkau se Indonesia. Sehingga, kebatilan yang mereka umumkan lewat media massa secara luas itu perlu diumumkan pula kebatilannya, agar orang umum tahu bahwa itu batil. Dan sebaliknya, bila apa yang saya (penulis) kemukakan ini batil, maka saya pun akan menerima kebenaran, bila ada yang menjelaskannya dengan bukti-bukti/dalil bahwa pendapat saya ini batil, dan bahkan saya akan berterimakasih, karena kebatilan yang tersebar --akibat aneka kelemahan saya-- bisa terhapus. Di samping itu, penyebutan nama-nama tersebut adalah untuk membuktikan secara ilmiah tentang adanya kasus itu, hingga tidak berkadar sebagai karangan fiksi/ khayalan belaka. Karena, masalah ini adalah masalah yang menyangkut agama Islam, satu ajaran yang harus dipertanggung jawabkan di dunia dan bahkan sampai di akher­at kelak. SIMBOL-SIMBOL SHUFI Shufi memiliki lambang-lambang atau simbol-simbol di antara­nya: 1. Lambang dalam ibadah-ibadah: Orang-orang sufi mempercayai bahwa shalat, puasa, haji, dan zakat itu ibadah orang awam. Adapun mereka (orang sufi) maka menamakan diri mereka sebagai orang khas (khusus) atau khashatul khasah/ khawasus khawas (paling khusus). Oleh karena itu mereka memiliki ibadah-ibadah khusus. (Al-Fikrus Shufi, hal 61). Setiap kaum sufi membuat syari'at ibadah khusus untuk mereka seperti dzikir-dzikir khusus dengan gerakan-gerakan tertentu, berkhalwat (menyepi) dan punya aturan khusus tentang makanan-makanan. Mereka juga punya aturan khusus tentang pakaian, dan halaqah (lingkaran pertemuan) khusus. Di dalam Islam, ibadah itu untuk menyucikan jiwa (tazkiyatun nafs) dan membersihkan masyarakat. Tetapi di dalam tasawwuf, ibadah itu tujuannya untuk mengikatkan hati kepada Allah untuk menjumpaiNya secara langsung menurut pengakuan mereka, dan bersa­tu (meleburkan diri/fana') dengan Allah, mengambil yang gaib dari Rasul dan berkelakuan dengan akhlaq Allah, sehingga sufi mengatakan kepada sesuatu, "kun fa yakuun" (jadilah maka jadi), dan mengawasi rahasia-rahasia makhluk, melihat segala kekuasaan, dan mengelola/ merubah alam. Tasawwuf tidak memperdulikan perbedaan syari'at bikinan sufi dengan kenyataan syari'at Islam yang dibawa Nabi Muhammad saw. Maka narkotika, khamr (minuman keras), dan campur aduk (ikhtilath) antara perempuan dengan lelaki dalam acara-acara maulid dan halaqah-halaqah (lingkaran pertemuan) dzikir, semua (pelanggaran)nya itu tidak diperdulikan, karena wali sufi mempun­yai syari'at tersendiri yang dijumpai dari Allah secara langsung. Maka tidak diperdulikan, cocok atau tidak dengan syari'at Rasul Muhammad saw. karena masing-masing mempunyai syari'at. Syari'at Muhammad saw, menurut sufi, hanyalah untuk orang awam, sedang syari'at syeikh sufi untuk orang khawash/ khusus. (Al-Fikrus shufi, hal 61). 2. Tentang halal dan haram Demikian pula dalam urusan halal dan haram. Pengikut wihdatil wujud (manunggaling kawula gusti/ Tuhan bersatu dengan alam atau diri manusia, suatu kepercayaan tasawwuf yang telah sampai pada kemusyrikan) dalam sufisme menganggap tidak ada sesuatupun yang diharamkan bagi mereka, karena segala sesuatu itu adalah wujud yang satu. Oleh karena itu di antara mereka ada yang jadi pezina, dan pehomo seks, dan ada yang 'mendatangi' keledai terang-terangan siang hari. Dan di antara mereka ada yang mempercayai bahwa Allah telah menggugurkan beban-beban hukum terhadap mereka dan Allah menghalalkan kepada orang-orang sufi hal-hal yang diharamkan untuk orang lain. (Al-Fikrus Shufi, hal 62). 3. Dalam pemerintahan, kekuasaan, dan politik Adapun dalam hal pemerintahan, kekuasaan, dan politik, maka manhaj (jalan yang ditempuh) sufi adalah meniadakan bolehnya melawan keburukan dan melawan kekuasaan-kekuasaan. Karena Allah, menurut tuduhan mereka, menegakkan hamba-hamba dalam hal yang Dia kehendaki. 4. Dalam pendidikan Barangkali yang paling berbahaya dalam syari'at sufi ialah manhaj mereka (jalan yang mereka tempuh) dalam pendidikan, di mana mereka membujuk akal manusia, dan melenakan akal. Hal itu dengan memasukkan akal mereka ke dalam metode evolusi (bertahap), dimulai dengan menjinakkan, kemudian menakuti dan mengagungkan ajaran tasawwuf dan tokoh-tokohnya, kemudian dengan membuat kerancuan pemahaman (talbis/ pencampuradukan dan pemutar balikan yang haq dengan yang batil) atas pribadi seseorang, kemudian dengan mengarahkan ke ilmu-ilmu tasawwuf sedikit-demi sedikit, kemudian dengan mengikatkan pada tarekat, dan menutup semua jalan untuk keluar setelah itu. (Al-Fikrus Shufi, hal 62). KEPERCAYAAN TENTANG NUR MUHAMMAD ATAU HAKEKAT MUHAMMAD DAN WIHDATUL WUJUD Mustahil bagi kita untuk memahami apa yang dimaksud oleh orang tasawwuf dengan ucapan mereka tentang "Hakikat Muhammadiy­yah" atau "Nur Muhammad", kecuali dengan mengetahui aqidah mere­ka. Teori tasawwuf falsafi pada abad ke tiga belas Masehi telah sampai pada pendapat bahwa Allah ialah wujud yang berdiri ini, yang diperbarui, yang berubah, maka Dia yaitu langit, bumi, arsy, kursi, malaikat, manusia, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Dan dia itu lah yang azali dan abadi. Maha Suci Allah, jauh dari ucapan mereka (sufi falsafi), Dia Maha Tinggi dan Maha Besar. Mereka berbeda-beda dalam ucapannya. Kadang mereka katakan Dia itu ruh yang berjalan di dalam hal-hal yang wujud, dan mereka menyerupakan ini dengan dua hal yang berjalan bahwa Dia itu seperti aroma bunga dalam bunga, dan adanya roh dalam jasad yang hidup. Dan kadang-kadang mereka mengatakan, nafsu wujudil maujudat (adanya makhluk itu sendiri) ialah wujud Allah. Maka tidak ada dua dalam wujud, pencipta dan makhluk, tetapi makhluk itu sendiri adalah pencipta itu. Dan pencipta itu sendiri adalah makhluk itu. Kepercayaan batil yang demikian itu disebarkan kepada manusia oleh penggede-penggede tasawwuf dari ahli zindiq dan mulhid (murtad) seperti Ibnu 'Arabi, Al-Hallaj, Al-Jili, Ibnu Sab'ien, dan orang-orang yang model mereka. Orang-orang sufi itu dalam kitab-kitab mereka mengingkari orang yang bersaksi bahwa Allah Ta'ala itu adalah Tuhan yang Berdiri dengan SendiriNya Yang Maha Sempurna di atas Arsy yang Dia bangun. Dan itulah yang menjadi keyakinan ummat Islam tentang Tuhan SWT. (Al-Fikrus Shufi, hal 175). Ibnu 'Arabi dalam kitabnya, At-Tajalliyyaat, mengaku bahwa ia bertemu dengan tokoh-tokoh tasawwuf terdahulu dalam Barzakh (kubur) dan mendiskusikan/ membantah kepada mereka dalam hal aqidah Tauhid mereka (Yaitu Allah di atas Arsy dan mencipta makhluk), dan Ibnu Arabi menjelaskan, menyalahkan dan memberitahukan kepada mereka pada puncaknya bahwa laa maujud illallaah, (tidak ada yang wujud kecuali Allah), wa annallaaha wal 'abda syai'un waahid, (dan sesungguhnya Allah dan hamba itu adalah sesuatu yang satu). Dan mereka semuanya mengakui itu, semua itu ada di kitab At-Tajalliyyaat. (Al-Fikrus Shufi, hal 176). Yang penting, orang-orang tasawwuf itu menukil/ mengutip kepercayaan wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya makhluk dengan Tuhan) dari filsafat Platonisme, dan mereka mem­percayai dan menjadikannya sebagai hakekat sufisme dan sirril asror (rahasianya rahasia), dan itulah aqidah pengikut Islam menurut pengakuan mereka. Orang-orang Sufi menukil pendapat para filosof dalam teori mereka mengenai awal penciptaan. Para filosof kuno mengatakan "bahwa awal penciptaam itu adalah haba'/ debu (atom), dan perta­ma-tama yang wujud itu adalah "akal awal" yang dinamakan "akal kreator" (akal fa'aal). Dan dari "akal awal" ini tumbuh alam atas, langit-langit dan bintang-bintang, kemudian alam bawah... dst. (Al-Fikrus Shufi, hal 176). Teori filsafat kuno ini kemudian pada masa Ibnu Arabi (abad 13 M) ia nukil sendiri ke pemikiran sufi tetapi diganti nama, "akal fa''aal" yang disebutkan filosof kuno itu ia sebut "Haqiqat Muhammadiyyah" (Hakekat Muhammad). Maka sangkaan filosof bahwa awal kejadian itu adalah haba'/ debu (atom) --ucapan filosof sendiri-- lalu Ibnu 'Arabi menyebutnya awal kejadian itu adalah "hakekat Muhammad", dan menurut ungkapan Ibnu Arabi, awal ta'yi­naat (awal kejadian yang dibentuk dari atom). Ibnu Arabi berpan­jang kalam dalam hal ini, dan ia mengatakan bahwa "Hakekat Muham­madi" ini lah yang bersemayam di atas arsy Tuhan. Dan dari nur (cahaya) dzat inilah Allah menciptakan makhluk semuanya setelah itu. Maka malaikat, langit, dan bumi semuanya itu diciptakan dari Nur Dzat yang pertama, yaitu Dzat Muhammadi, menurut Ibnu Arabi, dan "aqal fa''aal" menurut pemikiran falsafi. Demikianlah, Ibnu Arabi mampu memindahkan barang murahan dan khayalan filsafat yang sakit, ke dunia Muslimin dan ke aqidah ummat Islam. Bahkan Ibnu Arabi menjadikan aqidah ilhadiyah (murtad, anti Tuhan) sebagai aqidah asasi/ pokok dasar yang untuk tempat berdirinya pemikiran sufi seluruhnya setelah itu. Dari rekayasa sufi mulhid (murtad) itulah maka kita tahu apa yang dimaksud oleh orang sufi falsafi tentang wihdatul wujud, bahwa menurut mereka Allah bukanlah Dzat yang nanti dilihat oleh orang-orang Mu'min di akherat dan bersemayam di atas Arsy. Tetapi Allah menurut mereka hanyalah wujud (alam) ini sendiri dengan seluruh tingkatan dan pertentangannya. Maka Allah menurut mereka adalah adanya wujud malaikat, syetan, manusia, jin, hewan, dan tumbuh-tumbuhan. Pengarang Al-Fikrus Shufi berkomentar, apabila kita telah tahu hakekat teori falsafah kafir yang dipindahkan oleh orang tasawwuf mulhid (murtad) ke Islam ini maka kita tahu setelah itu, apa yang dimaksud orang sufi tentang perkataan mereka mengenai " Hakekat Muhammadi" yang bersemayam di Arsy, dan menjadikan Nabi Muhammad SAW sebagai makhluk pertama sebelum adanya alam seluruhnya. Dan dialah yang bersemayam di atas Arsy. Dan dari Nur Muham­mad SAW itu Allah menciptakan seluruh alam, setelah itu, yaitu langit-langit, bumi, malaikat, manusia, jin, dan seluruh makhluk. Maka " Hakekat Muhammadi", menurut tuduhan mereka adalah bentuk sempurna yang baru bagi Dzat Tuhan yang tidak terlihat dengan dzatnya dan tidak terpisahkan dari wujud ini... Maka Nabi Muham­mad SAW menurut Ibnu Arabi dan syaikh-syaikh tasawwuf yang datang setelahnya, dialah Allah yang Mutajalli di atas Arsy, atau --katakanlah-- dia (Muhammad SAW) itu Allah yang dikecilkan (dalam bentuk kecil). Dan kepada dialah, kejadian segala makhluk yang ada ini bertumpu padanya, dan segala cahaya terbelah dari­nya, dan segala alam, dan segala yang ada... Dan Muhammad SAW itulah biji pertama bagi seluruh yang ada, maka dia seperti biji bagi pohon, dari biji itulah kemudian ada pokok, cabang, daun, buah, dan duri-duri. Maka demikian pula permulaan yang ada itu dengan adanya Muhammad SAW kemudian dari nurnya (Nur Muhammad) itu diciptakan Arsy, kursi, langit-langit, bumi, Adam dan keturunannya, dan cabang-cabang makhluk dan sete­lah itu berangsur-angsur adanya makhluk-makhluk yang diciptakan dari Nur Nabi Muhammad SAW. Maka semua yang ada ini menurut aqidah tasawwuf adalah sesuatu yang satu yang bercabang-cabang dari asal yang satu, atau katakanlah pohon yang satu yang berca­bang-cabang dari biji yang satu. (Al-Fikrus Shufi, hal 178). Dari berbagai uraian itu bisa disimpulkan, kepercayaan sufisme mengenai Nabi Muhammad SAW ada tiga tingkatan: 1. Orang-orang yang berpendapat dengan wihdatil wujud, menganggap bahwa Allah adalah dzat alam yang ada (dzatul maujudat), maka mereka menjadikan Rasul sebagai makhluk pertama. Lalu dari dia (Rasul) lah muncul makhluk semuanya, dan dia (Rasul) itulah tuhan yang bersemayam di atas Arasy. Inilah kepercayaan Ibnu Arabi dan orang-orang model dia (yang telah dikafirkan banyak ulama). 2. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada secara benar-benar (fi'lan), dan darinyalah terbelah cahaya-cahaya dan diciptakan makhluk semuanya. Tetapi mereka tidak mengatakan bahwa dzat rasul bersemayam di atas Arsy. 3. Orang-orang yang mengatakan bahwa Nur Muhammad adalah awal yang ada dan dialah yang paling mulia-mulianya makhluk, dan karena dialah Allah menciptakan alam seluruhnya, tanpa mereka jelaskan bahwa alam-alam telah dibuat dari nurnya, mereka hanya­lah mengatakan diciptakan alam ini karena Nur Muhammad. (Al-Fikrus Shufi, hal 180-181). Tasawwuf terpengaruh filsafat kuno dan kepercayaan Nasrani Tidak diragukan lagi bahwa orang-orang tasawwuf yang percaya seperti itu mengenai Rasululah SAW, mereka bukan hanya terpenga­ruh oleh teori filosof-filosof kuno tentang teori penciptaan dan pendapat mereka bahwa ciptaan awal itu dengan haba' / debu (atom), dan akal pertama, atau akal fa''aal (akal kreator)... tetapi mereka (orang tasawwuf) juga terpengaruh oleh apa yang dikatakan orang-orang Nasrani mengenai Nabi Isa. Dan tidak dirag­ukan lagi bahwa teori Nasrani mengenai Al-Masih itu terpengaruh pula dengan pendapat falasifah dalam hal "akal fa''aal" (akal kreator). Orang-orang tasawwuf telah dapat menukil / mengambil alih teori ini walaupun diambil dari kesamarannya secara filsafat, dan sulitnya mendalili dengan dalil mantiq (logika) yang bisa diteri­ma akal, dan dengan keringnya teori ini dari aqidah Islam yang jelas lagi mudah. Walaupun demikian (amburadulnya), namun orang tasawwuf dapat menjadikan kepercayaan (sesat dan syirik) ini menjadi akidah orang awam dan kebanyakan kaum Muslimin. Yang demikian itu karena dibuat ungkapan-ungkapan yang mudah, dan dalam syair yang mudah diucapkan dengan cepat seperti ucapan mereka: "Laulaaka laulaaka maa kholaqtul aflaak!! (Seandainya tidak karena kamu (Muhammad), seandainya tidak karena kamu (Muhammad) pasti Aku tidak menciptakan planet-planet/ alam ini). (Al-Fikrus Shufi, hal 192). Para muballigh di Indonesia, terutama orang sufi, hampir bisa dipastikan, mereka selalu mempidatokan bahkan mengkhutbahkan hadits palsu (laulaaka...) tersebut, dengan mereka sebutkan sebagai Hadits. Lebih-lebih di bulan Rabi'ul Awwal, atau ketika mereka memperingati Maulid Nabi SAW, suatu acara yang asalnya bikinan kaum Syi'ah itu. Pernah penulis menegur khatib yang berkhutbah membawakan hadits palsu tersebut pada tahun 1419H/1998M di suatu Masjid di dekat rumah di Jakarta, hingga tahun berikutnya, alhamdulillah dia tidak mengemukakannya lagi. Ahli Hadits Syeikh Nasiruddin Al-Albani rahimahullah (wafat Jumadil Akhir 1420H) menjelaskan, "Laulaaka lamaa kholaqtul aflaak itu statusnya adalah hadits maudhu' (palsu). As-Shaghani menyatakannya dalam kitab Al-Ahaditsul Maudhu'ah (Hadits-hadits palsu) halaman 7. Ibnu Asakir juga meriwayatkan hadits serupa yang telah dikeluarkan oleh Ibnul Jauzi dalam kitab Al-Maudhu'at (hadits-hadits palsu) seraya memastikan sebagai hadits maudhu' (palsu). Pemastian Ibnul Jauzi tersebut juga ditetapkan dan diakui oleh As-Suyuthi dalam kitab al-La'ali I/ 272. (Muhammad Nashiruddin Al-Albani, terjemah Silsilah Hadits Dha'if dan Maudhu', Gema Insani Press Jakarta, Jilid I, Hadits Nomor 282, hala­man 229-230). Syeikh Abdur Rahman Abdul Khaliq mengemukakan: "Suatu kali saya berkhutbah di masjid Nabawi (Madinah) pada sekitar tahun 1381M/1960M menjelaskan aqidah yang wajib mengenai Rasul SAW. Lalu seorang jama'ah haji yang sudah tua berdiri kepadaku dan berkata padaku: "Bukankah Allah Ta'ala berfirman: "Laulaaka laulaaka maa kholaqtul aflaak". Maka aku jawab padanya: "Ini (laulaaka...) bukan ayat Al-Quran, dan juga bukan hadits, sedangkan kepercayaan (yang terkandung pada)nya itu adalah syirik billah (menyekutukan Allah)!!" Lihatlah bagaimana kepercayaan (batil, kufur, sesat dan syirik) ini berjalan pada lisan-lisan manusia dengan ucapan sajak yang dikira oleh orang awam sebagai Al-Quran, padahal bukan. (Al-Fikrus Shufi, hal 194). IBNU ARABI DIHUKUMI KAFIR Ajaran Ibnu Arabi yang sangat menyimpang dari Islam itu banyak mempengaruhi ummat Islam. satu segi karena syair-syair bahkan kata-kata yang dituduhkan sebagai Hadits (padahal palsu) dibuat dengan ungkapan yang mudah dihafal dan enak didengar. Segi yang lain, karena ummat Islam merasa perlu menghormati Nabi SAW sedemikian rupa, sedangkan syair-syair dan adat yang disebarkan justru banyak yang berbau ajaran tasawwuf model Ibnu Arabi. Jauhnya kesesatan aqidah akibat tersebarnya faham Ibnu Arabi itu bukan hanya melanda ummat Islam awam, namun sampai ke orang yang disebut cendekiawan Muslim. Hingga seorang DR Nurcholish Madjid ketua Yayasan Wakaf Paramadina di Jakarta pernah mengemu­kakan pendapat, mengutip Ibnu Arabi, hingga mendapat tanggapan keras dari ummat Islam. Dr. Nurcholish Majid menjawab pertanyaan pada Pengajian "Paramadina" di Kebayoran Baru tanggal 23 Januari 1987. Perta­nyaan Lukman berbunyi: "Salahkah Iblis, karena dia tidak mau sujud kepada Adam, ketika Allah menyuruhnya. Bukankah sujud hanya boleh kepada Allah?" Dr Nurchalish Madjid, yang memimpin pengajian itu, menjawab --secara sambil lalu-- dengan satu kutipan dari pendapat Ibnu Arabi, dari salah satu majalah yang terbit di Damascus, Syria bahwa: "Iblis kelak akan masuk syurga, bahkan di tempat yang terting­gi karena dia tidak mau sujud kecuali kepada Allah saja, dan inilah tauhid yang murni." DR Nurchalish Madjid tidak memberi komentar apa-apa, setuju atau tidaknya dia sendiri, dengan ucapan Ibnu Arabi itu, tidak pula diterangkannya, siapa Ibnu Arabi itu. (Yayasan Islam Al-Qalam Ma'had Ad-Diraasaatil Islamiyyah Jakarta, Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid tentang Ibnu Arabi dan Syetan Masuk Syurga, 1407H, hal 1). Selanjutnya, Ma'had itu menjelaskan duduk soal kesesatan Ibnu Arabi, dan sejumlah ulama yang telah mengkafirkan, atau memurtad­kannya, akibat tulisan-tulisan Ibnu Arabi yang sangat bertentan­gan dengan aqidah Islam. Ibnu Arabi dan pokok-pokok ajaran sesatnya Ibnu Arabi, nama lengkapnya Abu Bakar Muhammad ibn Ali Muhyid­din Al-Hatimi at-Thai al-Andalusi, dikenal dengan Ibnu Arabi (bukan Ibnul Arabi yang ahli tafsir). Ibnu Arabi ini dianggap sebagai tokoh tasawwuf falsafi, lahir di Murcia Spanyol, 17 Ramadhan 560 H/ 28 Juli 1165M, dan mati di Damaskus, Rabi'uts Tsani 638H/ Oktober 1240M. Inti ajarannya didasarkan atas teori wihdatul wujud (manunggaling kawula Gusti/menyatunya makhluk dengan Tuhan) yang menghasilkan wihdatul adyan (kesatuan agama, tauhid maupun syirik) sebagai hasil dari gabungan teori-teori al-ittihad (manunggal, melebur jadi satu antara si orang sufi dan Tuhan) dengan mengadakan al-ittishal atau emanasi. Atau sebagai hasil dari gabungan pemikiran tentang teori Nur Muhammadi (yang pertama kali diciptakan adalah Nur Muhammad, kemudian dari Nur Muhammad itu diciptakan makhluk-makhluk lain) dari Al-Khaliq dengan pemikiran Al-Aqlu al-awwal (akal pertama) --seperti telah diterangkan pada bab Nur Muhammad atau Hakekat Muhammad tersebut di atas--. Ibnu Arabi banyak dipengaruhi oleh filsafat Masehi atau Nasrani. Berikut ini ringkasan pandangan Ibnu Arabi yang nyata-nyata bertentangan dengan Islam, diringkas oleh Yayasan Islam Al-Qalam, satu induk dengan LPPI (Lembaga Pengkajian dan Pengembangan Islam) yang banyak menyoroti aliran-aliran sesat. Pandangan Ibnu Arabi berkisar pada: - Berusaha menghancurkan/ membatalkan agama dari dasarnya. - Semua orang berada pada As-Shirath Al-Mustaqim (jalan lurus). - Wa'ied (janji) dari Allah tidak ada sama sekali. - Khatim al-Awliya' (penutup para wali) lebih tinggi daripada Khatim Al-Anbiya' (penutup para nabi), karena wilayah (kewalian) lebih tinggi daripada Nubuwwah (kenabian). Ibnu Arabi banyak mengarang buku untuk menyiarkan ajaran-ajaran dan pendapatnya. Bukunya yang paling terkenal adalah al-Futuhat al-Makkiyyah dan Fushul Al-Hukm. Sorotan tajam terhadap pendapat Ibnu Arabi telah dilakukan oleh para ulama dan dituangkan dalam tulisan yang cukup mudah dideteksi tentang penyelewengan yang disebarkan Ibnu Arabi itu. Di antara pendapat dari Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya adalah: - Wali lebih tinggi dari nabi (Masra' At-Tasawwuf, 22). - Untuk sampai kepada Allah, tidak perlu mengikuti ajaran para nabi (syara'), (Masra' At-Tasawwuf, 20). - Semua ini adalah Allah, tidak ada nabi/rasul atau malaikat. Allah adalah manusia besar. ( Fushush Al-Hukm, 48, Masra' At-Tasawwuf, 38). - Tidak sah khilafah kecuali kepada insan kamil. - Allah membutuhkan pertolongan makhluk. (Fushush Al-Hukm, 58-59). - Nabi Nuh as. termasuk orang kafir (Masra' at-Tasawwuf, 46-47). - Da'wah kepada Allah adalah tipu daya. (Fushush Al-Hukm, 772/Masra' At-tasawwuf, 66). - Al-haq adalah al-khalq/ makhluq (Masra' At-Tasawwuf, 62). - Hukum alam adalah Allah itu sendiri. (Masra' At-Tasawwuf, 70). - Hamba adalah Tuhan. (Fushush Al-Hukm, 92-93; Masra' at-Tasaw­wuf, 75). - Neraka adalah surga itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 93-94). - Al-Quran mempunyai dua arti, lahir dan batin. - Dalam anggapan Ibnu Arabi, dia berkumpul dengan para nabi. - Perbuatan hamba adalah perbuatan Allah itu sendiri. (Fushush Al-Hukm, 143). - Ad-dhal (orang yang sesat) adalah al-muhtadi (orang yang mendapat petunjuk), al-kafir adalah al-mu'min. (Masra' at-Tasawwuf, 108). - Hawa nafsu adalah tuhan terbesar. - Fir'aun adalah mukmin dan terbebas dari siksa neraka. (Fushush Al-Hukm, 181; Masra' At-Tasawwuf, 111). - Wanita adalah tuhan. (Fushush Al-Hukm, 216; Masra' at-tasawwuf, 143). - Hakekat ketuhanan tampak jelas dan utuh pada nabi-nabi as. - Fir'aun adalah tuhan Musa. (Fushush Al-Hukm, 209; Masra' at-Tasawwuf, 122). Setelah mengemukakan pendapat-pendapat Ibnu Arabi tersebut, yayasan Al-Qalam yang membantah Dr Nurchalish Madjid lewat risalah kecil itu berkomentar: "Demikianlah pendapat-pendapat Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya yang kacau balau, dan jelas bertentangan dengan Al-Quran dan As-Sunnah, bertebaran dalam kitab-kitab yang mereka tulis." (Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid, hal 4). Semua pendapat yang kacau balau dari Ibnu Arabi itu, menurut Yayasan Al-Qalam, tampak jelas pada tulisan-tulisan atau syair-syair yang tercantum dalam kitab-kitab yang ditulis oleh Ibnu Arabi dan pengikut-pengikutnya antara lain Ibnu Faridh. Menurut pengakuan Ibnu Arabi, kitab Futuhat al-Makiyyah adalah Imla' (dikte) langsung dari Allah SWT kepadanya. Sementara itu Kitab Fushul Al-Hukm karangan Ibnu Arabi pula adalah pemberian langsung dari Rasulullah saw. kepadanya. (Ensyclopedi Britanica: 12/33). Padahal, jarak waktunya sangat jauh. Rasulullah saw. wafat abad ke tujuh Masehi, sedang Ibnu Arabi hidup pada abad ke 13 Masehi. Banyak ulama yang mengkafirkan Ibnu Arabi Selanjutnya, risalah Jawaban Tuntas untuk Dr Nurchalish Madjid menjelaskan: Karena pendapat-pendapat Ibnu Arabi (yang bertentangan dengan Islam) ini, maka banyak ulama yang mengkufurkan atau mengilhadkannya atau menghukumi murtad, walaupun ada sebagian kecil yang menerima pendapatnya bahkan menyiarkannya. Disebutkan dalam daftar, ada 37 ulama yang mengkafirkan atau memurtadkan Ibnu Arabi. Di antara ulama yang yang menghukumi Ibnu Arabi menjadi kafir, mulhid atau murtad adalah: 1. Ibnu Sayyid An-Nas (wafat 734H). 2. Ibnu Daqieq Al- 'Ied (w 702H). 3. Ibnu Taimiyyah (w 728H). 4. Ibnu Al-Qayyim Al-Jauzi (w 751H). 5. Qadhi 'Iyyadh (w 744H). 6. Al-'Iraqi (w 826H). 7. Ibnu hajar Al-'Asqalani (w 852H). 8. Alauddin al-Bukhari. 9. Abu Zur'ah. 10. Al-Udhd (w 757H). 11. Al-Jurjani (w 814H). 12. At-Taftazani (w 792H). 13. Muhammad ibnu Ali bin Yaqub (w 814H). 14. Abi Hayyan (w 654H). 15. Taqiyuddin As-Subqi 16. Isa Ibnu Mas'ud Az-Zawawi (w 743H). 17. Ali Ibnu Yaqub Al-Bakri 18. Al-Baalisi (w 829H). 19. Ibnu Nuqas (w 763H). 20. Ibnu Hisyam (w 761H). 21. Syamsuddin Ibnu Muhammad Al-Aizari. 22. Lisanuddin Ibnul Khatib (w 766H). 23. Muhammad Ibnu Ahmad al-Bishati. 24. Ibnu Khayyath (w 811H). 25. Ismail Ibn Abi Bakri Al-Muqri (w 875H). 26. Izzuddin Ibn Abdissalam (w 660H). 27. Ibrahim Ibnu daud Al-'Amidi (w 797H). 28. Abu Bakar Ibnu 'Ashim Al-Kinani. 29. Sulaiman Ibnu Yusuf Al-Yusufi (w 739H). 30. Ali Ibnu Abdillah Al-Ardabili (w 746H). 31. Musa Ibnu Muhammad Al-Anshari (w 803H). 32. Burhanuddin Al-Biqa'i (w 858H). 33. Ibnu Khaldun (w 808H). 34. An-Nawawi (w 676H). 35. Az-Zahabi (w 748H). 36. Al-Bulqini (w 805H). 37. Al-Maushili. Dari nama mereka di atas ini, jelas mereka adalah merupakan imam-imam dunia dan merupakan panutan dari ummat Islam, dan mereka ini merupakan tokoh-tokoh ulama dari segala cabang ilmu islamy: 'Aqidah, tasawwuf, Hadits, Ushul Fiqh, Sejarah ketatane­garaan, Sosiologi dan lain-lain. (Jawaban Tuntas untuk Dr Nurcholish Madjid, hal 6). Cukup jelas, sejumlah ulama tingkat dunia telah mengkafirkan Ibnu Arabi karena pendapat-pendapatnya dalam buku-bukunya berten­tangan dengan aqidah Islam. Sayang sekali, ummat Islam masih banyak yang aqidahnya tercemar oleh faham sufi falsafi model Ibnu Arabi. Hingga ketika penulis menjelaskan masalah sesatnya faham Nur Muhammadi kepada jama'ah masjid dalam pengajian, ternyata mereka bermuka merah sambil ada yang berkata bahwa banyak orang yang mempercayai Nur Muhammad memang ciptaan awal makhluk. Kemudian mereka baru bisa memahami, bila ungkapan Hadits palsu Laulaaka laulaaka lama khalaqtul aflaak, (seandainya bukan karena kamu (muhammad), seandainya bukan karena kamu (Muhammad), pasti aku tidak menciptakan seluruh alam); itu artinya Allah terikat dengan makhluk. Itu aqidah yang salah. Karena Allah tidak terikat oleh siapapun. Dia Maha Mutlak, tidak terikat. PERBEDAAN POKOK ANTARA ISLAM DAN TASAWWUF Manhaj dan jalan Islam berbeda sama sekali dengan manhaj Tasawwuf, dan perbedaan itu mengenai hal yang sangat mendasar. Yaitu perbedaan dalam hal sumber-sumber pengambilan agama dalam aqidah dan syari'ah. Demikian penegasan Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam buknya Fadhoihus Shufiyyah (Cemar-cemarnya Sufisme), Maktabah Ibnu Taymiyyah, Kuwait, 1404H/ 1984M, halaman 43. Dijelaskan, Islam menjadikan sumber pengambilan aqidah terbatas pada wahyu yang diberikan kepada para Nabi dan Rasul saja, yang hal itu yang kita miliki adalah Al-Quran dan As-Sunnah (Hadits Nabi SAW) saja. Adapun agama sufisme (Ad-Dienus Shuufii) --istilah Abdur Rahman Abdul Khaliq-- yang mereka jadikan sumbernya adalah bisikan yang didakwakan datang kepada para wali, dan kasyf (terbukanya tabir hingga mereka tahu yang ghaib) yang mereka dakwakan, dan tempat-tempat tidur (mimpi-mimpi), perjum­paan dengan orang-orang mati yang dulu-dulu, dan (mengaku berjumpa) dengan Nabi Khidhir 'alaihis salaam, bahkan dengan melihat Lauh Mahfudh, dan mengambil (berita) dari jin yang mereka namakan para badan halus (ruhaniyyin). Adapun sumber pengambilan syari'at bagi ahli Islam adalah Al-Kitab (Al-Quran), As-Sunnah (Al-Hadits), Ijam' (kesepakatan para ulama terdahulu generasi awal Islam), dan qiyas (perbandingan, yaitu pengambilan hukum dengan membandingkan kepada hukum yang sudah ada ketegasannya dari nash/ teks Al-Quran atau Al-Hadits, dengan syarat kasusnya sama, misalnya beras bisa untuk zakat fitrah karena diqiaskan dengan gandum yang sudah ada nash hadit­snya). Sedangkan bagi orang-orang tasawwuf, pembuatan syari'at mereka didirikan di atas mimpi-mimpi (tidur), Khidhir, jin, orang-orang mati, syeikh-syeikh, semua mereka itu dijadikan pembuat syari'at. Oleh karena itu jalan-jalan dan cara-cara pembuatan syari'at tasawwuf itu bermacam-macam. Sampai-sampai mereka mengatakan: Jalan-jalan menuju Allah itu sebanyak bilangan nafas makhluk-makhluk. Maka tiap-tiap syeikh memiliki tarekat dan manhaj/ jalan untuk pendidikan dan dzikir khusus, lambang-lambang khusus, dan ungkapan-ungkapan khusus. Maka tasawwuf itu adalah ribuan agama, aqidah, dan syari'at; bahkan ratusan ribu tidak terhitung banyaknya, semuanya itu di bawah apa yang dinamakan tasawwuf. Dan inilah perbedaan asasi (pokok/ dasar) antara Al-Islam dan tasawwuf. Islam itu agama yang muhaddad (ditegaskan batasan ketentuan) aqidahnya, ibadahnya, dan syari'atnya. Sedangkan tasawwuf itu agama yang tidak ada batasannya, tidak ada pengertian (yang ditentukan secara pasti) dalam aqidah ataupun syari­'at-syari'atnya. Inilah perbedaan yang paling besar antara Al-Islam dan tasawwuf. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 43-44). Garis-garis Besar Aqidah Sufisme 1. Aqidah sufisme mengenai Allah: Orang-orang tasawwuf percaya kepada Allah dengan aqidah-aqidah yang macam-macam di antaranya al-hulul (inkarnasi, penitisan/ penjelmaan Tuhan dalam diri manusia) seperti pendapat Al-Hallaj (menyebabkan ia memaklumkan dirinya sebagai "kebenaran" dengan ucapan "anal Haq" = Akulah Kebenaran. Al-Haq adalah salah satu nama Tuhan. Dengan perkataannya itu berarti ia mengaku: "Akulah Tuhan." ) Faham Hulul, faham yang menyatakan, bahwa Tuhan telah memilih tubuh-tubuh manusia tertentu sebagai tempat-Nya, setelah sifat-sifat kemanusiaan dalam tubuh tersebut dihilangkan. Faham Hulul dalam tasawwuf ditimbulkan oleh Husein Ibnu Manshur al-Hallaj (lahir di Persia tahun 858M) yang mengajarkan bahwa: Allah memiliki dua (2) sifat dasar (natur), yaitu sifat ke-Tuhan-an (lahuut) dan sifat kemanusiaan (Nasuut). Hal tersebut dilihat dari teori kejadian makhluk-Nya, sebagai berikut: Sebelum Tuhan menciptakan makhluk, Ia hanya melihat diriNya sendiri. Dalam kesendirian-Nya itu, terjadilah dialog antara Tuhan dengan diriNya. Dialog yang dalam, tidak terdapat dalam kata-kata ataupun huruf-huruf. Yang dilihat Allah hanya kemuliaan dan ketinggianNya dan Allah pun cinta pada zatNya sendiri. Cinta yang tidak dapat disifatkan dan cinta inilah yang menjadi sebab wujud dan sebab dari yang banyak dan Ia-pun mengeluarkan dari yang tiada, bentuk (copy) diri-Nya, yang mempunyai segala sifat dan namaNya, dan bentuk (copy) tersebut adalah Adam, dan seterusnya. Setelah Adam tercipta dengan cara-Nya, maka Ia sangat mencintai dan memulia­kannya di syurga dan sebagai khalif di bumiNya. (Drs Shodiq SE, Kamus Istilah Agama, CV Sienttarama Jakarta, cetakan kedua, 1988, hal 122-123). Kemudian akibat pendapatnya yang mengandung kemusyrikan itu maka Al-Hallaj yang lahir di Fars, Parsi (Iran) 244H/ 858M ini dihukum bunuh pada tanggal 24 Zulqa'dah tahun 309H/ 26 Maret 922M, di Baghdad di bawah kekhalifahan Abbasiyah, khalifah ke-18 dari 37 khalifah, Al-Muqtadir bi 'l-lah (Ja'far Abu 'l-Fadhl, yang berkuasa pada tahun 295-320H/ 908-932M. Selain Al-Hallaj dituduh membawa paham yang menyesatkan (paham hulul), ia juga dituduh mempunyai hubungan dengan Syi'ah Qaramitah, suatu kelom­pok Syi'ah garis keras yang dipimpin oleh Hamdan bin Qarmat yang menentang pemerintahan Dinasti Abbasiyah sejak abad ke-10 sampai abad ke-11. (lihat Ensiklopedi Islam, Kafrawi Ridwan dkk ed, PT Ichtiar Baru van Hoeve Jakarta, cet V, 1999, huruf H, hal 74-75). Sumber lain menyebutkan, Abu Mughits Al-Husein bin Mansur Al-Hallaj (244-309H) dilahirkan di Persia, seorang cucu dari penganut Zoroaster, dibesarkan di Irak. Tokoh inilah yang terkenal dengan "Hululiyin" (para penganut faham panteisme) dan "Ittihadiyyin" (para penganut faham manunggaling kawula gusti). Ia ditu­duh kafir, dibunuh dan disalib karena 4 perkara yang dituduhkan kepadanya: 1. Karena berhubungan dengan orang-orang Qaramithah (Syi'ah ekstrim). 2. Karena ucapannya: "Aku adalah Tuhan Yang Haq." 3. Karena pengikutnya meyakini akan ketuhanan dirinya. 4. Karena pendapatnya tentang haji, bahwa haji ke Baitullah tidak termasuk suatu kewajiban yang harus dilaksanakan. Tentang kepribadiannya, banyak hal-hal yang tidak jelas. Pertama sikapnya yang sangat keras kepala, membangkang, dan ekstrim. Ia mengarang buku "Al-Thawwasin", yang diteliti dan diterbitkan kembali oleh Louis Massignon (seorang orientalis). (Lembaga Pengkajian dan Penelitian WAMI, Al-Mausu'ah al-Muyassarah fil Adyan wal Madzaahib al Mu'ashirah, diterjemahkan A Najiyulloh menjadi Gerakan Keagamaan dan Pemikiran, Akar Ideologis dan Penyebarannya, Al-Ishlahi Press, Cet I, 1995, jilid II, hal. 259). Ulama yang hidup pada masa itu di antaranya At-Thabari ahli tarikh/ sejarah (w 923M/ tidak menemui disalibnya Al-Hallaj 932M). Al-Asy'ari (260-324H) ahli ilmu kalam yang pernah berfaham Mu'tazilah selama sekitar 40 tahun, kemudian berubah ke faham yang kini disebut Asy'ariyyah atau Asya'irah, dan kemudian rujuk ke Manhaj (jalan) Salaf (sahabat, tabi'ien dan tabi'it tabi'in) dengan menyusun Kitab Al-Ibanah, kitab Tauhid yang Manhajnya Salaf, namun para pengikut kini merujuknya bukan ke yang Salaf itu tapi ke yang Asy'ariyah yang berdekatan dengan faham Maturi­diyah. Beliau wafat tahun 935M, berarti masih hidup selama 3 tahun setelah disalibnya Al-Hallaj 932M. Sedang Junaid Al-Baghda­di, mufassir shufi pertama, meninggal tahun 910M, saat itu Al-Hallaj baru berumur 2 atau 3 tahun, yang kemudian ketika umur 25 tahun Al-Hallaj dibunuh dan disalib di jembatan Baghdad lantaran fahamnya yang dinilai sangat membahayakan Islam. Dan di antara aqidah sufi yaitu Wihdatul Wujud (manunggaling kawula Gusti, bersatunya hamba dengan Tuhan, lihat pada Bab Nur Muhammad, Hakekat Muhammad, dan Wihdatul Wujud) di mana tidak ada pemisahan antara Khaliq dan makhluk. Inilah aqidah yang terakhir yang tersebar sejak abad ketiga Hijriyah sampai hari ini, dan diterapkan akhir-akhir ini oleh setiap tokoh tasawwuf. Yang paling terkenal dalam aqidah ini adalah Ibnu 'Arabi, Ibnu Sab'in, At-Tilmasani, Abdul Karim Al-Jilli, Abdul Ghani An-Nablisi dan para tokoh tarekat-tarekat sufisme baru pada umumnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 44, Al-Fikrus Shufi cet 4, hal 58, As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 21, terjemahannya, hal 23-24). Ada pula aqidah shufi yang namanya ittihad, yaitu bersatunya seorang sufi (tasawwuf) sedemikian rupa dengan Allah SWT setelah terlebih dahulu melalui penghancuran diri (fana') dari keadaan jasmani dan kesadaran rohani untuk kemudian berada dalam keadaan baka' (tetap/ bersatu dengan Allah SWT). Paham ittihad pertama kali dikemukakan oleh shufi Abu Yazid al-Bustami (meninggal di Bistam, Iran, 261H/ 874M). Pada suatu waktu dalam pengembaraannya, setelah shalat subuh Yazid al-Bustami berkata kepada orang-orang yang mengikutinya: Innii ana Allah laa ilaaha illaa ana fa'budnii (Sesungguhnya aku ini adalah Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku)." Mendengar kata-kata itu, orang-orang yang menyertainya mengatakan bahwa al-Bustami telah gila. Menurut pandangan para shufi, ketika mengucapkan kata-kata itu, al-Bustami sedang berada dalam keadaan ittihad, suatu maqam (tingkatan) tertinggi dalam paham tasawwuf. Dalam keadaan ittihad, seorang shufi sering mengucapkan kata-kata yang aneh, seakan-akan ia mengaku sebagai Tuhan, seperti yang diucapkan al-Bustami di atas (Sesungguhnya aku ini Allah, tiada Tuhan melainkan aku, maka sembahlah aku). Al-Bustami juga pernah mengucapkan kata-kata: Subhani subhani, ma a'dhama sya'ni (Maha Suci aku, Maha Suci aku, alangkah Maha Agungnya aku). Al-Bustami juga berkata: Laisa fi al-jubbah illa Allah (tidak ada di dalam jubah ini kecuali Allah). Kata-kata seperti itu disebut syathahat (perkataan --aneh-aneh-- yang keluar dari mulut seorang shufi ketika ittihad, menyatu dengan Tuhan). Dalam pandangan shufi, kata-kata itu bukan keluar dari seorang shufi tetapi kata-kata Allah SWT melalui lisan seorang shufi tetapi sedang dalam keadaan ittihad. Bukan Zat Allah SWT yang berbicara, tetapi aspek Allah SWT yang ada pada diri shufi itulah yang sedang berbicara. (lihat Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 286-287). Betapa jauhnya kepercayaan shufi itu dari Islam. Allah SWT disamakan dengan jin atau syetan yang masuk ke diri manusia hingga manusianya menjadi kesurupan (ke-jin-an/majnun), dan bicaranya ngaco (merancu tak keruan), hanya saja dinamakan syathahat yaitu bicara ngaco namun justru dianggap telah sampai pada tingkatan (maqom) tertinggi --yang mereka tuduhkan-- yakni ittihad, menyatu dengan Tuhan. Na'udzubillaahi min dzaalik, dari aqidah yang amat sesat itu. Hanya saja, aqidah sesat ini ditampilkan dengan nada miring berupa pembelaan samar di buku yang disebut Ensiklopedi Islam di Indonesia ini, yang ditangani dan ditulis oleh orang-orang IAIN (Institut Agama Islam) Jakarta dan lainnya, yang memang editornya ada seorang profesor yang dikenal sebagai pengajar tasawwuf, sekaligus pembela tasawwuf. Pak profesor itu pernah mengajar tasawwuf kepada saya dan teman-teman 40-an orang di Jakarta 1997, yang rata-rata mempunyai jama'ah dan keluaran perguruan tinggi Islam dan insya Allah mampu membaca kitab. Saya katakan pada Pak Profesor tasawwuf itu dalam perkuliahan, bahwa tasawwuf itu bukan dari Islam, mengotori Islam. Apa itu kasyf (tersingkapnya hijab, hingga seorang shufi bisa mengetahui hal ghaib) yang dibeberkan Abu Hamid Al-Ghazali (1058-1111M/ 505H)? Itu bukan ajaran Islam, karena teori itu Jayabaya yang sama sekali bukan orang Islam pun kemungkinan bisa, dengan istilah yang dikenal dengan "ramalan Joyoboyo". Di samping itu, Al-Ghazali tidak memperhatikan Islam secara penuh. Dia masih hidup selama 25 tahunan ketika Perang Salib berlangsung (Tentara Salib menduduki Yerussalem tahun 1076M, sedang Al-Ghazali hidup 1058-1111M) , yaitu perang besar dan berkepanjangan antara Muslimin dengan Kristen. Namun sebagai ilmuwan, Al-Ghazali tidak terdengar adanya perhatian dia tentang perang jihad yang sangat besar itu, baik itu tulisan ataupun pidato, padahal dia sangat rajin mengarang. Bahkan di Jawa, Sunan Mangkunegoro IV yang diangkat-angkat sebagai orang yang termasuk tokoh shufi (dijadikan tesis untuk doktor di IAIN Jakarta oleh Profesor tersebut dengan tema keshufian) ternyata dia (Mangkune­goro IV) itu sendiri jelas-jelas menulis syair yang menyatakan bahwa dirinya tidak shalat. Jadi tasawwuf itu jelas bukan ajaran Islam, bahkan mengotori Islam, tutur saya (penulis). Bagaimana reaksi Pak Profesor yang bukan sekadar mengenalkan apa itu shufi, namun memang pembawa ajaran tasawwuf itu. Dengan muka yang cukup tegang (padahal beliau orang Solo Jawa Tengah dan sudah agak tua, yang tampaknya lembut tapi saat itu memerah wajahnya), beliau menunjuk-nunjuk saya sambil berkata: "Anda belajar di mana?! Keluaran mana?! Lalu belajar apa?!" dengan suara keras dan mengagetkan teman-teman yang berjumlah 40-an orang dalam ruang kuliah itu. Setelah saya jawab, beliau hanya berseru: "Anda harus banyak belajar lagi!" Ucapan-ucapan beliau itu, di luar perkuliahan dihafalkan oleh seorang teman, yang kalau bertemu saya lalu dia praktekkan, dengan menunjuk-nunjuk muka saya, teman itu mempraktekkan kata-kata Pak Professor, kemudian ditutup dengan: "Ini marahnya seo­rang shufi, kamu harus tahu!" ucapnya sambil tertawa-tawa. Saya­pun tertawa saja ketika dicandai begitu. Pada kesempatan berikutnya, rupanya pertanyaan saya kepada Bapak Profesor itu diambil hati (diperhatikan betul). Kemungkinan beliau lantas membuka-buka referensi atau rujukan kitab-kitab, untuk membantah ucapan muridnya ini. Lalu dalam perkuliahan selanjutnya, beliau menjawab tentang kasus Al-Ghazali tokoh shufi kasyf, dan Mangkunegara IV raja kerajaan (kasunanan) Mangkunega­ran Surakarta (Solo) Jawa Tengah, yang dipersoalkan tersebut. Kata Pak Profesor yang jadi salah satu editor Ensiklopedi Islam yang sedang dikritik ini, Al-Ghazali bukannya tak ada perhatian terhadap kegiatan Islam. Buktinya, Al-Ghazali juga pernah berkunjung ke Andalus, guna memberikan gelar kepada salah seorang anggota kekhalifahan di Andalus. Adapun Mangkunegara IV, toh di dalam Kitab Nailul Authar disebutkan bahwa shalat itu bisa dijama'. Nah, Mangkunagara IV itu sebelumnya dia "nyantri" di pesan­tren, lalu dipanggil untuk menjadi pegawai di kerajaan, jadi sibuk. Memang dalam dua baris syairnya, Mangkunegara IV menyebutkan dirinya tidak shalat. Tak tahulah. Saya dan teman-teman tidak bisa "menjangkau" jawaban Pak Profesor itu. Apa hubungannya antara shalat boleh dijama' dengan tidak shalatnya Mangkunagara IV, dan apa hubun­gannnya antara perhatian yang dituntut oleh Islam dengan bertan­dangnya Al-Ghazali untuk memberi gelar seorang anggota kekhalifa­han di Andalus? Yang bisa dijangkau hanyalah gumam yang kewetu (terlanjur keluar) dari lisan Pak Profesor, bahwa beliau ketika diuji tesisnya untuk doktor (tentang Mangkunagara IV kaitannya dengan tasawwuf) di IAIN Jakarta tidak sampai seperti pertanyaan yang dicecarkan si murid ini. Pada lain kesempatan, saya ceritakan hal tersebut kepada seorang teman. Lalu teman saya itu bercerita pula tentang model jawaban "marah" dari "syeikh" shufi yang pernah dia saksikan ketika mendapatkan kesempatan untuk penataran da'i internasional di Al-Azhar Mesir selama 3 bulan. Dalam suatu perkuliahan, ada peserta (da'i) dari Bangladesh yang mengkritik tasawwuf. Lantas guru yang "syeikh" shufi tidak menjawab kritikan itu dengan jawaban yang berkaitan dengan kritikan, namun hanyalah marah-marah disertai kata-kata, "Di negerimu banyak masalah. Urusi itu. Tidak usah kamu mengkritik-kritik tasawwuf. Urusan di negerimu saja banyak sekali. Itu yang harus kamu urusi." Entah kenapa, kok ada kemiripan antara sesama guru besar tasawwuf baik yang ada di Jakarta maupun Kairo, kalau dikritik tasawwufnya lalu marah-marah, dan jawabannya ngaco (tidak relevan). Di samping itu ada kemiripan kenyataan pula, yang sekolah jauh-jauh ke Al-Azhar Mesir atau ke Pasca Sarjana IAIN Jakarta tahu-tahu di masyarakat menyebarkan tasawwuf. Tidak semuanya, tetapi bisa dibilang jarang sekali yang kritis terhadap sufisme. Sebagai bukti, profesor di IAIN Jakarta tersebut bukannya meng­kritik Mangkunegara IV yang tidak shalat, tetapi malahan mencari-carikan jawaban dengan mengemukakan bolehnya shalat jama' (diga­bung antara dhuhur dengan ashar, maghrib dengan isya'). Padahal antara keduanya (tentang tidak shalat dan tentang bolehnya shalat jama') itu tidak ada kaitannya. Perlu ditambahkan, saya menuturkan ini karena sering mendapat­kan kesempatan untuk menyaksikan ujian doktor di IAIN Jakarta, termasuk ujian beliau (yang jadi editor Ensiklopedi Islam itu), beberapa tahun sebelum saya ajukan pertanyaan tersebut. Ujian itu seperti biasanya, selalu dihadiri oleh Prof Dr Harun Nasution, dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta, sebagai salah satu penguji. Berkali-kali saya bertugas meliput ujian doktor semacam itu, karena ditugaskan oleh kantor redaksi atas undangan IAIN Jakarta untuk meliputnya. Apa yang kewetu dari lisan Pak Profesor bahwa ketika ujian justru tidak ada pertanyaan yang mencecar seperti itu, memang betul. Karena Harun Nasution sebagai dekan memang sudah dikenal arah pemikirannya secara umum adalah mengarah kepada Mu'tazilah, filsafat, dan sufisme. (Untuk mengarahkan agar kenal dengan faham Mu'tazilah, misalnya Harun Nasution menanya kepada calon doktor yang diuji: "Apa makna Yahdillaahu man yasya'?" Lalu si calon doktor menjawab: "Allah memberi petunjuk kepada orang yang Allah kehendaki." Kemudian disahut oleh Harun Nasution: "Itu makna menurut Ahlus Sunnah. Kalau menurut Mu'tazilah?" Bila calon doktor tak bisa menjawab, maka dituntun oleh Harun Nasution: "Allah memberi petunjuk kepada orang yang orang itu sendiri menghendaki. Jadi yasya' itu dhomirnya/ kata gantinya kembali kepada "man" yaitu orang itu sendiri". Lantas calon doktor itu (maaf) tampaknya seperti kerbau yang dicocok hidungnya). Meskipun sebenarnya dalam ujian yang saya saksikan itu ada penguji yang jeli dan mempertanyakan pula tentang shalat atau tidaknya Mangkunegara IV, namun wibawa dekan yakni Harun Nasution yang sudah bisa dimengerti bahwa sufisme ini jelas-jelas dia dukung, ataupun kondisi waktu bisa diatur oleh sang ketua ujian, maka pertanyaan pun tidak sampai menukik benar. Bahkan, saya saksikan, pembangkitan kembali peninggalan Mangkunagara IV yang pembahasannya dikaitkan dengan sufisme (kedua-duanya ini sebenar­nya sudah terkubur, tapi digali kembali oleh tangan-tangan yang 'kemungkinan mengotori Islam') itu, mendapat sambutan yang baik dalam ujian tersebut. Dari sini bisa difahami, misi Harun Nasution dan murid-muridnya yang kurang lebihnya adalah sekulerisme, liberalisme berfikir, dan pluralisme (tidak boleh mengakui bahwa Islam sajalah yang benar) dicampur sufisme memang mendorong dimunculkannya ajaran-ajaran yang tidak jelas seperti tesis yang diujikan dan mendapat sambutan baik tersebut. Dan salah satu sarana yang disisipi misinya untuk disebarkan adalah Ensiklopedi Islam, yang teman saya mengaku termasuk orang yang diberi proyek untuk menulis itu oleh Harun Nasution, hingga cukup untuk membia­yai kuliahnya hingga mencapai doktor. Pantaslah kalau penggalian kembali tulisan Mangkunegara IV tersebut dihargai, karena misinya sama dengan misi orientalis seperti Louis Massignon dan lain-lainnya yang menggali kembali peninggalan-peninggalan tasawwuf yang telah terkubur lalu ditam­pilkan lagi dan dicetak. Untuk apa? Untuk kepentingan orientalis yang kaitannya erat dengan penjajahan terhadap ummat Islam sedu­nia dan mengotori Islam, melemahkan serta merancukan. Dan missi itupun dilanjutkan oleh Harun Nasution dan pemerintahan Orde Baru dengan menteri-menteri agama Mukti Ali, Munawir Sjadzali, Tarmid­zi Taher, dan di zaman reformasi setelah jatuhnya Presiden Soe­harto adalah Menteri Agama Malik Fajar, yang mereka itu menggencarkan pengiriman dosen-dosen IAIN ke negeri-negeri Barat untuk belajar "Islam" warisan orientalis. Adapun menteri Agama Alamsjah Ratuperwiranegara tak begitu terdengar apakah ia menggencarkan atau tidak, walau masanya setelah Mukti Ali. Sedang Quraish Shihab yang jadi menteri agama selama 70 hari saja, karena Soe­harto keburu jatuh akibat didemo mahasiswa 21 Mei 1998, walau alumni Al-Azhar Mesir namun tidak tampak mencoba untuk membendung arus Harun Nasution yang pro orientalis. Bahkan sebelumnya, ketika Quraish jadi rektor IAIN pun tidak ada gaungnya alias tidak terdengar membendung Harunisme. Ketika buku ini ditulis, yang duduk sebagai dekan Pasca Sarjana IAIN Jakarta adalah Prof Dr Said Aqil Al-Munawar, seorang yang hafal Al-Quran dan berguru Hadits ke Syeikh Yasin Al-Padangi di Makkah. Ustadz Aqil ini dari kalangan NU, beliau hafalannya kuat. Ketika saya sempat diajari ilmu Hadits dalam perkuliahan, beliau sering sekali menyebut nama Abdul Fattah Abu Ghuddah (tokoh Ikhwanul Muslimin Syuriah, ada yang menggolongkannya shufi juga). Apakah Pak Aqil mendukung orientalis juga dan mendukung shufi, belum bisa saya berkomentar. Yang jelas, terhadap shufi tentu tidak seperti tulisan saya ini. Sedang menteri agama angkatan Presiden Gus Dur (Abdurrahman Wahid) September 1999 adalah Thalhah Hasan konon orang NU. Belum terdengar adanya penyetopan terhadap pengiriman dosen-dosen IAIN ke Barat untuk belajar Islam alias sufisme yang diprogramkan orientalis dan Yahudi. Apalagi Presiden Gus Dur justru dikenal sebagai orang yang dari awalnya pro Yahudi Israel dan bersuara miring terhadap gerakan Islam murni. Jadi, paling kurang, program yang berbau orientalis dan Yahudi kemungkinan akan dilindungi oleh Gus Dur. Di samping itu, sekalipun Harun Nasution sudah meninggal dunia, namun kader-kadernya telah banyak, dan program­nya masih berjalan. Meskipun demikian, kebatilan yang mereka usung secara sistematis dan dibiayai oleh duit Muslimin lewat negara, insya Allah akan hancur juga, karena gelombang anti kolonialis, anti filsafat, anti tasawwuf, anti bid'ah, anti orientalis yang menyesatkan, dan anti aneka tipuan Yahudi; sema­kin merebak. Di antara bukti nyata, gagasan reaktualisasinya. Munawir Sjadzali, menteri agama yang lama, yang ingin merubah hukum waris Islam, dari 2:1 antara bagian laki-laki dan perempuan menjadi 1:1; karena Munawir menganggap hukum Islam tentang waris (yang menegaskan 2 bagian untuk laki-laki dan 1 bagian untuk perempuan) itu tidak adil, ternyata gagasannya itu luntur dengan habisnya masa jabatan kementrian Munawir 1993. Mengenai pembelaan samar terhadap tasawwuf dalam buku Ensi itu bisa kita simak kutipan darinya sebagai berikut: "Paham-paham ittihad, hulul ataupun wahdah al-wujud ini dipandang sesat dan menyesatkan oleh ulama-ulama syari'at. Oleh sebab itu, para penulis tentang shufi atau tasawwuf pada abad ke-3 dan ke-4 Hijriah (masa subur dan berkembangnya paham tasawwuf), seperti Abu Bakar Al-Kalabadi (w 380H) dan Abu Qasim Abdul Karim al-Qusyairi (w 465H), enggan menulis masalah-masalah tersebut. Uraian mengenai hal ini dapat dijumpai dalam tulisan-tulisan kaum Orientalis. Kemudian penulis Islam pun tergerak kembali hasratnya untuk mengungkapkan khazanah lama miliknya itu." (Ensiklopedi Islam, huruf I, halaman 287). Bagaimana buku itu menggambarkan seakan tasawwuf itu suatu yang berharga sekali dan sayang kalau hilang, ditulis dalam baris-baris kutipan terakhir tersebut. Istilah yang dikemukakan pun tampak dibuat sedemikian rupa, hingga para ulama pun disebut "ulama-ulama syari'at", seakan Islam itu tidak komplit kalau tidak pakai tasawwuf. Sedang para ulama yang ahli hadits, fiqh, tafsir dsb yang tentu saja faham benar tentang sesatnya tasawwuf, disebutnya ulama-ulama syari'at. Telah disebutkan di atas, bagaimana Imam Ahmad bin Hanbal menasihati murid-muridnya agar tidak mendekati orang sufi. Imam Ahmad bin Hanbal adalah salah seorang yang termasuk imam empat yang sangat terkenal, yaitu Imam Hanafi (lahir di Kufah 80H- w. di Baghdad 150H/ 700-772M), Imam Maliki (Madinah 93- 179H/ 712-798M), Imam Syafi'i (Ghazza 150H/ 767M - w. di Fusthat Mesir 204H/820M), dan Imam Hanbali (Baghdad 164H/780M, w. di Baghdad 241H/855M). Dalam pembicaraan ilmu, hampir tak pernah mereka itu disebut ulama syari'at (untuk maksud bahwa ada ulama tasawwuf) seperti penyebutan dalam Ensiklopedi itu, tetapi adalah Imam (madzhab) yang empat, artinya mereka itu ulama, yang tingkatannya mujtahid mutlak, orang yang mampu berijtihad (mencurahkan pikiran untuk menentukan hukum syara' yang tidak ada dalam nash/teks ayat ataupun hadits) tanpa bersandar pada orang lain. Sehingga, ulama-ulama belakangan yang meneruskan ilmu para mujtahid atau imam madzhab tersebut, sebenarnya tidak perlu disebut ulama syari'at. Cukup disebut ulama. Namun orang shufi menyebutnya ulama syari'at karena dianggap tidak mengetahui yang batin atau yang ghaib. Padahal Nabi Muhammad SAW sendiri tidak mengetahui yang ghaib, bahkan jelas-jelas menegaskan bahwa Nabi tidak tahu apa yang diperbuat Allah untuk Nabi sendiri esok (lihat dalam bab aqidah). Allah berfirman: "Katakanlah! Tidak ada yang dapat mengetahui perkara ghaib di langit dan di bumi kecuali Allah." (An-Naml: 65). Ada sebagian delegasi yang datang ke Nabi SAW, mereka mengang­gap bahwa Nabi termasuk orang yang mengaku bisa melihat yang ghaib, maka mereka menyembunyikan sesuatu di dalam (genggaman) tangan mereka untuk beliau. Dan mereka berkata pada beliau: "Khabarkan pada kami, apa dia (yang ada dalam genggaman kami ini)? Lalu beliau menjawab kepada mereka dalam keadaan berteriak: "Innii lastu bikaahinin, wa innal kaahina wal kahaanatu walkuhhaana fin naar." (Aku bukan seorang dukun. Sesungguhnya dukun dan perdukunan serta dukun-dukun itu di dalam neraka.") (HR Abu Dawud, 286). Kembali kepada buku tersebut, untuk menegaskan satu sikap dari suatu buku, ataupun untuk mengemukakan bahwa shufi itu juga perlu dianggap bahwa di sana ada ulamanya, maka maksud-maksud itu bisa dibaca pula. Sebagaimana Abdur Rahman Abdul Khaliq dalam bukunya yang menyoroti shufi itu menyebut shufi sebagai ad-dien as-shufi (agama sufi), bukan sekadar aliran shufi, karena memang shufi ataupun tasawwuf dinilai sebagai di luar agama Islam. Hanya saja bedanya, pihak yang satu (pembela shufi) ingin mendorong agar shufi atau tasawwuf dimasukkan ke Islam, sedang pihak yang lain (penolak shufi) menjelaskan dengan bukti-bukti dan dalil bahwa shufi atau tasawwuf itu di luar Islam. Kalau sudah demikian, maka jalan keluarnya, kita ikuti perin­tah Allah SWT: Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul (sunnahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian." (QS An-Nisaa'/ 4:59). Coba kita kembalikan kepada Al-Quran atau Sunnah Rasul, apakah memang aqidah shufi itu cocok. Aqidah shufi terutama ittihad, hulul, dan wihdatul wujud itu sudah mencampuri urusan keghaiban yang tertinggi, yaitu dzat Allah SWT. Padahal, Nabi SAW telah menegaskan: Wallahi innii larosuulullaah, laa adrii maa yaf'alu bii ghodan. Demi Allah, sesungguhnya aku ini pasti utusan Allah, (tetapi) aku tidak tahu apa yang akan Allah kerjakan padaku esok." (Hadits Riwayat Al-Bukhari 3/ 358, 6/223 dan 224, 8/ 266 dalam Fathul Bari; dan riwayat Imam Ahmad 6/ 436 dari Ummul 'Ala' Al-Andhariyah dengan semacamnya). Selanjutnya, untuk menuntaskan masalah ini, akan dibahas --insya Allah—dalam bab Lemahnya Alasan Shufi dan Pendukungnya. 2. Aqidah Shufi Mengenai Rasulullah SAW Sufisme dalam hal mempercayai Rasulullah juga ada bermacam-macam aqidah. Di antaranya ada yang menganggap bahwa Rasul SAW tidak sampai pada derajat dan keadaan mereka (orang-orang shufi). Dan Nabi SAW (dianggap) jahil (bodoh) terhadap ilmu tokoh-tokoh tasawwuf seperti perkataan Busthami: "Kami telah masuk lautan, sedang para nabi berdiri di tepinya." Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, pengarang kitab Ila at-Tashawwuf ya 'Ibadallaah menisbatkan perkataan tersebut kepada At-Tijani (pendiri tarekat At-Tijaniyah). Lalu Al-Jazairi berkomentar: Kelanjutan ucapan At-Tijani ini bahwa quthub-quthub (wali-wali yang ada di kutub-kutub dunia) shufi itu menurut pendapat mereka lebih tahu dibanding Nabi-nabi tentang Allah dan lebih mengerti tentang syari'atNya yang mengandung kecintaan dan kemarahan. Bukankah (kepercayaan) ini merupakan kekafiran wahai hamba-hamba Allah? komentar Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Khatib Masjid Nabawi Madinah. (Ila at-Tashawwuf ya 'Ibadallaah, Jam'iyyah Ihyait Turats Al-Islami, halaman 40). Di antara mereka (orang-orang shufi) ada yang mempercayai bahwa Rasul Muhammad itu adalah kubah alam, dan dia itulah Allah yang bersemayam di atas Arsy, sedangkan langit-langit, bumi, arsy, kursi, dan semua alam itu dijadikan dari nurnya (nur Muham­mad), dan dialah awal kejadian, yaitu yang bersemayam di atas Arasy Allah. Inilah aqidah Ibnu Arabi dan orang-orang yang datang setelahnya/ pengikutna. (fadhoihus Shufiyyah, hal 44-45, Al-fikrus Shufi, hal 58-59, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 22, terjemahnya halaman 24-25). 3. Aqidah Shufi Mengenai Wali-wali. Sufisme dalam hal wali-wali juga mempercayai dengan keper­cayaan yang bermacam-macam. Di antara mereka ada yang melebihkan wali di atas nabi. Pada umumnya orang shufi menjadikan wali itu menyamai/sejajar dengan Allah dalam segala sifatnya, maka ia (wali) itu mencipta, memberi rizki, menghidupkan, mematikan, dan mengatur alam. Orang shufi membagi-bagi wali menjadi beberapa bagian, ada yang disebut wali Al-Ghauts yang mempunyai kemauan sendiri dalam segala sesuatu di dunia ini, dan ada 4 Wali Kutub yang memegangi pojok-pojok yang empat di dunia ini atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Abdal yang tujuh, masing-masing mempunyai kekuasaan di satu benua dari 7 benua atas perintah wali Al-Ghauts. Dan ada wali Nujaba', yang mereka itu memiliki kekuasaan di kota-kota setiap wilayah di kota. Di kota-kota, demikianlah seterusnya, maka jaringan wali-wali internasional ini menguasai makhluk, dan mereka punya dewan tempat mereka berkumpul yaitu di Gua Hira', setiap malam mereka melihat taqdir. Cekak aosnya (pendek kata), dunia perwalian (shufi) itu adalah dunia khurafat (kepercayaan yang menyeleweng dari kemurnian Islam) total. Ini otomatis berbeda dengan kewalian dalam Islam yang ditegak­kan di atas agama dan taqwa, amal shaleh dan ibadah yang sempurna kepada Allah, dan membutuhkan (pertolongan) Allah. Sebenarnya wali itu tidak bisa menguasai urusan dirinya sendiri (untuk mendatangkan manfaat dan madharat) sedikitpun, lebih-lebih untuk menguasai orang lain. Allah Ta'ala berfirman: "Katakanlah: "Sesungguhnya aku tidak kuasa mendatangkan suatu kemudharatan pun kepadamu dan tidak (pula) suatu kemanfaatan." (QS Al-Jinn/ 72:21). (Fadhoihus Shufiyyah, hal 45, Al-Fikrus Shufi, hal 59, As-Shufiyyah 'Aqidah wa Ahdaf hal 22-23). Sebagian cerita yang dikisahkan orang-orang shufi memang terjadi, namun bercampur dengan sihir, sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Taimiyyah dalam bukunya yang berjudul Al-Furqan baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'is syaithan (perbedaan antara wali-wali Tuhan dan wali-wali syetan). Buku itu muncul waktu orang-orang mencampuradukkan antara sihir dan karamah. Ibnu Taimiyyah mengatakan bahwa sebagian orang musyrik, baik dari Bangsa Arab, India, Turki, Yunani, maupun bangsa lain, mempunyai kegigihan dalam bidang ilmu, kezuhudan, dan ibadah; namun mereka tidak mengikuti dan tidak beriman kepada para Rasul, tidak membe­narkan berita-berita yang Rasul bawa, dan tidak mentaati perin­tahnya. Orang-orang seperti itu bukanlah orang-orang yang beriman, dan bukan pula wali-wali Allah. Mereka adalah orang-orang yang dihubungi dan dihampiri oleh syetan-syetan. Mereka dapat mengungkapkan beberapa perkara ghaib, mereka memiliki beberapa perilaku luar biasa yang merupakan bagian dari sihir. Mereka itu tukang sihir yang dihampiri syetan-syetan. Allah Ta'ala berfir­man: "Apakah akan Aku beritakan kepadamu, kepada siapa syetan-syetan itu turun? Mereka turun kepada tiap-tiap pendusta lagi yang banyak dosa. Mereka menghadapkan pendengaran (kepada syetan) itu, dan kebanyakan mereka adalah orang-orang pendusta." (As-Syu'ara: 221-223). Mereka bersandar kepada Mukasyafat (penyingkapan perkara- perkara yang ghaib) dan hal-hal yang luar biasa. Apabila mereka tidak mengikuti Rasul, tentu amalan-amalan mereka mengandung dosa seperti kemusyrikan, kedzaliman, kekejian, sikap berlebihan, atau bid'ah dalam ibadah. Mereka dihampiri dan didatangi syetan-syetan, sehingga mereka menjadi wali-wali syetan, bukan wali-wali Ar-Rahman (Tuhan). Allah Ta'ala berfirman: Barangsiapa yang berpaling dari pengajaran (Allah) Yang Maha Pemurah (Al-Quran), kami adakan baginya syetan (yang menyesatkan), dan syetan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya." (Az-Zukhruf/ 43:36). Pengajaran Allah (Dzikrur Rahman) adalah pengajaran yang dibawa oleh Rasul-Nya saw, yakni al-Quran. Barangsiapa tidak beriman kepada Al-Quran, tidak membenarkan beritanya, dan tidak meyakini kewajiban perintahnya, berarti dia telah berpaling dari Al-Quran, kemudian syetan datang menjadi teman setia baginya. Seseorang yang selalu berdzikir kepada Allah, baik malam maupun siang, disertai dengan puncak kezuhudan dan kesungguhan beribadah kepada-Nya, namun tidak mengikuti dzikir yang Allah turunkan, yakni Al-Quran, maka dia termasuk wali syetan, meskipun dia mampu terbang di angkasa atau berjalan di atas air. Syetanlah yang membawanya ke angkasa sehingga ia mampu terbang. (Ibnu Taimiyyah, Al-Furqan baina Auliya'ir Rahman wa Auliya'is syaithan, 1396H, hal 11 seperti dikutip Laila binti Abdillah dalam As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, Darul Wathan, Riyadh, cetakan I, 1410H, halaman 24-25, dan terjemahan Indonesia Mewaspadai Tasawuf, Wala Press, Bekasi, I, 1416H/ 1995, hal 28-30). Wali Allah menurut Al-Quran Wali Allah menurut Al-Quran tidak seperti yang digambarkan oleh orang tasawwuf. Tetapi wali Allah yaitu orang-orang yang beriman dan bertaqwa, seperti yang ditegaskan Allah SWT dalam firmanNya: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha­watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa. Bagi mereka berita gembira di dalam kehidupan di dunia dan (dalam kehidupan) di akherat." (QS Yunus/ 10: 62, 63, 64). Dimaksudkan dengan wali-wali Allah dalam ayat ini ialah orang-orang mukmin dan mereka selalu bertaqwa, sebagai sebutan bagi orang-orang yang membela agama Allah, dan orang-orang yang menegakkan hukum-hukumNya di tengah-tengah masyarakat, dan seba­gai lawan kata dari orang-orang yang memusuhi agamaNya, seperti orang-orang musyrikin dan orang kafir. Dikatakan tidak ada kekhawatiran bagi mereka, karena mereka yakin bahwa janji Allah pasti akan datang, dan pertolonganNya tentu akan tiba, serta petunjukNya tentu membimbing mereka ke jalan yang lurus. Dan apabila ada bencana menimpa mereka, mereka tetap bersabar menghadapi dan mengatasinya dengan penuh ketabahan dan tawakkal kepada Allah. Dan tidak pula gundah hati, karena mereka telah meyakini dan rela bahwa segala sesuatu yang bersangkut paut dengan alam dan seluruh isinya tunduk dan patuh di bawah hukum-hukum Allah dan berada dalam genggamanNya. Mereka tidak gundah hati lantaran berpisah dengan dunia, karena kenikmatan yang akan diterima di akherat adalah kenikmatan yang lebih besar. Dan mereka takut akan menerima adzab Allah di hari pembalasan, karena mereka dan selu­ruh hatinya telah dibaktikan kepada agama menurut petunjukNya. Mereka tidak merasa kehilangan sesuatu apapun, karena telah mendapatkan petunjuk yang tak ternilai besarnya. Kemudian daripada itu Allah SWT menjelaskan siapa yang dimak­sud dengan wali-wali Allah yang berbahagia itu, dan apakah sebab­nya mereka itu demikian. Penjelasan yang didapat di dalam ayat ini; wali itu ialah orang-orang yang beriman dan selalu bertaqwa. Dimaksud beriman di sini ialah orang yang beriman kepada Allah, kepada malaikatNya, kepada kitab-kitabNya, kepada Rasul-rasul-Nya, dan kepada hari qiyamat, dan segala kepastian yang baik dan yang buruk semuanya dari Allah, serta melaksanakan apa yang seharusnya dilakukan oleh orang-orang yang beriman. Sedang yang dimaksud dengan bertaqwa ialah memelihara diri dari segala tindakan yang bertentangan dengan hukum-hukum Allah, baik hukum-hukum Allah yang mengatur tata alam semesta, ataupun hukum syara' yang mengatur tata hidup manusia di dunia. Sesudah itu Allah SWT menjelaskan bahwa mereka mendapat khabar gembira, yang mereka dapati di dalam kehidupan mereka di dunia dan kehidupan mereka di akherat. Khabar gembira yang mereka dapati ini, ialah khabar gembira yang telah dijanjikan Allah melalui Rasul-Nya. Khabar gembira yang mereka dapatkan di dunia seperti kemenangan yang mereka peroleh di dalam menegakkan kali­mat Allah, kesuksesan hidup lantaran menempuh jalan yang benar, harapan yang diperoleh sebagai khalifah di dunia, selama mereka tetap berpegang kepada hukum Allah dan membela kebenaran agama Allah akan mendapat husnul khatimah. Adapun khabar gembira yang akan mereka dapati di akherat yaitu selamat dari kubur, dari sentuhan api neraka dan kekalnya mereka di surga 'Adn. (Al-Quran dan Tafsirnya, Depag RI, 1985/1986, juz 11, halaman 418-419). Ada orang yang mengatakan, bahwa wali Allah itu orang keramat, dapat mengerjakan perkara-perkara yang ajaib dan aneh, seperti berjalan di atas air, dapat menerka yang dalam hati orang dan sebagainya. Maka yang demikian itu, bukanlah menurut istilah Al-Quran, melainkan menurut istilah orang tasauf. Bahkan ada juga yang disebut wali Allah, orang yang kurang akalnya, dan ganjil perbuatannya. (Prof Dr H Mahmud Yunus, Tafsir Quran Karim, PT Hidakarya Agung Jakarta, cetakan ke-27, 1988M/ 1409H, halaman 300). Jelaslah bedanya, antara wali Allah menurut Al-Quran, dan wali Allah menurut orang tasawwuf atau shufi. Orang yang kurang akal­nya dan ganjil perbuatannya pun disebut wali, itu jelas di luar ajaran Al-Quran. Mafhum mukhalafahnya (pengertian tersiratnya), ketika orang-orang justru mengangkat-angkat orang model terakhir itu sebagai wali dan dihormati, bahkan dijadikan pemimpin yang menentukan urusan orang banyak, boleh diduga keras bahwa orang-orang itu memang telah lari dari Al-Quran. Dan itulah sebenarnya bencana bagi ummat Islam. Namun anehnya, di khutbah-khutbah Jum'at atau di pengajian pun diserukan oleh para khatib --yang model itu-- untuk bersyukur kepada Allah SWT atas telah dipilihnya orang yang mereka anggap wali --padahal sebenarnya sama sekali bukan-- itu. Ya Allah, tunjukilah hamba-hambaMu yang lemah ini, agar tidak terseret oleh ocehan mereka yang sangat jauh dari ajaranMu itu. 4. Aqidah Shufi Mengenai Surga dan Neraka: Mayoritas orang shufi (menurut Abdur Rahman Abdul Khaliq, semuanya) berkeyakinan bahwa menuntut surga merupakan suatu aib besar. Seorang wali tidak boleh menuntutnya (mencari surga) dan barangsiapa menuntutnya, dia telah berbuat aib. Menurut mereka, yang patut dituntut adalah al-fana' (menghancurkan diri dalam proses untuk menyatu dengan Allah SWT) yang mereka klaim (dakwakan) terhadap Allah, dan melihat keghaiban, dan mengatur alam... Inilah surga orang shufi yang mereka klaim. Adapun mengenai neraka, orang-orang shufi berkeyakinan juga bahwa lari darinya itu tidak layak bagi orang shufi yang sempur­na. Karena takut terhadap neraka itu watak budak dan bukan orang-orang merdeka. Di antara mereka ada yang berbangga diri bahwa seandainya ia meludah ke neraka pasti memadamkan neraka, seperti kata Abu Yazid al-Busthami (Parsi, w. 261H/ 874M). Dan orang shufi yang berkeyakina dengan Wahdatul Wujud (menyatu dengan Tuhan), di antara mereka ada yang mempercayai bahwa orang-orang yang memasuki neraka akan merasakan kesegaran dan keni'matannya, tidak kurang dari keni'matan surga, bahkan lebih. Inilah pendapat Ibnu Arabi dan aqidahnya. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 46). Seperti disebutkan dalam buku Ibnu Arabi, Fushushul Hukm. Orang jahil di masa kita sekarang kadang menyangka bahwa aqidah mengenai surga (model shufi) ini adalah aqidah yang ting­gi, yaitu manusia menyembah Allah tidak mengharapkan surga dan tidak takut neraka. Ini tidak diragukan lagi (jelas) menyelisihi aqidah kita yang terdapat di dalam Al-Quran dan As-Sunnah. Allah telah mensifati keadaan para nabi dalam ibadah mereka bahwa: Mereka berdo'a kepada Kami dengan harap (roghoban) dan takut (rohaban). Dan mereka adalah orang-orang yang khusyu'." (QS Al-Anbiyaa': 90). Ar-roghob yaitu mengharapkan surga Allah dan keutamaanNya, sedang ar-rohab yaitu takut dari siksaNya, padahal para nabi itu mereka adalah sesempurna-sempurnanya manusia (segi) aqidahnya, keimanannya, dan keadaannya. Dan (landasan) dari As-Sunnah: Perkataan seorang Arab Badui kepada Nabi SAW: "Wallahi, sungguh aku tidak bisa mencontoh dengan baik bacaan lirihmu (dandanik --suara tak terdengarmu) dan bacaan lirih Mu'adz. Namun hanya aku katakan, "Ya Allah, aku mohon surga kepadaMu, dan berlindung kepadaMu dari neraka." Lalu Rasulullah saw berkata: "Sekitar itu juga bacaan lirih kami." (Hadits Riway­at Ibnu Majah). Keadaan yang diupayakan oleh orang-orang shufi untuk diwujud­kan yaitu beribadah kepada Allah tanpa mengharapkan (surga) dan tanpa merasa takut (neraka), maka menyeret mereka kepada bencana. Mereka berusaha kepada tujuan yang lain dengan ibadah yaitu yang disebut fana' (meleburkan diri) dengan Tuhan, dan ini menyeret mereka kepada al-jadzdzab (merasa melekat dengan Tuhan), kemud­ian menyeret mereka pula kepada al-hulul (inkarnasi/penjelmaan Tuhan dalam diri manusia), kemudian menyeret mereka pula pada puncaknya kepada wihdatul wujud (menyatunya Tuhan dengan hamba/manunggaling kawula Gusti). (As-Shufiyyah aqidah wa ahdaf, hal 26-27). 5. Aqidah Shufi Mengenai Iblis dan Fir'aun Mengenai iblis, kebanyakan orang shufi, khususnya para penga­nut kepercayaan wihdatul wujud, berkeyakinan bahwa iblis adalah hamba yang paling sempurna dan makhluk yang paling utama tauhid­nya. Karena menurut anggapan mereka, iblis tidak mau sujud kecua­li kepada Allah. Dan mereka mengklaim bahwa Allah telah mengampuni dosa-dosa iblis dan akan memasukkannya ke surga. Demikian pula anggapan mereka, Fir'aun adalah seutama-utamanya orang yang mentauhidkan (mengesakan) Allah (muwahhidien). Karena Fir'aun berkata: "Saya adalah Tuhanmu yang tertinggi" maka ia mengetahui hakekat, karena setiap yang wujud itu adalah Allah, kemudian dia (Fir'aun) menurut klaim mereka, telah beriman dan masuk surga. (lihat Syarh Fushushul Hukm, halaman 418, Fadhoihus Shufiyyah, hal 47, As-Shufiyyah Aqidah wa Ahdaf, hal 27-28, Al-Fikrus shufi, hal 60). Pijakan Pertama untuk Membantah Shufi Sebagian banyak taman-teman dari kalangan Muslimin yang tak suka pada tasawwuf dan penyelewangan-penyelewengannya, mereka memulai bantahannya terhadap shufi dengan pijakan awal yang salah. Mereka mendebat shufi mengenai perkara-perkara pinggiran dan cabang-cabangnya, seperti bid'ahnya shufi dalam dzikir-dzikir, penamaan mereka dengan shufi, pengadaan perayaan-perayaan maulid atau bawaan tasbeh-tasbeh mereka, atau pakaian-pakaian mereka yang tambal-tambalan dan semacamnya berupa gejala-gejala aneh yang tampak. Memulai bantahan dengan perkara-perkara sekitar ini adalah langkah awal yang salah total. Walaupun perkara (yang disandang shufi) ini semuanya adalah bid'ah yang menyelisihi syari'at, dan mengada-adakan kebohongan dalam agama, namun (memulai bantahan dengan perkara-perkara cabang itu) menyamarkan hal yang lebih penting dan lebih besar. Artinya, cabang-cabang ini tidak boleh untuk pijakan awal dalam mendebat shufi, dan meninggalkan hal-hal pokok. Memang benar, (cabang-cabang bid'ah shufiyah) itu tadi adalah dosa-dosa dan penyelewengan-penyelewangan, tetapi ia adalah kecil sekali apabila dibanding dengan dosa-dosa besar, kebohongan-kebohongan, kekafiran-kekafiran yang dahsyat, dan tujuan-tujuan hina dina yang berjalan dalam pemikiran shufi. Oleh karena itu wajib bagi orang yang membantah shufi untuk memulai dengan hal-hal pokok, dan induk-induk, bukan dengan cabang-cabang dan sub-sub bentuk. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 49-50). Barangkali dengan Anda telah membaca perbedaan pokok antara Al-Islam dan tasawwuf, Anda telah tahu apa yang seyogyanya Anda mulai dalam berdebat, yaitu tentang manhaj talaqqi (pola pengam­bilan --pemahaman) dan penetapan agama. Yaitu isi dari jawaban pertanyaan: Bagaimana kita mengambil (sumber) agama? Dan bagaima­na kita menetapkan aqidah dan ibadah, dan apa itu sumber-sumber pemahamannya? Islam menjadikan sumber pemahaman terbatas pada Al-Quran dan As-Sunnah saja. Dan tidak boleh menetapkan aqidah kecuali dengan nash/ teks dari Al-Quran dan perkataan Rasul. Dan tidak ada pene­tapan syari'at kecuali dengan kitab dan Sunnah, dan ijtihad yang sesuai dengan keduanya. Ijtihad itu benar dan salah, tidak ada yang ma'shum (terjaga dari kesalahan) kecuali Al-Quran dan Sunnah RasulNya saja. Adapun tasawwuf, maka agama mereka (didapatkan) melalui klaim syeikh-syeikh, bahwa mereka mengambilnya dari Allah secara langsung, tanpa perantaraan, dan dari Rasul yang mereka klaim bahwa Rasul selalu datang ke majlis-majlis, dan tempat-tempat dzikir mereka. Juga dari malaikat, dari jin yang mereka nama­kan dengan badan halus (ruhaniyyin), dan dengan kasyf yang mereka klaim bahwa keghaiban-keghaiban tersingkap oleh hati wali, maka wali itu melihat apa-apa yang di langit-langit dan bumi, dan hal-hal yang telah lalu serta yang akan datang. Maka wali bagi mereka tidak ada sebijipun apa-apa yang di langit dan di bumi yang terlewat dari ilmu wali. Oleh karena itu, jadikanlah pertanyaan pertama kepada shufi: Bagaimana kalian menetapkan agama itu? Dan dari mana kalian mengambil sumber aqidah kalian? Apabila shufi menjawab padamu: "Dari Al-Quran dan As-Sunnah," maka katakanlah padanya: Al-Quran dan As-Sunnah menyaksikan bahwa iblis itu kafir, dia dan pengikut-pengikutnya akan dimasukkan ke dalam neraka, sebagaimana Allah Ta'ala firmankan: "Dan berkatalah syetan, tatkala perkara (hisab) telah disele­saikan: "Sesungguhnya Allah telah menjanjikan kepadamu janji yang benar, dan akupun telah menjanjikan kepadamu tetapi aku menya­lahinya. Sekali-kali tidak ada kekuasaan bagiku terhadapmu, melainkan (sekadar) aku menyeru kamu, lalu kamu mematuhi seruanku. Oleh sebab itu janganlah kamu mencerca aku, akan tetapi cercalah dirimu sendiri. Aku sekali-kali tidak dapat menolongmu, dan kamupun sekali-kali tidak dapat menolongku. Sesungguhnya aku tidak membenarkan perbuatanmu mempersekutukan aku (dengan Allah) sejak dahulu." Sesungguhnya orang-orang yang zalim itu mendapat siksaan yang pedih." (QS Ibrahim/ 14:22). Syetan di sini adalah iblis menurut ijma' para mufassir salaf (tiga generasi awal: shahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'in). Arti wamaa antum bimushrikhi adalah kamu tidak dapat membebaskanku dan menyelamatkanku. Itu artinya iblis adalah bersama mereka di neraka. Maka apakah kalian yakin wahai orang-orang tasawwuf/shufi yang demikian itu? Kalau orang shufi mengatakan padamu, "Ya, kami percaya bahwa iblis dan pengikut-pengikutnya itu di dalam neraka," maka dia (shufi) telah berbohong padamu. Dan kalau ia berkata padamu, "Kami tidak percaya bahwa iblis di neraka, dan kami percaya bahwa iblis tobat dari apa yang telah lalu darinya, atau iblis adalah hamba yang meng-esakan Tuhan (muwahhid) lagi mu'min seperti kata guru mereka Al-Hallaj"; maka katakanlah padanya (shufi): Sungguh kalian telah kafir karena kalian telah menyelisihi Al-Quran dan Hadits-hadits Rasul dan ijma' ummat bahwa iblis itu kafir dan termasuk penghuni neraka (ahlin naar). Maka katakanlah padanya: Syeikh akbar kamu, Ibnu Arabi, telah menghukumi bahwa Iblis di dalam surga, dan Fir'aun juga di surga (seperti dalam kitabnya, Fushushul Hukm). Dan guru besarmu, Al-Hallaj, bahwa iblis itu adalah penuntunnya, sedang syeikhnya adalah Fir'aun, seperti tercantum dalam kitab At-Thawwasin halaman 52. Lalu apa yang kamu katakan dalam hal itu (wahai orang shufi)? Apabila ia (orang shufi) mengingkarinya maka dia adalah orang pembesar yang ngeyel (ngotot), atau jahil (orang bodoh) yang tidak tahu. Sedangkan kalau dia mengakui yang demikian dan men­gikuti Al-Hallaj dan Ibnu Arabi maka sungguh dia telah kafir seperti mereka kafir, dan jadilah ia termasuk teman-teman Iblis dan Fir'aun, cukuplah yang demikian itu sebagai teman di dalam neraka. (Fadhoihus Shufiyyah, hal 51-52). Dan apabila ia ingin menipumu dan berkata: "Sesungguhnya perkataan mereka ini adalah dalam keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata aneh dalam keadaan tidak sadar)" yang mereka katakan bahwa itu dikuasai keadaan dan mabuk, maka katakanlah padanya: Bohong kamu. Karena perkataan ini ada dalam kitab-kitab yang dikarang, dan Ibnu Arabi telah mengeluarkan kitab Fushushul Hukm dengan ucapannya: "Sesungguhnya aku telah melihat Rasulullah dalam mimpi di Mahrusah Damsik dan beliau memberiku kitab ini, dan beliau bersabda padaku, 'keluarlah dengannya (kitab ini) kepada para manusia'." Padahal kitab ini lah yang menyebutkan bahwa Iblis dan Fir'aun itu termasuk orang-orang yang arif lagi selamat, dan Fir'aun itu lebih tahu tentang Allah daripada Musa. Dan bahwa setiap orang yang menyembah sesuatu (apapun) maka dia itu tidak menyembah kecuali (menyembah) Allah. Al-Hallaj pun demikian, ia menulis segala kekafiran-kekafirannya dalam kitabnya, sedang dia tidak dalam keadaan syathah (mengeluarkan kata-kata aneh dalam keadaan tidak sadar) atau dikuasai keadaan seperti yang mereka katakan. Apabila orang shufi mengatakan padamu: "Mereka itu telah berbi­cara dengan bahasa yang kita tidak tahu," maka katakalah pada si shufi itu: Sungguh mereka telah menulis pembicaraan mereka dengan Bahasa Arab dan disyarahkan (dijelaskan) oleh murid-murid mereka dan telah mereka tulis/ uraiakan hal itu. Apabila si shufi mengatakan, "Sesungguhnya ini adalah bahasa khusus untuk ahli tasawwuf yang tidak diketahui oleh selain mereka," maka katakanlah padanya (si shufi): Sesungguhnya bahasa mereka ini adalah Bahasa Arab, dan mereka telah menyebarkannya kepada para manusia dan tidak menjadikannya khusus bagi mereka, sedangkan para Ulama Muslimin telah menghukumi Al-Hallaj dengan kafir, dan dia disalib di atas jembatan Baghdad tahun 309H dengan sebab makalahnya. Dan demikian pula Ulama Muslimin telah menghu­kumi kafir dan zindiq terhadap Ibnu Arabi. Apabila si shufi mengatakan padamu: "Saya tidak mengakui peng­hukuman Ulama Syari'at karena mereka itu ulama lahir yang tidak tahu hakekat," maka jawablah padanya (si Shufi): Yang lahir ini adalah (sesuai dengan) Al-Quran dan As-Sunnah/ Al-Hadits, dan setiap hakekat yang berbeda dengan yang lahir ini maka dia batil. Dan apakah hakekat yang mereka dakawakan itu? Kalau si shufi mengatakan padamu, "Hakekat yaitu sesuatu dari rahasia-rahasia yang tidak disebarkan dan tidak kita dengar"; maka katakanlah: Sungguh kalian telah menyebarkannya dan memper­dengarkannya, yaitu bahwa setiap yang wujud menurut klaim kalian adalah Allah, sedang surga dan neraka itu sama, dan Iblis dan Muhammad itu sama, dan Allah adalah makhluk dan makhluk adalah Allah, seperti kata Imammu dan Syeikh Akbarmu: Al-'abdu robbun wa robbu 'abdun ya laita syi'ri manil mukallaf? In qultu 'abdun fadzaka robbun wa in qultu robbun an yukallaf? (Hamba itu Tuhan dan Tuhan itu hamba Aduhai siapakah yang dibebani hukum? Apabila aku katakan hamba maka itu adalah Tuhan Dan apabila aku katakan Tuhan maka akan dibebani hukum?). Apabila si shufi mengakui yang demikian itu dan mengikuti mereka yang zindiq-zindiq itu maka dia kafir seperti mereka. Dan apabila si shufi berkata: "Saya tidak tahu tentang perkatan ini dan tidak mengerti tetapi aku mempercayai keimanan pengucap-pengucapnya, kebersihan mereka, dan kewalian mereka"; maka katakanlah pada si shufi itu: Sesungguhnya ungkapan ini adalah ungka­pan berbahasa Arab yang jelas, tidak ada samar padanya. Dan ia mengkhabarkan tentang aqidah yang dikenal yaitu wihdatul wujud, yakni kepercayaan Hindu dan zindiq yang kalian nukil/pindahkan ke Islam dan kalian campuradukkannya dengan ayat-ayat Al-Quran dan hadits-hadits Nabi Saw. Lalu apabila si shufi mengatakan padamu: "Jangan kamu menentang para wali sehingga mereka tidak menyakitimu, karena Rasulul­lah Saw bersabda, telah berfirman Allah Ta'ala: "Barangsiapa memusuhi seorang wali maka sungguh Aku izinkan dia untuk dipe­rangi"; maka katakanlah pada si shufi: Mereka itu bukan wali, tetapi mereka hanyalah orang-orang zindiq yang berkedok Islam. Dan saya mengingkari kalian dan tuhan-tuhan kalian, "sebab itu jalankanlah tipu dayamu semuanya terhadapku dan janganlah kamu memberi tangguh kepadaku. Sesungguhnya aku bertawakkal kepada Allah Tuhanku dan Tuhanmu. Tidak ada suatu binatang melatapun melainkan Dialah yang memegang ubun-ubunnya, sesungguhnya Tuhanku (ada) di atas jalan yang lurus. (lihat QS Hud/ 11:55-56). Apabila si shufi mengatakan padamu: "Wajib atas kita menyerah­kan kepada orang-orang shufi keadaan mereka. Karena mereka me­nyaksikan hakekat dan mengetahui batin agama!!" maka katakanlah pada si shufi: Bohong kamu. Kita tidak boleh bungkam terhadap seseorang tentang ucapan yang menyelisihi Al-Quran dan As-Sunnah, dan menyebarkan kekafiran dan kezindiqan di antara kaum Muslimin, karena Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah kami turunkan berupa keterangan-keterangan (yang jelas) dan petunjuk, setelah Kami menerangkannya kepada manusia dalam Al-Kitab, mereka itu dila'nat Allah dan dila'nati (pula) oleh semua (makhluk) yang dapat mela'nati. Kecuali mereka yang telah taubat dan mengadakan perbaikan dan menerangkan (kebenaran), maka terha­dap mereka itulah Aku menerima taubatnya dan Akulah yang Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang." (LIhat QS Al-Baqarah: 159-160). Oleh karena itu tidak boleh bungkam terhadap kebatilan kalian dan barang murahan serta zindiq kalian, karena kalian telah merusak Dunia Islam, baik dulu maupun sekarang, dan kondisimu itu masih berlangsung sampai hari ini, kalian mengeluarkan manusia dari ibadah kepada Allah ke ibadah pada syaikh-syaikh, dan dari tauhid ke syirik dan penyembahan kuburan, dan dari sunnah ke bid'ah. Juga mengeluarkan manusia dari pemahaman Al-Quran dan As-Sunnah ke pemahaman bid'ah, khurafat, dan takhayul dari orang-orang yang mengaku-aku melihat Allah, malaikat, Rasul, dan surga. Kalian orang-orang shufi selam hidup telah membantu gerombolan-gerombolan kebatinan, dan mengabdi kepada penjajah. Oleh karena itu sama sekali tidak boleh bungkam terhadap kesesatan kalian, kesyirikan kalian, dan upaya pengalihan kalian terhadap manusia dari Al-Quranul Karim ke dzikir-dzikir bid'ah kalian dan ibadah-ibadah yang tidak lebih dari tepuk tangan dan siulan-siulan seperti ibadah musyrikin. (Fadhoihus Shufiyyah, halaman 55). Kilah-kilah pendukung tasawwuf Dalam buku Ensiklopedi Islam ditampilkan pendapat Harun Nasu­tion, dekan pasca sarjana IAIN (Institut Agama Islam Negeri) Jakarta mengenai tasawwuf. Harun Nasution ini menurut murid-muridnya (di antaranya yang bercerita di sutu perkuliahan adalah Drs Hamdan Rasyid MA yang dia waktu itu berkuliah di Pasca Sarjana IAIN Jakarta), bahwa Dr Harun Nasution (pada akhir-akhir umur­nya) sering ke Abah Anom di Tasik Malaya Jawa Barat, tokoh tare­kat Naqsyabandiyah yang digabung dengan Qodiriyyah. Bisa kita simak pendapatnya yang dikutip buku Ensiklopedi Islam sebagai berikut: Bagi Harun Nasution, teori-teori yang mengatakan bahwa ajaran tasawuf dipengaruhi oleh unsur asing sulit dibuktikan kebenaran­nya. Karena dalam ajaran Islam sendiri terdapat ayat-ayat dalam Al-Quran dan hadis-hadis yang menggambarkan dekatnya manusia dengan Tuhan. Di antaranya surah al-Baqarah ayat 186 yang artinya; "Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawablah), bahwasanya Aku adalah dekat, Aku mengabulkan permohonan orang yang mendoa kepada-Ku. Dalam ayat lain disebutkan pula: "Dan kepunyaan Allah-lah timur dan barat, maka ke mana pun kamu menghadap di situlah wajah Allah. Sesungguhnya Allah Maha Luas (rahmat-Nya) lagi maha Menge­tahui." (QS 2:115). Disebutkan pula dalam surah Qaf ayat 16 yang artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan oleh hatinya, dan Kami lebih dekat kepadanya dari urat lehernya." Dalam hadis qudsi (hadis yang maksudnya berasal dari Allah SWT, lafalnya berasal dari Nabi SAW) disebutkan bahwa Allah SWT berfirman: "Barangsiapa memusuhi seseorang wali-Ku, maka Aku mengumumkan permusuhan-Ku terhadapnya. Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih kusukai daripada pengamalan segala yang Kufardukan atasnya. Kemudian, hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa menyintainya. Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku penglihatannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." (HR. Bukhari). Demikian kutipan Ensiklopedi Islam, halaman 75-76. Sanggahan terhadap pendapat Harun Nasution Benarkah pendapat atau kilah Harun Nasution yang dikenal tidak memasukkan qodho' dan qodar ke dalam rukun iman, dan yang dalam hal ini tampak memperkuat barisan shufi, baik secara pemikiran maupun praktek itu? Kita simak syarah atau penjelasan Hadits Qudsi yang dia jadi­kan kilah itu, sebenarnya apakah ada kaitannya dengan tasawwuf, mari kita simak sebagai berikut: Al-walayah dengan difathah wawunya artinya adalah almahabbah, kecintaan, dan lawannya adalah al'adawah, permusuhan. Sedang "wali" adalah lawan kata dari "musuh", dan wali-wali Allah itu adalah orang-orang yang beriman lagi bertaqwa. Allah Ta'ala berfirman: "Ingatlah, sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekha­watiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati. (Yaitu) orang-orang yang beriman dan mereka selalu bertaqwa." (QS Yunus/ 10:62-63). Maka setiap orang mukmin yang bertaqwa dialah wali Allah sesuai dengan keimanan dan ketaqwaannya. Sedang orang yang kafir maka dialah musuh Allah. Lantas orang mukmin yang bermaksiat maka berkumpul pada dirinya dua perkara --dia wali Allah sesuai dengan iman yang ada dalam dirinya, dan dia musuh Allah sesuai dengan maksiat yang ada dalam dirinya. Wali itu bukan orang yang maksum (terjaga) dari kesalahan seperti yang dikira/diklaim oleh sebagian orang fanatik terhadap orang yang mereka namakan auliya'. Dan auliya' (para wali) tidak memiliki kemampuan mengatur alam, tidak mampu menarik manfaat dan menolak bahaya dan menyembuhkan penyakit, dan menghilangkan keruwetan, seperti yang disangka oleh banyak orang ahli khurofat yang meng­gantungkan diri pada auliya' dan menyembah mereka selain Allah, dan meminta tolong pada mereka dalam musibah-musibah berat, dan meminta pada mereka untuk mencukupi kebutuhan, dan menghilangkan keruwetan, juga meminta berkah dengan mengusap bagian-bagian badan mereka, tanah-tanah mereka, dan kuburan-kuburan mereka, dan bernadzar untuk mereka, dan menyembelih kurban untuk mereka, seperti yang dulu telah dilakukan orang-orang musyrik jahiliyah. Seperti firman Allah Ta'ala tentang mereka: "Dan mereka menyembah selain dari Allah apa yang tidak dapat mendatangkan kemudharatan kepada mereka dan tidak (pula) kemanf­aatan, dan mereka berkata: "Mereka itu adalah pemberi syafaat kepada kami di sisi Allah." (QS Yunus/ 10:18). Dan Allah Ta'ala berfirman: "Dan orang-orang yang mengambil pelindung selain Allah (berkata): "Kami tidak menyembah mereka melainkan supaya mereka mendekatkan kami kepada Allah dengan sedekat-dekatnya." (QS Az-Zumar/ 39:3). Dan ayat-ayat lainnya. Tidaklah setiap yang diklaim sebagai wali itu jadi wali. Sesungguhnya wali itu tidak lain hanya orang yang beriman lagi bertaqwa, sedangkan wali itu orang yang butuh dan berhajat kepada Tuhannya, dia tidak mampu memberikan mudharat dan manfaat kepada dirinya ataupun kepada orang lain. Wali-wali Allah itu wajib dicintai dan dihormati tanpa ghuluw (berlebih-lebihan) dalam menghormati mereka dan tidak berlebihan dalam mendudukkan hak mereka dengan meminta sesuatu kepada mereka yang sebenarnya tidak boleh diminta kecuali kepada Allah. Diharamkan memusuhi mereka (wali-wali), mengurangi hak mereka, dan menyakiti mereka. Allah telah mengancam orang yang mengerja­kan hal itu dengan firmanNya dalam hadits: "Barangsiapa memusuhi wali-Ku maka sungguh Aku telah umumkan perang dengannya" artinya sungguh telah aku beritahukan bahwa aku memusuhi orang yang memusuhiKu dengan (lantaran) memusuhi wali-waliKu. Ini sesuai dengan tingkatan pertama atas orang yang memusuhi para sahabat Radhiyallahu 'anhum dan orang-orang yang memarahi para sahabat di antaranya orang-orang Syi'ah dan ahli bid'ah. Nabi Saw bersabda: "Janganlah kalian mencaci shabat-sahabtku. Karena, demi Allah yang diriku ada di tanganNya, seandainya seseorang kamu mengin­faqkan emas seberat Gunung Uhud maka tidak sampai sepanjang salah satu mereka dan tidak separuhnya." Nabi Saw juga bersabda: Allah, Allah, mengenai sahabt-sahabat­ku. Janganlah kalian menjadikan mereka sebagai sasaran, karena barangsiapa menyakiti mereka maka sungguh ia telah menyakitiku, dan barangsiapa menyakitiku maka sungguh ia telah menyakiti Allah, dan barangsiapa menyakiti Allah maka hampir saja Allah menimpakan adzab padanya." (dikeluarkan oleh At-Tirmidzi dan lainnya.) Ibnu Daqiq rahimahullah berkata: "Wali Allah Ta'ala adalah yang mengikuti apa yang disyari'atkan Allah. Maka berhati-hatilah manusia dari menyakiti hati-wali Allah 'Azza wa Jalla." Arti memusuhi itu kalau menjadikannya musuh, dan saya tidak melihat arti selain memusuhinya lantaran dia itu wali Allah. Adapun apabila keadaan memang menuntut adanya perselisihan pendapat antara dua wali Allah secara kehakiman ataupun pertengkaran maka dikembalikan kepada upaya mengeluarkan hak yang samar (untuk menentukan kebenaran), karena hal (pertentangan antar dua wali Allah) itu tidak termasuk dalam hadits ini. Karena sesungguhnya telah berlangsung pertengkaran antara Abu Bakar dan Umar radhiyallahu 'anhuma, dan antara Abbas dan Ali ra, antar banyak sahabat, sedangkan mereka semua itu adalah wali-wali Allah 'Azza wa Jalla. (Dr shalih bin Fauzan bin Abdullah Al-fauzan, Ad-Dhiyaa' al-Laami' minal Ahaadiits al-Qudsiyyah al-Jawaami', 1990, hal 18-21). Kemudian Allah SWT menjelaskan sebab-sebab yang menjadikan orang memperoleh kewalian Allah Ta'ala, dan hamba itu menjadi wali Allah --artinya dicintai dan haram dimusuhi, maka Allah berfirman: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang Kufardhukan atasnya, dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencin­tainya." Maka Allah menjelaskan bahwa sebab kewalian itu adalah mendekatkan diri kepadaNya SWT dengan mentaatiNya. Dan wali-wali Allah itu adalah mereka yang mengerjakan perbuatan dengan ta'at yang mendekatkan diri kepada-Nya dan meninggalkan maksiat terha­dap-Nya. Ini membatalkan dakwaan-dakwaan yang mengklaim kewalian bagi manusia-manusia yang menyelisihi syari'at Allah dan berbuat bid'ah, khurafat, dan syirik. Mereka itu justru musuh-musuh Allah yang sebenarnya, bukan wali-wali-Nya. Wali-walinya tidak lain hanya orang-orang yang taqwa." (Al-Anfaal/ 8:34). Sedangkan mereka itu musuh-musuh Allah yang menjauhkan diri dariNya dengan perbuatan-perbuatan yang mengaki­batkan mereka terusir dan terjauhkan. Dan kalau mereka mengaku wali atau diklaim sebagai wali Allah pasti mereka membuat lahan mata pencaharian yang mengacaukan manusia dengan klaim kewalian itu, dan mereka mengeruk duit orang-orang awam. Julukan wali atau auliya' telah menjadi sumber menangguk rezeki pada masa kini dengan membangun kuburan-kuburan dan membuka kotak-kotak amal/nadzar, lalu di sekelilingnya dijaga oleh karyawan-karyawan yang mengawasi lahan-lahan pencarian itu dengan bayaran dari uang yang jalannya tidak benar. Sesungguhnya auliya'ullah wahai orang-orang ahli khurafat, tidak pernah mereka mendakwakan diri mereka sebagai auliya', dan juga orang-orang Muslim tidak mendakwakan kewalian terhadap orang tertentu kecuali ada kesaksian Rasul Saw padanya tentang kewalian itu. Tetapi orang Muslim mengharapkan kepada mukmin lain suatu kebaikan, dan khawatir terhadap orang jahat mengenai kejahatannya, dan mereka mencintai orang-orang baik, dan membenci orang-orang jahat. Mengenai firman Allah Ta'ala: Tidak ada sesuatu yang mendekatkan hamba-Ku kepada-Ku yang lebih Aku sukai daripada pengamalan segala yang Kufardhukan atasnya, adalah dalil atas wajibnya memperhatikan kewajiban-kewajiban dan melaksanakannya sebelum hal-hal yang sunnat. Karena yang sunnat itu tidak diterima kecuali dengan syarat pelaksanaan yang wajib. Dan mengenai firmaNya: dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya." Itu menunjukkan atas keutamaan amal sunnat dan memperbanyaknya, karena akan menyebabkan kecintaan Allah terhadap pelakunya. Makanya yang wajib-wajib itu akan menjadi sempurna karena dilak­sanakannya yang sunnat itu apabila ada kekurangan pada yang wajib. Firman Allah Ta'ala: "Bila Aku telah cinta kepadanya, jadilah Aku pendengarannya yang dengannya ia mendengar, Aku pengliha­tannya yang dengannya ia melihat, aku tangannya yang dengannya ia memukul, dan Aku kakinya yang dengan itu ia berjalan. Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Itu artinya bahwa Allah membenarkannya, menjaganya mengenai pendengarannya, penglihatannya, tangannya, dan kakinya, maka ia tidak menggunakan anggota-anggota badannya ini untuk bermaksiat, dan ia hanya menggunakannya dalam ketaatan pada Allah Azza wa Jalla. Ibnu Daqiq Al-Ied berkata: "Arti firman Allah itu bahwa ia (yang dicintai Allah ini) tidak mendengarkan apa yang tidak diizinkan Allah baginya untuk mendengarnya, dan tidak melihat sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk melihatnya, dan tidak mengulurkan tangannya kepada sesuatu yang tidak diizinkan Allah untuk menjangkaunya, dan tidak berjalan kecuali kepada hal yang diizinkan Allah baginya untuk menuju padanya..." selesailah arti­nya itu, dan tafsiran itu ditunjukkan pula oleh firmaNya dalam akhir hadits Qudsi tersebut: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Artinya, Allah Ta'ala menyertainya dengan menyetujuinya, menolongnya, dan menjaga anggota-anggota badannya dari segala larangan, karena balasan itu adalah setimpal dengan perbu­atan. Dan Allah Ta'ala berfirman: "Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang bertaqwa dan orang-orang yang berbuat kebaikan." (QS An-Nahl/ 16:128). (Dr Al-Fauzan, ibid, hal 22-23). Jawaban atas syubhat/ kesamaran Hadits tersebut di atas menjadi salah satu syubhat/ kesamaran yang dijawab oleh Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin dalam kitabnya, Al-Qowaa'id al-Mutslaa fii Shifaatillaah wa Asmaa-ihil Husna. Menurut Syaikh 'Utsaimin, hadits tersebut shahih, diriwayat­kan oleh Al-Bukhari dalam Kitab ar-Riqaq, bab tawadhu'. Golongan Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, telah memahami hadits ini menurut dhahirnya dan memberlakukannya menurut apa adanya. Akan tetapi, apakah dhahir dari hadits ini? Apakah dikatakan: Dhahir hadits ini bahwa Allah SWT menjadi telinga, mata, tangan dan kaki si Wali? Ataukah dikatakan: Dhahirnya bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, sehingga pengetahuan dan amal perbuatannya lillaah (ikhlas karena Allah), billaah (dengan memohon pertolongan Allah), dan fillaah (menuruti syari'at Allah)? Tidak diragukan lagi, ungkap Syaikh Utsaimin, bahwa perkataan pertama bukanlah dhahir dari hadits tersebut. Bahkan, bagi orang yang memperhatikan lafadznya, hadits ini tidak menunjukkan peng­ertian itu. Soalnya, terdapat dalam lafadh hadits ini dua alasan yang menolak pengertian tadi (Allah menjadi telinga dst): Pertama: bahwa Allah SWT berfirman dalam hadits Qudsi ini: Dan hamba-Ku yang senantiasa mendekatkan diri kepada-Ku dengan melaksanakan amal-amal sunnah, maka Aku senantiasa mencintainya." dan berfirman pula: Bila ia memohon kepada-Ku, Aku perkenankan permohonannya, jika ia meminta perlindungan, ia Kulindungi." Ditetapkan dalam hadits tersebut adanya penghamba dan yang dihambai, yang mendekatkan diri dan yang didekati, yang mencintai dan yang dicintai, yang memohon dan yang dimohoni, yang memberi dan yang diberi, yang minta perlindungan dan yang dimintai, yang memberi perlindungan dan yang diberi. Jadi konteks hadits menun­jukkan adanya dua dzat yang saling berbeda, masing-masing berdiri sendiri. Ini berarti bahwa yang satu mustahil menjadi sifat bagi yang lain, atau menjadi salah satu bagiannya. Kedua: telinga si Wali, matanya, tangannya, dan kakinya, semua itu merupakan sifat atau anggota tubuh pada makhluk yang hadits (baru) yang menjadi ada setelah tidak ada sebelumnya. Bagi orang yang berakal tidak mungkin memahami bahwa Al-Khaliq (Maha Pencipta) Yang Maha pertama, yang sebelumnya tidak ada satu makhlukpun, lalu menjadi alat mendengar, alat melihat, tangan dan kaki si makhluk. Bahkan hati merasa muak untuk membayangkan pengertian ini, dan lisan pun terasa kelu untuk mengucapkannya, sekalipun hanya sekadar pengendalian saja. Oleh karena itu, bagaimana bisa dikatakan bahwa pengertian inilah dhahir hadits qudsi tersebut, dan bahwa pengertian hadits di atas telah dirubah dari dhahir ini. Maha Suci Engkau Ya Allah. Segala puji bagi Engkau. (Syaikh Utsaimin, Kaidah-kaidah Utama Masalah Asma' dan Sifat Allah SWT, CV MUS Jakarta, 1998, hal. 108-110). Selanjutnya, Syaiklh Utsaimin menjelaskan, setelah ternyata bahwa perkataan pertama salah dan tidak dapat dibenarkan, sudah barang tentu yang benar adalah perkatan yang kedua yaitu bahwa Allah SWT meluruskan atau membenarkan si Wali dalam pendengaran, penglihatan, gerakan tangan dan langkah kakinya, sehingga dengan demikian pengetahuannya melalui pendengaran dan penglihatan serta perbuatan dengan tangan dan kaki, semua itu lillaah --ikhlas untuk Allah, billaah --dengan memohon pertolonganNya, fillaah--menuruti dan mengikuti syari'atNya. Dengan demikian, dia benar-benar telah mewujudkan ikhlas, minta pertolonganNya (isti'anah), dan mengikuti syari'atnya (mutaba'ah) secara sempurna. Inilah taufiq (persetujuan/pertolongan Allah) yang sesungguhnya. Dan inilah tafsiran yang diberikan oleh ulama Salaf, tafsiran yang sesuai dengan dhahir lafadh­nya, menurut hakekatnya dan tepat dengan konteksnya. Tidak ada ta'wil di dalamnya atau alterasi (perubahan) nash/teks dari dhahirnya. Hanya milik Allah segala puji dan karunia. Tentang Allah dekat Allah berfirman: Apabila hamba-hambaKu bertanya kepadamu tentang Aku, maka (jawa­blah), bahwasanya aku adalah dekat. Aku mengabulkan permohonan orang yang mendo'a apabila ia berdo'a kepada-Ku...(QS Al-Baqarah: 186). Para ulama Salaf, Ahlus Sunnah wal Jama'ah, memberlakukan nash ini menurut dhahirnya dan hakekat maknanya yang layak bagi Allah Azza wa Jalla, tanpa takyif (bagaimana caranya) dan tanpa tamtsil (permisalan). Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam komentarnya atas hadits nuzul (turunnya Allah ke langit dunia/ terendah), mengatakan: "Adapun mendekatnya Allah kepada sebagian hamba-Nya maka hal ini ditetapkan oleh mereka yang menetapkan datangnya Allah pada hari kiamat, turunnya Allah ke langit terendah, dan bersemayamnya Allah di atas 'arsy. Inilah madzhab Salaf, madzhab para imam Islam yang terkenal dan Madzhab Ahlul Hadits. Dan pemberitaan mengenai hal ini dari mereka adalah mutawatir." (Majmu' Fatawa, jilid 5, halaman 466). Jika demikian halnya, lalu apakah halangannya bila dikatakan bahwa Allah mendekat kepada hamba-Nya yang Dia kehendaki di samping Dia berada di atas 'Arsy. Dan apakah halangannya bila dikatakan Dia menurut yang Dia kehendaki tanpa takyif dan tanpa tamsil? Bukankah ini merupakan kesempurnaan Allah, jika Dia berbuat apa yang dikehendaki-Nya menurut pengertian yang sesuai dengan keagungan dan kemuliaan-Nya? Perpaduan antara ma'iyah (kebersamaan) dan 'uluw (keberadaan di atas) bisa terjadi pada makhluk. Soalnya, dikatakan: "Kami masih meneruskan perjalanan dan rembulan pun bersama kami". Ini tidak dianggap bertentangan, padahal sudah barang tentu bahwa orang yang melakukan perjalanan itu berada di bumi sedangkan rembulan berada di langit. Apabila hal ini bisa terjadi pada makhluk, maka bagaimana pikiran Anda dengan Al-Khaliq yang meliputi segala sesuatu? Bagi Allah yang demikian itu hal-Nya, apakah tidak bisa dikatakan bahwa Dia bersama Makhluk-Nya di samping Dia Maha Tinggi berada di atas mereka, terpisah dari mereka, bersemayam di atas 'arsy-Nya." (Kaidah-kaidah Utama..., hal. 156). Maka lemahlah alasan-alasan orang shufi dan pendukungnya yang menganggap bahwa ayat-ayat dan hadits-hadits tersebut sebagai landasan tasawwuf. Syeikh 'Utsaimin menegaskan, ayat ...Dan Dia bersama kamu di manapun kamu berada." (QS 57:4); ma'iyah (kebersamaan) ini tidak berarti Allah SWT bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka. Sama sekali tidak menunjukkan pengertian ini. Karena ini adalah makna bathil yang mustahil bagi Allah Azza wa Jalla, padahal tidak mungkin makna dari firman Allah dan sabda Rasul-Nya adalah sesuatu yang mustahil lagi bathil. Syaikhul Islam Ibnu Taimiyyah dalam Al-'Aqidah Al-Waasithiyah (hal. 115, cetakan ketiga, komentar Muhammad Khalil Al-Harras), mengatakan: "Dan pengertian dari firman-Nya: "Dan Dia bersama kamu", bukanlah berarti bahwa Allah itu bercampur dengan makhluk-Nya karena hal ini tidak dibenarkan oleh bahasa. Bahkan, bulan seba­gai satu tanda dari tanda-tanda (kemahatinggian dan kebesaran) Ilahi, yang termasuk di antara makhluk-Nya yang terkecil dan terletak di langit itu, tetapi dia dikatakan bersama musafir dan yang bukan musafir di mana saja berada." Komentar Syeikh 'Utsaimin: Tidak ada orang yang berpendapat dengan makna bathil (Allah bercampur dengan makhluk atau tinggal bersama di tempat mereka) ini kecuali Al-Hululiyah (Pantheisme) seperti orang-orang terdahulu dari Jahmiyah dan selain mereka yang mengatakan bahwa Allah dengan dzat-Nya berada di setiap tempat. Maha suci Allah dari perkataan mereka dan amat besar dosanya ucapan yang keluar dari mulut mereka. Apa yang mereka katakan tiada lain adalah kebatilan. Perkataan mereka ini telah dibantah oleh para ulama Salaf dan imam yang sempat menjumpainya, karena perkataan tersebut menim­bulkan beberapa konsekwensi yang tidak dapat dibenarkan yang menunjukkan bahwa Allah mempunyai sifat-sifat kekurangan dan mengingkari keberadaan Allah di atas makhluk-Nya. Bagaimana seseorang bisa mengatakan bahwa dzat Allah berada pada setiap tempat, atau Allah bercampur dengan makhluk, padahal Allah SWT itu "KursiNya meliputi langit dan bumi" (QS 2:255), dan "Bumi seluruhnya dalam genggaman-Nya pada hari kiamat dan langit digulung dengan tangan kanan-Nya" (QS 39:67)? (Kaidah-kaidah Utama... (hal.152). Kebatilan dalih kaum shufi dan pendukungnya telah nyata. Masihkah akan diikuti, didukung, dan dipertahankan? TARIKAT Tarikat atau tarekat berasal dari lafal Arab thariqah artinya jalan. Kemudian mereka maksudkan sebagai jalan menuju Tuhan; Ilmu batin, Tasawuf. Perkataan Tarikat ("jalan" bertasawuf yang bersifat praktis) lebih dikenal ketimbang tasawuf, khususnya dalam kalangan para pengikut awam yang merupakan bagian terbesar. Tarikat tidak membicarakan filsafat tasawuf, tetapi merupakan amalan (tasawuf) atau prakarsanya. Pengalaman tarikat merupakan suatu kepatuhan secara ketat kepada peraturan-peraturan syariat Islam dan mengamalkannya dengan sebaik-baiknya, baik yang bersi­fat ritual maupun sosial, yaitu dengan menjalankan praktek-prak­tek dan mengerjakan amalan yang bersifat sunat, baik sebelum maupun sesudah sholat wajib, dan mempratekkan riyadah. Para kyai menganggap dirinya sebagai ahli tarikat. (Leksikon Islam, Pustaka Azet Perkasa Jakarta 1988, II, hal 707). Selanjutnya, tentang tarikat ini kami kutip dari buku tersebut (leksikon Islam), karena sudah dirangkum dengan kondisi Indonesia sehingga mudah dicerna. Setelah itu baru kami ambilkan komentar tentang tarikat dari berbagai sumber lain. Sehingga pembeberan tarikat yang kami kutip berikut ini merupakan bahan yang akan dikomentari sesudahnya. Dalam tradisi pesantren terdapat dua bentuk tarikat: (1) yang dipratekkan menurut cara-cara yang dilakukan oleh organisasi-organisasi tarikat, (2) yang dipratekkan menurut cara di luar ketentuan organisasi-organisasi tarikat. Tidak semua organisasi tarikat menganut sistem kepercayaan dan praktek keagamaan yang sama. Terdapat dua kelompok (a) yang sepenuhnya sejalan dengan ajaran-ajaran Al-Qur`an dan hadis; (b) yang tidak memiliki kaitan yang cukup kuat dengan Al-Qur`an dan hadis. Berikut ini ada beberapa tarikat-tarikat yang menerangkan nama pendirinya, wafat pendirinya, tempat tarikatnya, pengaruhnya, asal-usulnya dan keterangan-keterangan yang perlu. Tarikat Haddadiah Tarikat yang didirikan oleh Habib Abdullah bin Alwi Al-Haddad yang wafat 1095M di Yaman. Banyak orang yang takut ikut tarikat­nya berhubung ratibnya yang terkenal, Ratib Al-Haddad, dipercayai sebagai doa selamat yang bermantera. Pengaruhnya tak hanya di Aceh, tapi hampir di seluruh negara Indonesia. Tarikat Khalwatiah Tarikat yang diprogandakan dalam abad-18 oleh Syaikh Mustafa Al-Bakri di Mesir dan Suriah. Salah seorang tokoh tarikat ini ialah Ahmad At-Tijani yang berasal dari Aljazair. Tarikat Maulawiah Tarikat yang didirikan oleh Maulwi Jalaluddin Ar-Rumi, meninggal dunia di Anatoila, Turki. Zikirnya disertai tarian mistik dengan cara keadaan tak sadar, agar dapat bersatu dengan Tuhan. Penga­nut-penganutnya bersifat pengasih dan tidak mengharapkan kepen­tingan diri sendiri, serta hidup sederahana menjadi teladan bagi orang lain. Tarikat Mu`tabarah Nahdliyin Para kyai pada tanggal 10 Oktober 1957 mendirikan suatu badan federasi bernama Pucuk Pimpinan Jam`iyah Ahli Tariqah Mu`tabarah, sebagai tindak lanjut keputusan Muktamar N.U. (nahdlatul Ulama) 1957 di Magelang. Belakangan dalam Muktamar N.U. 1979 di Semarang ditambahkan kata Nahdliyin, untuk menegaskan bahwa badan ini tetap berafiliasi kepada NU. Sejak berdirinya pimpinan tert­inggi badan ini ialah para kyai ternama dari pesantren-pesantren besar. Dalam anggaran dasarnya dinyatakan bahwa badan ini bertujuan: (1) meningkatkan pengamalan syariat Islam di kalangan masyarakat; (2) mempertebal kesetiaan masyarakat kepada ajaran-ajaran dari salah satu Mazhab yang empat; dan (3) menganjurkan para anggota agar meningkatkan amalan-amalan Ibadah dan Muamalah, sesuai dengan yang dicontohkan para ulama salihin. Pasal 4 menyatakan bahwa badan ini akan tetap setia kepada paham Ahlussunnah wal-Jama`ah. Alasan utama mendirikan badan federasi ini adalah: (1) untuk membimbing organisasi-organisasi tarikat yang dinilai belum mengajarkan amalan-amalan yang sesuai dengan Al-Qur`an dan hadis; (2) untuk mengawasi organisasi-organisasi tarikat agar tidak menyalahgunakan pengaruhnya untuk kepentingan yang tidak dibenar kan oleh ajaran-ajaran agama. Tarikat Naqsyabandiah Tarikat ini mula-mula didirikan di Turkestan oleh Bahiruddin Naqsyabandi (sumber lain menyebutkan, Muhammad bin Muhammad Bahauddin al-Bukhari 1317-1389M, bukan Imam Al-Bukhari perawi Hadits, pen) dan di Indonesia termasuk tarikat yang paling ber­pengaruh. Pimpinannya, Sulaiman Effendi, mempunyai markas besar yang terletak di kaki gunung Abu Qubbais di pnggiran kota Makkah. Pengikut-pengikutnya kebanyakan dari Turki dan wilayah-wilayah Hindia Belanda dulu, serta di bekas jajahan Inggris di daerah Melayu. Pada umumnya tarikat ini paling banyak pengikutnya di Jawa sejak abad ke-19 sampai saat ini. Tarikat ini adalah tarikat terbesar di dunia, juga di Indonesia, dan dianggap paling terawat baik. Ada seleksi untuk jadi pengi­kutnya. Markasnya di Jawa ada di Jombang, Semarang, Sukabumi, Labuhan Haji (Aceh) di pesantren Syaikh Waly, Khalidi. Tarikat Qadiriah Asal mulanya di Bagdad, dan dipandang paling tua. Pendirinya ialah Syaikh Abdul Qadir Al-Jilani (1077-1166M). Mula-mula ia seorang ahli bahasa dan ahli Fiqih dari mazhab Hambali. Tulisannya pada umumnya berdasarkan ajaran Ahlus-Sunnah wal-Jama`ah. Ada sejumlah bukunya yang ditulis oleh murid-muridnya yang menceritakan kesaktiannya. Pelajaran Tarikat Qadiriah tidak jauh berbeda dari pelajaran Islam umum. Hanya saja tarikat ini mementingkan kasih sayang terhadap semua makhluk, rendah hati dan menjauhi fanatisme dalam keagamaan maupun politik. Keistimewaan tarikatnya ialah zikir dengan menyebut-nyebut nama Tuhan. Kaum Qadiriah terlalu menyamakan Tuhan dengan manusia. Paham Qadiriah pada hakikatnya adalah sebagian dari faham Mu`tazilah, karena imam-imamnya orang mu`tazilah. (Apa yang ditulis di Leksikon Islam ini, agaknya rancu dengan aliran Qada­riyah, yaitu aliran yang menganggap bahwa manusia ini bebas dan berkuasa penuh untuk menentukan dirinya, tidak ada campur tangan Tuhan, lawan dari aliran Jabbariyah yang menganggap manusia hanya bagai wayang yang seluruhnya dijalankan oleh dalang, semuanya digerakkan oleh Tuhan tanpa ada upaya manusia, pen. Selanjutnya, Leksikon Islam itu menulis:) Ada anggapan membaca Manaqib Syaikh Abdul Qadir Jilani pada tanggal 10 malam tiap bulan bisa melepaskan kemiskinan. Karena itu manaqibnya populer, baik di Jawa maupun Sumatra. (Ini jelas bid'ah dan sesat, lihat Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nisfu Sya'ban, Manakib Syaikh AK Jailany oleh HSAAl-Hamdany, Pekalon­gan, 1971, dan Kitab Manakib Syekh AbdulQadir Jaelani Merusak Aqidah Islam oleh Drs Imron AM, Yayasan Al-Muslimun Bangil Jatim, cetakan keenam, 1411H/ 1990, pen). Kadang kala tarikat ini digabung dengan Naqsyabandiah menjadi Tarikat Qadiriyah Naqsyabandiyah. Seperti halnya di Suryalaya (Tasikmalaya Jawa Barat, dipimpin Abah Anom, yang sering dikun­jungi Harun Nasution, pen) dan Jombang (Jawa Timur, daerah kelah­iran Presiden Gus Dur, pen). Tarikat Qadiriah Naqsyabandiah Gabungan ajaran dua tarikat, yaitu Tarikat Qadiriah dan Tarikat Naqsyabandiah. Pendirinya Syaikh Khatib Sambas. Tarikat ini merupakan sarana yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di Indonesia dan Malaya dari pusatnya di Makkah antara pertenga­han abad ke-19 sampai dengan perempat pertama abad ke-20. Tarikat Rifa'iah Didirikan oleh Syaikh Ahmad bin Ali-Abul Abbas (wafat 578H/1183M). Syaikh Ahmad, yang konon guru Syaikh Abdul Qadir Jilani, begitu asyik berzikir hingga tubuhnya terangkat ke atas, ke angkasa. Tangannya menepuk-nepuk dadanya. Kemudian Allah memerintahkan kepada bidadari untuk memberinya rebana di dadanya, daripada menepuk-nepuk dada. Tapi Syaikh Ahmad tidak ingat apa-apa; begitu khusuknya, sehingga ia tak mendengar suara rebananya yang nyaring itu. Padahal selu­ruh dunia mendengar suara rebana itu. Tarikat ini agak fanatik dan anggotanya dapat melakukan hal-hal yang ajaib, misalnya makan pecahan kaca, berjalan di atas api, dan sebagainya. Rifa`iah, yang memang merinci tarikatnya dengan rebana, di Aceh dulu pernah berkembang besar dan disebut Rapa'i sudah sulit mencarinya yang asli, yang masih berpegang teguh pada ajaran. Tarikat Samaniah Tarikat yang dikenal di Jawa Barat dan Aceh, didirikan oleh Syaikh Muhammad Saman Dari Madinah, Arab Saudi, yang wafat tahun 1702 M. Manaqib (riwayat hidup) Syaikh Saman banyak dibaca orang yang mengharap berkah. Manaqib itu ditulis oleh Syaikh Siddiq Al-Madani, murid beliau. Di situ tertulis: "barang siapa berziarah ke makam Rasullah tanpa meminta izin kepada Syaikh Saman ziarahnya sia-sia." (Ini contoh kebatilan yang nyata, pen). Juga disebutkan: "Siapa yang menyeru nama Syaikh tiga kali, hilang kesedihannya. Siapa yang makan-makanannya masuk surga. Siapa yang berziarah ke makamnya serta membaca doa-doa untuknya, diampuni dosanya." (ini benar-benar mengada-ada atas nama agama, na'udzubillahi min dzaalik, pen). Tarikat Saman sekarang menjadi tari Seudati di Aceh. Zikir Saman mulanya hampir sama dengan zikir-zikir yang lain. Namun kemudian berkembang menjadi zikir yang ekstrim. Tarikat Sanusiah Tarikat yang didirikan oleh Syaikh Muhammad bin Ali As-Sanusi, tahun 1837, di Aljazair, meninggal dunia tahun 1957. Pusat tari­kat ini di Libia. Tarikat Siddiqiah Asal-usul tarikat ini tidak begitu jelas, dan tidak terdapat di negara-negara lain. Muncul dan berkembang di Jombang, Jawa Timur, dimulai oleh kegiatan Kiyai Mukhtar Mukti yang mendirikan tarikat ini tahun 1953. Tarikat Syattariah Tarikat yang dibangun oleh Syaikh Abdullah Syattari di India. Tarikat ini di Jawa masih ada, misalnya di sekitar Madiun. Di Aceh dulu mengalami puncaknya di zaman Sultanah (Ratu) Safiatud­din. Tarikat ini dibawa oleh Syaikh Abdurra'uf Sinkil yang kemudian bergelar Syiah Kuala. Tarikat Syaziliah Tarikat yang didirikan oleh Ali As-Syazili, terdapat di Afrika Utara, dan Arab, juga Indonesia, walaupun tidak luas tersebarnya dan pengaruhnya relatif kecil. Tarikat Tijaniah Tarikat yang didirikan oleh Ahmad At-Tijani. Tarikat ini dengan cepat meluas di Afrika Barat dan di negara-negara lain, antaranya Indonesia. Di Afrika tarikat ini telah banyak yang mengislamkan orang-orang Negro. (Ahmad At-Tijani ini mengaku dirinya adalah al-qothbul maktum yang menjadi perantara/ penengah antara semua anbiya' (para nabi) dan auliya' (para wali). Lihat Ilat Tashawwuf ya 'Ibadallah oleh Abu Bakar Jabir Al-Jazairi, Jam'iyyah Ihyait Turats al-Islami, hal 42, pen). Tarikat Wahidiah Tarikat yang ini didirikan oleh Kyai Majid Ma`ruf di Kedonglo, Kediri (Jawa Timur), 1963. Teoritis tarikat ini terbuka sifatnya, karena orang tidak usah mengucapkan sumpah untuk menjadi anggota: siapa saja yang mengamalkan zikir salawat wahidiah sudah dianggap sebagai anggota. Motivasi mendirikan tarikat ini adalah meningkatkan ketaatan orang Islam kepada perintah-perintah agama. Pendirinya menganggap masyarakat Jawa dewasa ini mengalami kekosongan agama dan keji­waan. Itulah sebabnya ia mengajak masyarakat Islam agar mening­katkan ketakwaannya kepada Tuhan dengan setiap kali mengucapkan zikir "fafirruu ilallaah", artinya: "marilah kita kembali ke jalan Allah." Begitulah beberapa tarikat dari buku Leksikon Islam 2. Bantahan terhadap Tarikat Ulama dan ilmuwan Indonesia yang gigih meluruskan bahkan membantah keras tentang tarekat di antaranya HSA Al-Hamdani dari Pekalongan Jawa Tengah dengan bukunya Bantahan Singkat terhadap Kelantjangan Pembela Tashawuf dan Tarekat, 1972; Sorotan-sorotan terhadap Kitab-kitab Wirid -Dzikir- Hizb Doa dan Sholawat; juga Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Shufi dan Sorotan terhadap Kissah Maulid, Nishfu Sya'ban, manakib Sjaich AK Djailany. Sang­gahan lain juga ditulis oleh Drs Yunasril Ali, dengan judul Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid'ah, dan Khurafat. Sedang Abdul Qadir Jaelani da'i dari Bogor Jawa Barat menulis bantahan dengan judul Koreksi terhadap Tasawuf. Juga bantahan-batahan yang ditulis dalam tanya jawab, misalnya oleh Ustadz Umar Hubeis dalam kitabnya, Fatawa dll. Berikut ini kami kutip sebagian bantahan Drs Yunasril Ali, kemudian HSA Al-Hamdany. Sedang bantahan dari kitab-kitab Arab banyak pula, namun karena masalah tarekat ini orang Indonesia juga ikut-ikut mendirikannya (menciptakannya) bahkan mengorgani­sasikannya, maka kami kemukakan bantahan dari ulama dan ilmuwan Indonesia. Drs Yunasril Ali dalam bukunya Membersihkan Tashawwuf dari Syirik, Bid'ah, dan Khurafat menjelaskan, masing-masing tarekat itu merumuskan amalan-amalannya sendiri-sendiri, sehingga antara satu dengan yang lain saling berbeda cara amaliahnya. Namun demikian amaliah yang berbeda-beda itu semuanya mereka nisbahkan kepada dua sahabat besar: Ali bin Abi Thalib dan Abu Bakar Shid­diq. Entah mana yang benar di antara tarekat-tarekat itu yang berasal dari Ali dan Abu Bakar, wallahu a'lam. Dasar mereka mendirikan tarekat ialah: 1. Firman Allah SWT: Artinya: "Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu, benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar. " (QS Al-Jinn/ 72:16). 2. Firman Allah SWT: Artinya: "Maka barangsiapa yang ingin berjumpa dengan Allah, hendaklah ia mengerjakan amal shalih dan janganlah ia memperseku­tukan siapa pun dalam beribadah kepada Tuhan." (QS Al-Kahfi/ 18:110). 3. Hadits: Qoola 'Aliyyubnu Abii Thoolib: Qultu: Yaa Rasuulallaah, ayyut thoriiqoti aqrobu ilallooh? Faqoola Rasuulullaahi SAW: Dzikrul­loohi. Artinya: Ali bin Abi Thalib berkata: saya bertanya: Ya Rasulal­lah, "Manakah tarekat yang sedekat-dekatnya mencapai Tuhan? Maka Rasulullah SAW menjawab, "dzikir kepada Allah." (Dr Mustafazahri, Kunci Memahami Tasawwuf, halaman 87, seperti dikutip Drs Yunasril Ali halaman 54). Koreksi (dari Drs Yunasril Ali): Di dalam Al-Quran didapati kata "thariqah" dan musytaqnya (pecahan kata yang berasal darinya) di sembilan tempat yaitu: 1. firman Allah SWT: Artinya: "Mereka berkata: hai kaum kami, sesungguhnya kami men­dengar kitab (Al-Quran) yang telah diturunkan sesudah Musa, yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus." (QS Al-Ahqaaf/ 46:30). 2. Firman Allah SWT: Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang kafir dan melakukan kedhaliman, Allah sekali-kali tidak akan mengampuni (dosa-dosa) mereka dan tidaklah akan menunjukkan jalan kepada mereka." (QS An-Nisaa/ 4:168). 3. Firman Allah SWT (sambungan ayat no.2): Artinya: "Kecuali jalan ke neraka jahannam; mereka kekal di dalamnya selama-lamanya. Dan yang demikian itu adalah mudah bagi Allah". (QS An-Nisaa'/ 4:169). 4. Firman Allah SWT: Artinya: "Kami lebih mengetahui apa yang mereka katakan, ketika berkata orang yang paling lurus jalannya di antara mereka!" Kamu tidak berdiam (di dunia) melainkan sehari saja." (QS Thaha/ 20:104). 5. Firman Allah SWT: Artinya: "Dan sesungguhnya telah Kami wahyukan kepada Musa: "Pergilah kamu dengan hamba-hambaKu (Bani Israel) di malam hari, maka bikinlah untuk mereka [1]jalan[1] yang kering di laut itu, kamu tidak usah khawatir akan tersusul dan tidak usah takut (akan tenggelam)." (QS Thah/ 20:77). 6. Firman Allah SWT: Artinya: "Mereka berkata: "Sesungguhnya dua orang ini adalah benar-benar ahli sihir yang hendak mengusir kamu dari negeri kamu dengan sihirnya dan hendak melenyapkan kedudukan kamu yang utama." (QS Thaha/ 20:63). 7. Firman Allah SWT: Artinya: "Dan bahwasanya jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan itu benar-benar Kami akan memberi minum mereka dengan air yang segar." (QS Al-Jinn/ 72:16). 8. Firman Allah SWT: Artinya: "Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan di atas kamu tujuh buah jalan (tujuh langit); dan Kami tidaklah lengah terha­dap ciptaan (Kami)". (QS Al-Mu'minuun/ 23:17). 9. Dan Firman Allah SWT: Artinya: "Dan sesungguhnya di antara Kami ada orang-orang yang shalih dan di antara Kami ada pula orang yang tidak demikian halnya. Adalah kami menempuh jalan yang berbeda-beda." (QS Al-Jinn/ 72:11). Demikianlah penulis kutip di sini 9 buah kata "thariqah" dan musytaqnya yang terdapat dalam kitab suci Al-Quran. Tidak satupun yang menunjukkan kepada tarekat yang dipropagandakan oleh penga­nutnya, yang mereka berdzikir tanpa sadar diri dan tidak pula ingat kepada Tuhan lagi. Untuk lebih jelas, penulis kemukakan arti thoriqoh dalam ayat-ayat di atas dengan mengutipnya dari tafsir-tafsir yang mu'tabar, sebagai berikut: 1. Kata "thariqin" dalam surat al-Ahqaf ayat 30 artinya ialah "Agama Islam" (Al-Qasimy, Tafsir Mahasinut Ta'wil, juz XV hal. 94). 2. Kata "thariqon" dalam surat An-Nisaa' ayat 168 artinya ialah "satu jalan dari jalan-jalan menuju jahannam". (Al-Jalalain, Tafsir Al-Quranil Kariem, juz I, hal. 94). 3. Kata "thoriqo jahannam" dalam Surat An-Nisaa' ayat 169 artinya ialah "jalan yang menyampaikan orang menuju jahannam". (ibid). 4. Kata "thoriqoh" dalam Surat Thaha ayat 104 artinya ialah "jalan" (ibid, juz II, hal 26). Ada pula ahli tafsir yang mengatakan "jalan yang lurus" di sini ialah orang yang agak lurus pikirannya atau amalnya di antara orang-orang yang berdosa itu. (Departemen Agama RI, Al-Quran dan Terjemahnya, note hal. 488). 5. Kata "thoriqon" dalam S Thaha ayat 77 berarti "Allah menger­ingkan bumi sebagai jalan bagi Musa dan kaumnya." (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 24). 6. Kata "thoriqoh" dalam S Thaha ayat 63 ada yang mengartikannya dengan "keyakinan (agama)" (Departemen Agama RI, Opcit, hal. 482). Dan ada pula yang menafsirkannya dengan "Bani Israel". (Az-Zamakhsyary, Tafsir Al-Kassyaf, Jilid II, hal. 543). 7. Kata "thoriqoh" dalam S Al-Jinn ayat 16 artinya "jalan kebena­ran dan keadilan". (Al-Qasimi, Tafsir Mahasinut Ta'wil, juz XVI, hal. 5950). 8. Kata "thoroiq" dalam surat al-Mu'minun ayat 17 artinya "lan­git", thoroiq kata jama' dari thoriqoh, karena dia adalah jalan-jalan malaikat." (Al-Jalalain, opcit, juz II, hal. 45). 9. Kata "thoroiq" dalam S Al-Jinn ayat 11 artinya "Golongan yang berbeda pendapat di kalangan muslimin dan kafir." (ibid, hal. 240). Inilah artinya kata "thoriqoh" dan musytaqnya yang ada dalam Al-Quran. Tidak satupun dari kata-kata itu yang menunjukkan metode ibadah dalam tasawwuf. Memang ada thoriqoh yang berarti golongan-golongan di kalangan kaum muslimin, tetapi maksudnya ialah golongan yang berbeda pendapat dalam menafsirkan Al-Quran dan Al-Hadits. Bukan golongan yang membuat-buat tarekat tertentu yang dihasilkan oleh renungan guru. Kalaulah benar bahwa yang dimaskud dengan tariqat di dalam ayat-ayat itu ialah penjelasan dari Al-Quran dan As-Sunnah yang secara langsung dituntunkan dan dipraktekkan oleh seorang guru kepada muridnya, seperti menuntun bagaimana cara berdiri betul dalam shalat, bagaimana cara takbir, ruku', sujud, duduk antara dua sujud, duduk tahiyyat, cara membaca bacaan-bacan shalat, dan lain-lain; sesuai dengan cara yang ditentukan oleh Rasul SAW. kepada para shahabatnya, maka tarekat seperti ini dapat penulis terima, karena tarekat ini adalah sebahagian dari as-sunnah, yang disebut dengan sunnah fi'liyah. Jadi tarekat dalam pengertian seperti ini termasuk sunnah. Dan memang tarekat (sunnah fi'liyah) yang seperti inilah yang disuruh dalam mengajarkan agama. Rasu­lullah SAW pernah membimbing seorang Badwi dalam pelaksanaan shalat, karena orang Badwi tersebut belum tepat cara ia melaksa­nakan shalat. (Lihat Ibnu Qudamah Al-Maqdisi, al-Muharrar, hal. 42). Adapun membuat-buat ibadah dengan cara baru, lantas dinamakan tarekat, ini bid'ah. Contohnya ialah seperti mengadakan dzikir lisan, dzikir qolbu dan dzikir sirr; semuanya itu tidak pernah ada diriwayatkan dari Rasul SAW. atau dari para shahabat beliau. Jadi perbuatan ibadat seperti itu adalah bid'ah yang dibuat-buat oleh para penganut tarekat untuk mendekatkan diri kepada Allah. Padahal agama Islam, baik aqidah maupun tatacara ibadatnya sudah sempurna, tidak usah ditambah-tambah. (Drs Yunasril Ali, Member­sihkan Tasawwuf dari Syirik, Bid'ah, dan Khurafat, Pedoman Ilmu Jaya, Jakarta, cet. III 1992, hal. 53-59). Bantahan terhadap tarekat dalam polemik Bantahan terhadap tarekat lainnya, bisa disimak polemik antara HSA Al-Hamdani dengan doktor (thabib) Rohani Sjech H Djalaluddin Ketua Umum seumur hidup Pengurus Besar PPTI di Medan. HSA Al-Hamdani membantah orang yang menjadikan Surat Al-Fajr ayat 28 sebagai landasan tarekat sebagai berikut: "...Anda (Thabib-Rohani Djamaluddin) antara lain menulis: Arti ma'na Tharekat pada istilah (adalah) perjalanan rohani (nurani, jiwa, hati robani) berjalan mencari Allah. Perjalanan yang bertingkat-tingkat dari satu tingkat demi satu tingkat, hingga ia bertemu Allah. Lihatlah QS al-Fajari ayat no. 28; maksudnya kira-kira: kembali (pergilah, berjalanlah, bertarekatlah kepada Tuhanmu (Allah). Kemudian Anda menulis: Mengingat ayat yang tersebut merupakan amar wajib, tentulah wajib bagi kita ber-Tharekat." Komentar HSA Al-Hamdani ulama Al-Irsyad Pekalongan terhadap lawan polemiknya, Thabib Djamaluddin, itu sebagai berikut: Semoga Allah mengampuni dosa anda (Thabib-Rohani Djamaluddin), karena anda telah menafsirkan ayat Tuhan semau anda sendiri! Bacalah tafsir ayat itu menurut rangkaian ayat sebelum­nya, jangan terus mendabik dada dan berkata: Saya sudah hafal bertahun-tahun di dalam fikiran saya di waktu saya mempertahankan tasawuf di masa silam... dan seterusnya. Jangan anda menafsirkan se-enaknya sendiri, dan jangan pula semau-maunya menta'wilkan arti ayat al-Quran menurut selera yang dikehendaki nafsu anda! Sebab bisa tak keruan dan bisa runyam! Tahukah anda bahwa ayat itu (yang anda buat dalil perintah ber­tarekat) adalah kelanjutan daripada ayat yang sebelumnya yang berbunyi: Yaa ayyatuhan nafsul muthmainnah, irji'ii ilaa robbiki roodhiyatam mardhiyyah, fadkhulii fii 'ibaadii wadkhulii jan­natii. Yang artinya: Hai jiwa yang tenang (suci). Kembalilah kepada Tuhanmu dengan hati yang puas (karena amal-amalmu yang baik semasa hidup) lagi diridhoinya (oleh Allah). Maka masuklah ke dalam jama'ah hamba-hambaku (yang sholeh) dan masuklah ke dalam sorgaKu. (QS Al-Fajri). Jelas bahwa khitob (ajakan bicara) itu ditujukan kepada jiwa-jiwa manusia yang sempurna imannya yang muslimin mukminin dan muttaqin pada nanti hari kiamat kelak sebagai penghargaan Allah atas amalan mereka yang baik dan sholeh. Dan kalau ayat itu anda katakan sebagai amar wajib bertarekat, maka wajib bertarekatkah anda pada hari kiamat nanti untuk mencari Allah? HSA Hamdani melanjutkan tulisannya: Memang orang-orang ahli tharekat atau ahli shufi suka lancang dalam menafsirkan ayat-ayat semaunya sendiri seperti yang anda katakan: "Di Pakistan Barat dikatakan sulukan naksyabandi, unsurnya QS An-Nahl no. 69, mak­sudnya kira-kira: Dan laluilah jalan (Tharekat) Allah dengan patuh. Sedang ayat yang dimaksud artinya sebagai berikut: Ayat 68 S An-Nahl: Tuhanmu telah mewahyukan kepada lebah: Buatlah rumah di atas bukit dan di atas pohon kayu dan pada apa-apa yang mereka jadikan atap. Ayat 69: Kemudian makanlah berma­cam-macam buah-buahan dan laluilah jalan Tuhanmu, dengan mudah akan keluar dari dalam perutnya minuman (madu) yang berlain-lainan warnanya, untuk menyembuhkan penyakit manusia. Sesungguh­nya pada yang demikian itu menjadi keterangan (atas kekuasaan Allah) bagi kaum yang memikirkan. Jelas khitob ayat itu menyatakan bahwa Allah memerintahkan kepada lebah untuk mengikuti ilham yang diberikan oleh Allah kepadanya, sehingga lebah itu dapat menghasilkan madu. Maka oleh anda digunakan untuk dalil tarekat? (HSA Al-Hamdani, bantahan Singkat terhadap Kelantjangan pembela Tashawuf dan Tarekat, Penerbit HSA Al-Hamdani, Pekalongan, cetakan pertama, 1972, halaman 14-15). Pertanyaan selanjutnya, pembaca bisa mengajukan sendiri, misalnya: Kenapa tarekat-tarekat yang ternyata tidak ada landa­sannya dari Al-Quran maupun al-Hadits itu justru dihidup-hidup­kan? Dan kenapa justru ada organisasi yang memayungi dengan bentuk organisasi pula seperti tersebut di atas? Tugas para alim ulama --yang istiqomah mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah-- lah untuk melanjutkan dakwah terhadap mereka dengan hikmah dan mau­'idhah hasanah, dan kalau perlu dengan wajadilhum, yaitu mendebat mereka dengan hujjah yang lebih baik. Kasyf, Khurafat dari Shufi Tingkatan atau derajat tinggi yang diklaim oleh orang shufi ada pula yang mereka namakan kasyf (tersingkapnya tabir). Kasyf, menurut kaum shufi adalah melihat hal yang ghaib dan menyaksikannya dengan tegas. Dengan demikian mereka mengaku atau meyakini, kalau sampai pada derajat kasyf itu maka mereka dapat mengetahui hal-hal yang gelap, rahasia-rahasia yang tersembunyi, dan memecahkan segala soal-soal yang pelik. (lihat HSA Al-Hamda­ni, Sanggahan terhadap Tashawuf dan Ahli Sufi, PT Al-Ma'arif Bandung, cet. kedua, 1972, hal. 16). Di antaranya ialah kepandaian membedakan hadits yang shahih dari yang dha'if (lemah). Maksud tujuannya ialah memperkuat madzhab dan kepercayaannya dengan hadits-hadits yang dibikin-bikin dan hadits-hadits yang dha'if, lalu dianggap sebagai hadits shahih dengan perantaraan kasyf itu. (ibid, hal 16). Orang-orang yang meyakini kasyf membantah ulama yang tidak mau menjadikan lintasan-lintasan hati kaum shufi dan ilham-ilham mereka sebagai hujjah dalam hukum Islam. Karena kaum shufi meyak­ini bahwa ilham-ilham, lintasan-lintasan hati shufi, dan kasyfnya itu tidak mungkin akan salah. Hingga seorang pengarang kitab Fawatihur rahamaut syarah musallamits tsubut di dalam ushul fiqh, dan dia termasuk salah seorang yang memiliki kecenderungan shufi yang dhahir, menyanggah Al-Allamah Ibnul Hammam Al-Hanafi, yang menafikan atau menolak ilham sama sekali sebagai hujjah. Penga­rang kitab Fawatih (yang shufi itu) mengatakan: "Sesungguhnya ilham tidak akan terjadi kecuali disertai penciptaan ilmu dharuri (ilmu yang ada dengan sendirinya) yang datang dari sisi Allah SWT, atau dari ruh Muhammady (ruh Nabi Muhammad). Maka pada saat itu tidak akan ada keraguan yang timbul akibat adanya kesalahan padanya (ilham). Ilmu seperti ini dera­jatnya lebih tinggi dibanding ilmu yang dihasilkan dengan dalil-dalil yang tidak qoth'i (tidak pasti). Maka aneh sekali, seorang syeikh seperti Al-Allamah Ibnul Hammam Al Hanafy menolak salah satu bejana ilmu. Barangkali beliau beranggapan bahwasanya ilham itu adalah sesuatu yang terjadi di dalam hati yang berasal dari lintasan-lintasan hati, padahal bukan demikian. Apakah kamu belum mendengar atau mengetahui apa yang telah ditulis oleh Syaikh Quthbu Waqtihi (wali quthub pada zamannya) yaitu Abu Yazid Al-Bustamy -semoga Allah mensucikan kerahasiaannya yang mulia- terhadap sebagian ahli hadits: 'Kamu mengambil ilmu dari yang telah menjadi mayit, kemudian kalian kaitkan kepada Rasulullah saw, sedangkan kami mengambil ilmu dari Yang Maha Hidup dan Tidak Pernah Akan Mati (Allah)!' (kitab Fawatihur Rahamaut, dicetak menjadi satu dengan kitab Al Mustashfa karya Imam Ghazaly: 2/372, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawy dalam Mawaqiful Islam minal Ilham wal Kasyf..... diterjemahkan menjadi Sifat Islam terhadap Ilham, Kasyf, Mimpi, Jimat, Perdukunan, dan Jampi, Bina Tsaqafah Jakarta, cet I, 1417H/ 1997, hal 79-80). Kemudian Dr Yusuf Al-Qardhawi menukil bantahan dari Ibnu Taimiyah terhadap klaim ilham dan kasyf yang dianggap ma'shum (terjaga dari kesalahan) itu sebagai berikut: "Umat ini tidak membutuhkan kepada muhaddatsun dan mulhamun disebabkan telah sempurnanya risalah nabi umat ini dan telah sempurnanya syari'at beliau saw. Oleh karena itu bentuk lafadz (shighoh) hadits tersebut: “Fain yakun fii ummatii ahadun fa 'umar” "Jika ada di antara umatku seseorang (seperti mereka) maka Umar-lah orangnya." Sedangkan apa yang disebutkan oleh pengarang kitab Al Fawatih merupakan pendapat subyektif dan tidak ilmiah, dan semata-mata merupakan klaim-klaim yang menyimpang tanpa ada buktinya. Dia telah mencampur adukkan di dalam nama-nama yang telah dia kumpul­kan itu, antara orang-orang yang bodoh dan orang-orang yang cer­das, antara ahlus sunnah dan ahli bid'ah, antara orang yang bertauhid dan orang yang berfaham hululi (kepercayaan bahwa Tuhan dapat menitis ke dalam makhluk) serta ittihady (kepercayaan bahwa dunia dan seisinya adalah Tuhan). Dan yang lebih mengherankan mengapa hal seperti ini ditulis dalam ilmu ushul (fiqh), padahal ilmu ushul merupakan timbangan akal dan logika manqul (penalaran yang masuk akal dan berdasarkan dalil-dalil naqli)! Apa yang dikatakan oleh pengarang kitab Al-Fawatih ini dan orang-orang yang seperti dia, mirip dengan apa yang dikatakan oleh kaum syi'ah tentang imam-imam mereka, padahal perkataan seperti ini amat sangat diingkari oleh ahlus sunnah. Pendapat kaum syi'ah itsna 'asyariyah telah sampai kepada puncaknya dengan menyatakan kema'shuman ilham para imam mereka yang dua belas. Maka, apa saja yang diilhamkan kepada mereka (para imam yang 12) tidak mungkin akan berlaku padanya kemungki­nan salah, karena apa yang diilhamkan kepada mereka bukan tumbuh dari hasil ijtihad, seperti hasil ijtihadnya para imam madzhab fiqh, yang kemungkinan benar dan kemungkinan salah, sehingga yang benar diberikan pahala dengan dua pahala, dan yang salah diberi satu pahala. Sesungguhnya ilham mereka adalah ilham yang datang dari Allah untuk seorang imam, dimana Allah akan menyingkapkan baginya dengan ilham tersebut perkara yang gaib bagi orang lain, dan ilham tersebut pasti benar, baik berupa kabar ataupun hukum. Jika berupa kabar maka pasti benar dan jika berupa hukum maka pasti adil dan tidak perlu dibantah lagi! Dengan keyakinan seperti ini mereka pada hakekatnya telah menetapkan sifat 'Isham (suci dari kesalahan) kepada selain Rasulullah saw dan juga berarti telah mewajibkan ketaatan kepada selain Allah dan Rasul-Nya, yang mana keyakinan demikian tentu bertolak belakang dengan apa yang telah diputuskan oleh hukum-hukum yang sudah jelas (muhkamat) di dalam al-Quranul Karim, dan penjelasan-penjelasan hadits yang mulia. Kemudian Ibnu Taimiyah seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi menegaskan bahwa tidak ada yang suci dari kesalahan (Ishmah) selain Al-Quran dan As-Sunnah. Penjelasannya sebagai berikut: Di antara kewajiban yang mesti kami putuskan di sini dengan sejelas-jelasnya dan seyakin-yakinnya, yang tidak tercampuri oleh keraguan adalah: Bahwasanya tidak ada yang suci dari kesalahan ('ishmah) selain sesuatu yang telah Allah dan Rasul-Nya tetapkan. Dan setiap orang setelah itu perkataannya (pendapatnya) bisa diambil (diterima) dan bisa ditolak. Sesungguhnya Allah telah memerintahkan kepada kita untuk merujuk kepada kitab-Nya dan sunnah nabi-Nya dalam rangka mengetahui hukum-hukum syari'at-Nya. Allah swt berfirman: "Ikutilah apa yang diturunkan kepadamu dari Tuhanmu dan janganlah kamu mengikuti pemimpin-pemimpin selain-Nya." (QS 7:3). Dan Allah berfirman: "Katakanlah" 'Taatlah kepada Allah dan taatlah kepada Rasul..." (QS 24:54). Dan Allah berfirman: "Dan jika kamu taat kepadanya (Rasul), niscaya kamu pasti akan mendapat petunjuk..." (QS 24:54). Dan Allah berfirman: "Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah." (QS 59:7). Dan Allah berfrman: "Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah Rasul takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa adzab yang pedih." (QS 24:63). Dan Allah berfirman: "Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Al-Quran) dan Rasul-Nya (Sunnah­nya)." (QS 4:59). Selanjutnya, Ibnu Taimiyah seperti dikutip Al-Qardhawi mene­gaskan: Dan Allah swt tidak memerintahkan kepada kita untuk merujuk (kembali) kepada hati-hati kita, atau perasaan batin kita (dzauq), atau kepada lintasan-lintasan hati kita, serta perkara gaib yang tersingkap bagi kita. Karena sesuatu yang berasal dari hal demikian itu tidak ada jaminan suci dari kesalahan baginya, karena suatu saat bisa benar dan pada saat yang lain bisa salah. Syaikh Abul Hasan Asy Syadzily mengatakan: "Sungguh telah ada bagi kita jaminan 'ishmah (suci dari kesala­han) dalam hal yang datang dari Al-Kitab (Al-Quran) dan As-Snnah, dan tidak ada bagi kita jaminan 'ishmah (suci dari kesalahan) dalam hal kasyf dan ilham." (Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah menukil dari Syaikh Abul Hasan Asy Syadzili di dalam fatwa-fatwanya (Al-Hikam), Majmu'ul Fatawa: 2/91, dikutip oleh Dr Yusuf Al-Qardhawy, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf... hal 82-84). Tentang keyakinan shufi mengenai kasyf itu di antaranya dije­laskan oleh Ibnu 'Arabi dalam kitab Futuhatnya dan Al-Jili dalam Insanul Kamil-nya. Sedangkan al-Ghazali sendiri telah mengakui bahwa ia tidak memperoleh keyakinan sesudah dihinggapi syak dan kesangsian kecuali dengan perantaraan kasyf. Yaitu setelah ia beri'tikaf beberapa tahun di menara Masjid Damaskus dan di Masjid Baitul Maqdis. (Lihat kitab Al-Ghazali, Al-Munqidzu minaddholaal, dan Al-lamus Syamikh hal. 370, dan Akhlaq, hal. 42, seperti dikutip HSA Al-Hamdani dalam Sanggahan terhadap tashawuf... hal 16). Kasyf Syaithani dan Kasyf Haqiqi Sorotan yang tajam terhadap batilnya kasyf ini juga ditulis oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha dalam Tafsir Al-Manar. Dr Yusuf Al-Qardhawi mengutipnya sebagai berikut: Bahwa ilham atau kasyf semata-mata merupakan salah satu contoh dari pengetahuan jiwa yang berbicara, tidak tetap (baku) dan tidak teratur. Dan bukan merupakan pengetahuan yang berlandaskan kepada akal dan tidak pula bersandarkan kepada dalil syar'i, akan tetapi cuma merupakan pengetahuan yang kurang, yang terkadang salah terkadang benar, dan sebab-sebabnya yang alamiah pun mudah untuk diketahui. Sebagian ada yang bersifat bawaan (fithry), sebagian ada yang diperoleh dengan usaha (kasby) dan sebagian lagi hasil ciptaan (shina'i), seperti hipnotis yang dikenal di abad ini, dan apa yang mereka namakan dengan membaca fikiran, komunikasi fikiran, dan yang mereka serupakan dengan transfer berita lewat kawat listrik maupun transfer berita tanpa kawat listrik. Pengetahuan seperti ini tentu bisa dikuasai oleh orang mu'min maupun orang kafir, orang yang baik maupun orang yang jahat, sebagaimana diakui oleh para shufi muslim bahwa pengetahuan semacam ini dikuasai pula oleh shufi beragama hindu. Para shufi muslim mengakui bahwa pengetahuan yang dikuasai oleh mereka bercampur aduk dengan pengelabuan syetan, dan sedikit sekali orang yang mempunyai kemampuan untuk membedakan antara kasyf syaithani (kasyf yang berasal dari syetan) dan kasyf haqiqi (sesungguhnya), dan tidaklah boleh dinamakan kasyf haqiqi kecuali jika bersesuaian dengan nash yang qoth'i (nash/ teks ayat atau hadits yang pasti). Di antara berbagai bukti kesalahan dan kepalsuan serta khaya­lan yang ada pada kasyf mereka, yang biasa mereka namakan dengan An-Nurany (yang berkilauan), dan apa yang mereka sebutkan di dalam kasyf mereka berupa pengetahuan mereka yang bermacam-macam, berdasarkan keberagaman pengetahuan mereka tentang seni, kekhura­fatan dan syari'ah adalah terjadinya pertentangan para ahlinya dan saling salah menyalahkan satu sama lain dalam hal ini. Oleh karena itu, anda akan mengetahui sebagian dari mereka menyebutkan di dalam kasyfnya Jabal Qof (gunung qof) yang mengelilingi bumi! Dan Al hayyah (ular) yang mengelilinginya! Sebagaimana dapat anda ketahui dalam biografi Asy Sya'rani oleh Syaikh Abu Madyan, yang isinya merupakan kekhurafatan-kekhurafatan yang tidak ada hake­katnya. Di antara mereka ada pula yang menyebutkan di dalam kasyfnya bintang-bintang dan tempat peredarannya dengan cara Yunani yang batil. Dan kebanyakan mereka menyebutkan di dalam ksyf mereka hadits-hadits yang maudhu' (palsu), walaupun mereka dan orang-orang yang terfitnah dengan kasyf mereka ditentang oleh ulama hadits. Mereka mengatakan: 'Sesungguhnya sebuah hadits terkadang dianggap shahih dalam kasyf kami, walaupun hadits tersebut tidak shahih menurut riwayat-riwayat kalian (ahli hadits), dan kasyf kamilah yang lebih benar, karena kasyf kami berasal dari ilmul yaqin sedangkan ilmu kalian berasal dari dugaan (dhon)!' Kesimpulannya adalah, bahwa kasyf ini adalah urusannya sendiri dan urusan para ahlinya, jika sah bagi kita untuk membenarkannya tentu ketika tidak terjadi pertentangan dengan syari'at, aqidah-aqidahnya serta hukum-hukumnya. Maka tidak dibenarkan bagi orang yang beriman kepada kitabullah dan sunnah rasul-Nya membenarkan sebagian dari kasyf yang jelas-jelas bertentangan dengan Al-Quran dan Sunnah. Dan tidak dibenarkan pula menetapkan kasyf dengan didasari perintah dari alam gaib selama tidak ditetapkan oleh Al-Quran dan Sunnah. lagi pula kita tidak membutuhkan semua ini (kasyf seperti ini). (Tafsir Al-Manar oleh Al Allamah Muhammad Rasyid Ridha, Jilid 11/447, cetakan keempat, seperti dikutip Dr Yusuf Al-Qardhawi, Sikap Islam terhadap Ilham, Kasyf... hal. 86-87). Penjelasan-penjelasan tersebut sangat gamblang bahwa kasyf shufi itu batil. Orang mu'min maupun kafir bisa memperolehnya, orang jahat maupun shalih dapat juga, sebagaimana hasil kasyf itu ada yang dari syaitan, dan ada yang mengandung kebenaran, tidak ada patokannya. Maka ketika ungkapan semacam ini saya ajukan kepada guru besar tasawwuf dengan ungkapan bahwa Joyoboyo yang bukan Islam pun bisa mendapatkan kasyf itu; ternyata Pak Guru Besar Tasawwuf itu marah, dan tidak ada jawaban pasti, seperti sudah kami kemukakan di atas. Masihkah mereka mau mengklaim kebenaran kasyf dengan cara lain lagi selain marah-marah dan bicara ngaco (tidak teratur)? Dan dari sinilah bisa kita fahami, kenapa orang-orang Syi'ah, sekluer, dan pengacau Islam kini justru ramai-ramai menjajakan tasawwuf. Ternyata, dalam hal kepercayaan/ aqidah maupun sikap mereka terhadap hadits adalah sama-sama, yaitu mengacaukan. Hingga ketatnya aqidah dalam Islam ini jelas-jelas mereka tabrak, sedang ketatnya pembatasan tentang keshahihan hadits pun terang-terang mereka tabrak pula. Bila aqidah, suatu fondasi tempat berdirinya Islam, telah mereka kacaukan, dan hadits sebagai landasan utama yang kedua setelah Al-Quran telah mereka halalkan untuk dipalsukan dengan cara mengklaim ke-kasyf-an untuk mensha­hihkan kepalsuan, maka hancurlah Islam ini. Masih pula ditambahi dengan tabiat shufi yang tunduk patuh bahkan sering mendukung kepada penguasa dhalim --walaupun menghancurkan Islam-- maka sempurnalah konspirasi dan konvigurasi mereka (shufi, syi'ah, sekluer, munafiqin, kafirin, musyrikin, pengacau agama, dukun, paranormal, ahli bid'ah, politikus licik anti Islam, dan penguasa dhalim) dalam menghancurkan Islam dengan wajah yang pura-pura teduh karena berkedok main batin. Maka waspadalah wahai saudara-saudaraku Ummat Islam, jangan sampai tertipu oleh permainan mereka yang sudah dibabat oleh para ulama pada awal abad keempat Hijriyah dengan dibunuh dan disalibnya dedengkot shufi bernama Al-Hallaj, namun kemudian digali dan dihidup-hidupkan lagi oleh para orientalis Barat antek penjajah anti Islam, kemudian dikem­bangkan lagi oleh antek-antek orientalis di mana-mana sampai kini lewat aneka sarana. Mudah-mudahan Allah memberi kekuatan kepada para pengamal Islam dan penyerunya yang setia dan istiqomah hingga mampu menghancurkan kebatilan mereka yang mengancam Islam itu. Amien. Mengoreksi Ajaran Tasawuf Pada hakekatnya ajaran tasawuf yang dianut umat Islam bercorak panteistis, hasil dari konsepsi filsafat yang disebut monisme. Yaitu konsepsi yang menyatakan bahwa Tuhan dan alam adalah satu. Bahkan jika diurut-urut lebih jauh, konsepsi monisme dengan panteismenya ternyata bersumber dari ajaran Hindu. Drs H Abdul Qadir Djaelani seorang da'i yang pernah mendekam di penjara di masa Soeharto akibat menentang asa tunggal Pancasila dsb, produktif menulis buku (kini sekitar 14 buku diantaranya menanggapi pendapat-pendapat pembaharu/ neomodernis) ini merasa gemas melihat merebaknya tasawuf dan tarekat di kalangan umat Islam. Dia menulis kritik tajam terhadap tasawuf dalam buku yang berjudul Koreksi terhadap Ajaran Tasawuf diterbitkan GIP Jakarta, cet I 1996, 240 halaman. Dia menohok tokoh-tokoh tasawwuf yang ia nilai melenceng dari Islam seperti Al-Hallaj yang dibunuh oleh para ulama dan Ibnu Arabi yang dikafirkan oleh para ulama. Berbagai metode ajaran tasawuf dibelejeti dalam buku ini, yang menurut Abdul Qadir (AQ) menyimpang dari Islam seperti zuhud, bai'at dan ketaatan mutlak, wasilah dan rabithah, serta uzlah dan khalwat. Ia juga menghujat praktik ekstase (junun) yang dilakukan para sufi (orang tasawuf). Secara tegas, AQ mengawali bukunya dengan ungkapan yang menyentak, bahwa teori-teori yang diajarkan oleh berbagai macam aliran tasawuf, baik teori wihdatil wujud, wihdatus syuhud, al-ittihad, al-ittishal, al-hulul, atau al-liqa', semuanya bersifat panteistis. Itu ujung-ujungnya adalah ajaran Hindu yang berpengaruh terhadap Yunani kuno dan kemudian diambil ke tasawuf Islam lewat penerjemahan-penerjemahan yang kebanyakan dilakukan oleh orang-orang Kristen zaman kekhalifahan abad kedua Hijriah. Istilah Sufi Jika istilah "sufi" ini diduga berasal dari kata shophia (bahasa Yunani), maka hal ini lebih dapat diterima. Sebab, sumber pemikiran Islam yang kedua setelah Al-Quran dan al-Hadits berasal dari negeri-negeri seperti Syria, Mesir, dan Persia, dengan pikiran-pikiran Yunani menjadi induk pemikiran di negeri-negeri tersebut. Pikiran neoplatonisme (Plotinus, wafat 269M), filosof Kristen yang mengajarkan tentang emanasi dan panteisme --yang sangat berpengaruh di dunia Kristen-- juga berasal dari pikiran Yunani, khususnya pikiran Aristoteles dan Prophiry. (hal 13). Sementara itu, dari data yang terungkap, orang pertama yang mendapat gelar "sufi" adalah Abu Hasyim Al-Kufi (wafat 150 H/ 761M) dari Kufah, bukan dari Makkah atau Madinah, dan ia dari generasi tabi'in, bukan dari generasi sahabat. Sedangkan di sisi lain, masa terjemahan telah terjadi terlebih dahulu, paling tidak beberapa puluh tahun sebelum munculnya orang pertama yang bergelar sufi itu. Jika istilah "sufi" itu juga dianggap berasal dari kata shuf (bulu domba, wol kasar) yang biasa dipakai oleh para sufi Kristen, hal ini bisa diterima, bahkan antara kata shophia dan shuf saling menguatkan. Sebab ajaran sufi di dunia Kristen yang paling berpengaruh berasal dari Plotinus, sehingga sangat logis jika aliran ini berpengaruh pada kaum sufi Kristen di Syria, Mesir, Baghdad dan Yaman. Lebih memperkuat lagi ialah bahwa kaum sufi muslim pada umumnya memakai kain shuf. (hal 14). Selanjutnya AQ mengemukakan definisi tasawuf dengan mengutip beberapa orang di antaranya pendapat Bandar bin al-Husein, Sahal bin Abdullah at-Turturi, dan Al-Junaid (wafat 910M, tokoh tasawuf yang resmi dianut oleh orang tradisionalis di Indonesia, pen). Al-Junaid berkata: "Tasawuf berarti bahwa Tuhan menjadikan kamu mati, untuk hidup kembali di dalam-Nya." (hal 15). Sedangkan Abu Yazid Busthami berkata: "Jika aku terhapus, maka Tuhan adalah kaca-Nya sendiri dalam aku." (hal 15). Lalu AQ menyimpulkan, pengertian tasawuf menurut istilah, tidak lain yaitu suatu usaha yang sungguh-sungguh dengan jalan mengasingkan diri sambil bertafakur (kontemplasi), melepaskan diri dari segala yang bersifat duniawi dan memusatkan diri hanya kepada Tuhan sehingga bersatu dengan-Nya. Tasawuf dari Hindu AQ berkeyakinan bahwa tasawuf itu berasal dari Hindu di antaranya dengan bukti: tujuan akhir dari peribadatan dalam agama Hindu adalah bersatunya kembali antara atman (ruh atau substansi) dengan brahman (ruh alam semesta atau Tuhan). Ajaran Hindu sangat berpengaruh terhadap bangsa Yunani kuno, baik dalam bentuk mitologi, filsafat, maupun mistik. Sehingga kita ketahui bahwa Plato dan Pythagoras adalah dua tokoh penganut ajaran reinkarnasi yang berasal dari ajaran Hindu. (hal 9). Menurut M Horten (yang didukung R Hartman), tasawuf berasal dari alam pemikiran India. Dalam hal ini Horten telah melakukan penelitian yang lama untuk menguatkan pendapatnya itu. Akan tetapi pendapat tersebut kemudian ia revisi setelah ia melakukan analisis terhadap tasawuf al-Hallaj, al-Busthami, dan al-Junaid, dengan mengatakan bahwa tasawuf abad ketiga Hijriah-lah yang sangat dipengaruhi alam pemikiran India, terutama ajaran al-Hallaj. Horten pun berusaha keras mengokohkan teorinya ini dengan salah satu penelitiannya untuk menetapkan bahwa tasawuf berasal dari sumber India. Penelitian fisiologis yang dilakukannya terhadap berbagai terminologi para sufi Persia akhirnya membuatnya berkesimpulan bahwa tasawuf berasal dari aliran Vedanta di India. (hal 18). Sementara itu Hartman, yang berusaha keras pula, membuktikan asal usul atau sumber tasawuf dari India. Ia mengemukakan pendapatnya sebagai berikut: 1. Kebanyakan angkatan pertama sufi berasal bukan dari Arab. Misalnya Ibrahim bin Adham, Syaqiq al-Balakhi, Abu Yazid al-Busthami, dan Yahya ibn Ma'az ar Radzi. 2. Kemunculan dan penyebaran tasawuf untuk pertama kalinya adalah di Khurasan (Parsi). 3. Pada masa sebelum Islam, Turkestan merupakan pusat pertama berbagai agama dan kebudayaan Timur dan Barat. Dan ketika para penduduk kawasan itu memeluk agama Islam, mereka mewarnainya dengan corak mistisisme lama. 4. Kaum muslim sendiri mengakui adanya pengaruh India tersebut. 5. Aksetisisme Islam (kebatinan) yang pertama adalah bercorak India, baik dalam kecenderungannya maupun metode-metodenya. Keluasan batin, pemakaian tasbih, misalnya, merupakan gagasan dan praktik yang berasal dari India. (hal 19). Berasal dari Yunani dan asing Kemudian cukup banyak para orientalis yang berpendapat bahwa tasawuf berasal dari tradisi pemikiran Yunani. Para orientalis yang berpendapat seperti ini lebih menaruh perhatian terhadap tasawuf yang mulai muncul pada abad ketiga Hijriah, lewat Dzun Nun al-Mishri, wafat 245H. (hal 19). Muhammad Al-Bahiy (intelektual Islam Mesir, pen) menyatakan tentang adanya intervensi (penyusupan) alam pikiran asing, seperti paganisme Mesir, agama Budha, agama Hindu, agama Zaratrusta, ajaran Manu, Kristen, Yahudi, dan filsafat Yunani. Dalam kaitan ini secara khusus filsafat Yunani telah: 1. Menimbulkan aliran-aliran filsafat di antaranya: a. filsafat metafisika yang diwakili oleh Ibnu Sina di Timur dan Ibnu Rusyd di Barat; b. filsafat alam (fisika) yang diwakili oleh Abu Bakar ar-Razi. c. filsafat emanasi yang diwakili oleh Suhrawardi. 2. Membantu kelahiran: a. tasawuf zuhud yang diwakili oleh Abdul Haris al-Muhasibi; b. tasawuf filsafat yang diwakili oleh al-Ghazali; c. tasawuf India, Kristen, dan neoplatonisme yang diwakili oleh Ibnu Arabi, Ibnu Sab'in, dan al-Hallaj. (hal 23). Selanjutnya, AQ membuktikan bahwa esensi ajaran tasawuf dan praktik-praktik amaliahnya berasal dari asing, yakni Kristen, Yunani, dan Hindu, maka secara prinsipil bertentangan dengan Islam. Kalau Abdul Qadir Djaelani membuktikannya dengan buku setebal 240 halaman, maka secara mudah ulama tua KH Ghofar Isma'il (almarhum, ayah penyair dr Taufik Isma'il) dalam ceramah-ceramah pengajian tafsirnya cukup menjelaskan pada umat, kalau ada guru yang memberikan amalan-amalan (lafal-lafal dzikir) untuk dibaca sekian kali, itu harus dilandasi hadits yang shohih. Bila tidak, maka perlu diragukan kebenarannya. Menolak Hadits Shahih tapi Menjajakan Tasawwuf Sekarang ini banyak lembaga yang menjajakan paket-paket kajian ini itu yang seolah untuk memberikan bimbingan keislaman namun sebenarnya belum tentu merujuk kepada Islam yang benar. Gatra edisi 31 Januari 1998 menurunkan laporan khusus sekitar kecenderungan bertasawuf di beberapa kalangan di antaranya sebagian pejabat atau ibu-ibu pejabat. Juga komentar-komentar mengenai tasawuf dari beberapa tokoh, serta adanya lembaga-lembaga yang menjajakan kajian tasawuf. Dalam hal kajian Islam, sejak 1985-an banyak lontaran yang bernada mengkritik Islam terutama syari'ahnya atau hukum Islam dan fiqhnya. Kritik-kritik itu sambil memojokkan syari'ah atupun fiqh atau juga para ahli fiqh dengan cap-cap "miring" misalnya Syari'ah minded, fiqh sentris, tekstual tidak kontekstual, bahkan ada yang melontarkan cap skripturalis dipinjam dari istilah dari agama tertentu. Sikap menyindir-nyindir syari'ah dan fiqh serta ahlinya itu sudah dikenal sejak dulu, paling tidak, Imam Ghozali dari kalangan sufi menyebut ulama fiqh sebagai ulama dunia. Di kalangan kaum kebatinan ataupun kejawen pun Mangkunegoro IV yang mengaku dirinya meninggalkan sholat (dalam salah satu puisinya) itu berani mengkritik para ahli syari'ah demi membela kebatinannya. Belakangan orang-orang yang miring-miring ke sekuler, Mu'tazilah, Syi'ah dan semacamnya ramai-ramai pula mengkritik syari'ah dan fiqh serta ahlinya dengan cap-cap "miring" tersebut. Bahkan ada yang berani menghujat hadits shohih meniru-niru orientalis atau anak buah orientalis seperti Abu Rayah di Mesir dan sebagainya. Sebagai bukti, ada orang dari Bandung (Jalaluddin Rakhmat) yang berani mengkritik hadits shahih riwayat Imam Muslim (Antum a'lamu bi umuuri dunyaakum-- kalian lebih tahu dengan perkara-perkara dunia kalian) dengan argumen-argumen tidak ilmiah menurut ilmu Hadits, namun justru kini sebagai pelaku utama menjajakan paket tasawuf, suatu kajian yang justru membahas sesuatu yang tanpa landasan jelas. Padahal tasawuf itu bukan hanya belum tentu berlandaskan Hadits shahih, namun justru mengandung unsur-unsur"dari ajaran luar Islam. Demikian pula Prof Dr Harun Nasution yang cenderung menolak Hadits Ahad (periwayatnya tiap jenjang tidak banyak orang) walaupun shahih untuk jadi landasan aqidah (misalnya rukun iman), namun sebaliknya ia khabarnya malah berguru tentang tasawuf."Ini"salah satu bentuk kerancuan berfikir yang nyata, Hadits shahih ditolak namun tasawuf yang tak jelas landasannya itu ditekuni. Siapapun yang mengetahui apa itu tasawuf -- bagi yang obyektif-- tentu akan mengakui bahwa tasawuf itu ada unsur dari luar Islam dan ada unsur dari Islam. Maka siapapun yang mengetahui masalah itu dan masih bersikap obyektif akan mengatakan: "Islam itu sudah sempurna, maka tidak butuh kepada tasawuf yang mengandung unsur-unsur ajaran dari luar Islam itu." Kalau memang seorang dari Bandung yang tadinya menghujat-hujat Hadits shahih itu hujatannya dimaksudkan untuk memurnikan Islam, maka seharusnya dia justru sama sekali tidak mengadakan pengakjian tasawuf dalam arti menyebarkan tasawuf di Jakarta atau di manapun. Karena, dengan menyebarkan tasawuf kepada orang-orang ataupun ibu-ibu pejabat yang sangat awam agama itu bukannya mengembalikan Islam kepada yang benar namun mencampuradukkan hal- hal dari luar ajaran Islam kepada Islam. Sungguh ironis tindakan orang semacam ini. Masyarakat yang awam agama tentu akan terseret, apalagi penyebar itu seorang ahli komunikasi, maka apa yang disampaikan walau sebenarnya adalah limbah namun"bisa dianggap sebagai emas. Dengan kenyataan itu, umat Islam hendaknya hati-hati dan waspada. Kalau ada orang atau lembaga mengadakan kajian-kajian Islam, hendaknya dilihat, benarkah kajiannya itu berlandaskan ayat-ayat Al-Quran dan Hadits-hadits yang shahih. Kalau tidak, maka lebih baik ditinggalkan, dan lebih afdhol mencari kajian yang berlandaskan Al-Quran dan Hadits shohih. Kasus itu sungguh ironis, menghujat Hadits shahih tetapi kemudian menjajakan paket kajian tasawuf yang tasawuf itu sendiri akar katanya saja tidak diketemukan secara pasti dalam Islam. Apalagi ajaran dan prakteknya banyak yang menyimpang dari Islam PENUTUP Alhamdulillaahi Robbil 'Aalamien. Pembahasan yang diawali dengan menegaskan ketatnya penjagaan aqidah Islamiyah, kemudian bahaya bid'ah, dan diteruskan dengan aneka borok-borok orang shufi atau ajaran tasawwuf, kini sampai akhirnya kami tutup pembahasan ini. Penjelasan-penjelasan telah kami sampaikan dengan mengutip berbagai sumber yang punya landasan kuat dari Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah guna membuktikan mana yang benar dan mana yang batil. Para hamba Allah yang mendapat rahmat hidayah, insya Allah akan mendapatkan apa yang dijanjikanNya. Sebagaimana Allah mengk­habarkan dengan firman-Nya: "Maka sampaikanlah khabar gembira kepada hamba-hamba-Ku, yang mendengar perkataan lalu mengikuti apa yang paling baik di anta­ranya. Mereka itulah orang-orang yang telah diberi Allah petunjuk dan mereka itulah orang-orang yang mempunyai akal." (QS Az-Zumar/39: 17-18). Sebaliknya, apabila sudah ada penjelasan yang benar dan sha­hih, yaitu berlandaskan Al-Quran dan as-Sunnah Shahihah dengan manhaj (jalan) yang shahih pula, yakni manhaj salaf yang telah ditempuh oleh generasi awal Islam yakni sahabat, tabi'in, dan tabi'it tabi'ien; namun mereka tetap memegangi ajaran atau kebia­saan yang tidak sesuai dengan kebenaran Islam, maka kecaman dan ancaman Allah pun mengarah kepada mereka sebagaimana ditujukan kepada orang-orang sebelumnya. Allah berfirman: Dan demikianlah, kami tidak mengutus sebelum kamu seorang pemberi peringatan pun dalam suatu negeri, melainkan orang-orang yang hidup mewah di negeri itu berkata: "Sesungguhnya kami mendapati bapak-bapak kami menganut suatu agama dan sesungguhnya kami adalah pengikut jejak-jejak mereka." Rasul itu berkara: "Apakah (kamu akan mengikutinya juga) sekali­pun aku membawa untukmu (agama) yang lebih (nyata) memberi petun­juk daripada apa yang kamu dapati bapak-bapakmu menganutnya?" Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami mengingkari agama yang kamu diutus untuk menyampaikannya." (Az-Zukhruf/ 43:23-24). Al-Ustadz Umar Hubeis dalam bukunya Fatawa, berkomentar, "Maka barangsiapa yang menolak keterangan yang jelas dari Al-Quran atau dari hadits shahih, dianggap mengikuti jejak mereka itu dan akan dijatuhi hukuman yang setimpal dan akan dimasukkan ke neraka, dan di sana kelak akan merasa betapa besar dosa orang-orang yang menyia-nyiakan akal mereka dan mereka akan berkata: “Dan Mereka berkata: "Sekiranya kami mendengarkan atau memikirkan (peringatan itu) niscaya tidaklah kami termasuk penghuni-penghuni neraka yang menyala-nyala." (QS Al-Mulk/ 67:10). Sedang pada Surah Al-Ahzaab, Allah mengabarkan bahwa mereka akan berkata pula: "Dan mereka berkata: "Ya Tuhan kami, sesungguhnya kami telah mentaati pemimpin-pemimpin dan pembesar-pembesar kami, lalu mereka menyesatkan kami dari jalan (yang benar). Ya Tuhan kami, timpakanlah kepada mereka adzab dua kali lipat dan kutuklah mereka dengan kutukan yang besar." (Al-Ahzab/ 33:67-68). Begitulah nasib orang yang ikut-ikutan tanpa pengertian, hanya terdorong oleh ta'aashub, fanatisme semata-mata. (Umar Hubeis, Fatawa, PP Al-Irsyad Al-Islamiyah Jakarta, cet kedelapan, 1994, hal. 21). Cukuplah sudah keterangan-keterangan yang menjelaskan bahwa apapun yang tidak sesuai dengan Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah maka wajib ditinggalkan atau ditolak. Bila seseorang tetap mengikuti ajaran yang bertentangan atau tak sesuai dengan Al-Quran dan as-Sunnah Shahihah maka akibatnya akan menyesal dan merugi di akherat, walaupun di dunia kemungki­nan justru banyak temannya, banyak pengikutnya, atau banyak pelindung-pelindungnya yang mengayomi atau mempertahankan kesesa­tan itu. Wabil khusus/ lebih-lebih bagi para pemrakarsa dan pendukung utama serta penganjurnya, maka akan menerima balasan dari Allah yang setimpal dengan kebangkangannya, dan mendapatkan la'nat dari para pengikutnya yang mereka sesatkan. Perintah untuk tetap memegang teguh Al-Quran dan As-Sunnah Shahihah ditegaskan dalam Al-Quran dan As-Sunah dalam beberapa penegasan, sehingga tidak bisa diragukan lagi. Bahkan, ketika Nabi SAW berkhutbah pada haji wada' (pamitan) pun menegaskan: Innas syaithoona qod yaisa an yu'bada bi ardhikum walaakin rod­hiya an yuthoo'a fiimaa siwaa dzaalika mimmaa tahaaqoruuna min a'maalikum fahdzaruu innii taroktu fiikum maa ini'tashomtum bihii falan tadhilluu abadan kitaabulloohi wa sunnati nabiyyihi. (Al-Hakim) "Sesungguhnya syaitan telah berputus asa untuk disembah di bumimu ini, tetapi senang ditaati pada sesuatu yang lain daripada (penyembahan) itu dari apa yang menyia-nyiakan amal-amalmu, maka waspadalah. Sesungguhnya aku telah meninggalkan padamu sesuatu, kalau kamu sekalian berpegang teguh kepadanya maka kamu tidak akan sesat selama-lamanya, yaitu kitab Allah (Al-Quran) dan sunnah nabiNya (Al-Hadits)." (HR Al-Hakim). Apabila ada yang berkilah bahwa kini sulit untuk mengikuti Al-Quran dan As-Sunnah karena banyak tantangan dan godaan, maka tingkat kesulitan itupun dihargai oleh Allah, sebagaimana diri­wayatkan dalam hadits:Abu Hurairah berkata, bahwa Rasulullah SAW bersabda: Man tamassaka bisunnatii 'inda fasaadi ummatii falahu ajru miata syahiid." Barangsiapa yang berpegang teguh dengan sunnahku di kala kerusa­kan umatku, maka baginya ganjaran 100 syahid/ mati dalam perang jihad. (HR At-Thabrani dan Al-Baihaqi). Akhirnya, hanya kepada Allah lah kami bertawakkal, dan hanya kepadaNyalah kami memohon pertolongan. Mudah-mudahan Allah men­gampuni dosa dan kesalahan kami, hamba yang lemah ini. Amien. Dapatkan koleksi ebook lain yang tak kalah serunya hanya di: http://jowo.jw.lt